Yusniar Melawan dengan Kata-kata
“Saya minta dibela, Yang Mulia Hakim. Saya ‘kan korban. Kenapa juga saya yang ditahan kasian. Rumahku yang dibongkar. Jangankan 100 orang, 3 orang saja terbongkar mi rumahku. Jangan mi bawa massa, 3 orang mi saja.”
Kalimat itu meluncur dari mulut Yusniar, begitu Ketua Majelis Hakim memberinya kesempatan untuk menyampaikan sesuatu sebelum menutup sidang agenda tanggapan jaksa penuntut umum terhadap eksepsi (keberatan) penasihat hukum.
Sidang ini mendudukkan Yusniar sebagai terdakwa dugaan pelanggaran pidana pasal 27 ayat 3 UU No. 11/2008 tentang ITE (Informasi, Teknologi, dan Elektronik), di Pengadilan Negeri Makassar, Jalan Kartini, Makassar, 16 November 2016.
Yusniar, perempuan berpostur mungil itu melanjutkan, “Siapa yang tidak sakit hatinya, Yang Mulia, dibawakan massa ke rumah orang tuaku. Saya menulis di Fesbuk karena saya ini sebagai perempuan. Saya tidak tahu lagi harus bagaimana,” keluh perempuan berjilbab ini. Wajahnya memerah, basah oleh air mata. Tangisnya lalu pecah di persidangan. Suaranya tersedak. Kalimatnya pun tidak bisa dilanjutkan.
“Keluarkan saja semua, biar perasaannya tenang,” lanjut Ketua Majelis Hakim datar. Yusniar hanya menangis tersedu. Ia tidak bisa lagi melanjutkan. Pengunjung sidang yang awalnya agak riuh saat Jaksa Penuntut Umum membacakan tanggapan terhadap Eksepsi Penasihat Hukum tiba-tiba hening.
Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat Hukum hanya saling pandang setelah mendengar pembelaan awal Yusniar. Semua seperti larut dalam kesedihan Yusniar. Beberapa pengunjung tidak bisa menahan kesedihan. Matanya merah sembab.
Yah, rasa keadilan seperti terusik, terlukai. Apakah semua yang ada dalam ruang sidang juga merasakan apa yang saya rasakan?
Yusniar adalah terdakwa yang diduga melanggar pasal 27 Ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE karena mengekspresikan kekesalannya di Facebook, lantaran sehari sebelumnya rumah tempat tinggalnya bersama orang tuanya dirusak dan dibongkar paksa oleh puluhan orang. Massa tersebut diduga diarahkan oleh seorang anggota DPRD Jeneponto. Persidangan Yusniar 16 November 2016 adalah sidang ketiga.\
Kasus ini mengundang simpati banyak kalangan. Sejak pagi menjelang sidang, puluhan mahasiswa dan perwakilan organisasi non pemerintah yang berkongsi dengan nama Koalisi Peduli Demokrasi Bebaskan Yusniar (KOPIDEMO BEBASKAN YUSNIAR) menggelar aksi solidaritas untuk mendukung Yusniar. Mereka terlihat berbagi peran. Ada yang menyebar dan membagi selebaran, ada yang membentangkan spanduk membentuk lingkaran di depan pintu masuk pengadilan, selanjutnya memandu pengunjung di pengadilan untuk ikut bertandatangan sebagai bentuk dukungan terhadap Yusniar. Aksi tersebut, memilih untuk tidak orasi dengan memakai pelantang. Mereka malah menutup mulut dengan lakban hitam.
Sekitar pukul 14.00 Wita, sidang digelar dan terbuka untuk umum. Agenda pembacaan tanggapan Jaksa Penuntut Umum atas eksepsi/keberatan dari Tim Penasihat Hukum Yusniar, yang terdiri dari koalisi 3 lembaga (LBH APIK Makassar, LBH Makassar, dan YLBHM). Setelah pembacaan Tanggapan Jaksa, Ketua Majelis Hakim memberikan penjelasan bahwa mengenai Putusan Sela dan Penangguhan Penahanan, majelis hakim akan melakukan musyawarah.
Kursi dalam ruang sidang penuh dengan pengunjung, beberapa orang muda juga berdiri sampai pembatas pengunjung. Mereka berdiri tertib. Beberapa di antara pengunjung itu menutupi mulutnya dengan lakban hitam, seperti ingin menyampaikan pesan kepada orang-orang yang ada di Pengadilan Negeri Makasar. Beberapa dari mereka juga terlihat memakai baju seragam lembaga yang di lengannya terdapat lambang universitas yang ada di Makassar. Ada juga yang berpakaian biasa, mereka rata-rata ibu-ibu paruh baya. Sepintas saya mendengar dia adalah keluarga Yusniar.
Tim Penasihat hukum pada proses sidang ini memberikan Surat Penjaminan untuk penangguhan penahanan, disertai dengan Surat Penjamin dari KOPIDEMO BEBASKAN YUSNIAR.
Menurut Abdul Azis Dumpa SH, pengacara publik LBH Makassar, dalam pernyataannya di dalam persidangan ada sekitar 22 organ dari lembaga mahasiswa, NGO, komunitas, insan pers dan individu menjaminkan dirinya untuk penangguhan penahanan untuk Yusniar.
Menelisik Persamaan di Hadapan Hukum
Dikarenakan peristiwa pembongkaran rumah Yusniar, berlanjut dengan proses mediasi di POLSEK Tamalate dan Kantor Kelurahan. Setelah proses itu, Yusniar pun membuat status di akun Facebook-nya dengan nama “Yusniar Jii”: “Alhamdulillah selesai juga masalahnya. Anggota DPR Tolo, pengacara Tolo, mau nabantu orang yang bersalah nyata-nyata tanahnya ortuku pergiko bantu poeng”.
Status ini seperti mengekspresikan rasa lega atas proses penyelesaian sengketa orang tua Yusniar, meski belakangan pihak lawan Yusniar tidak menghadiri mediasi selanjutnya. Dalam status itu juga, ia menulis kalau ada seorang anggota legislatif dan juga sekaligus berprofesi sebagai pengacara yang melakukan pengrusakan rumah secara paksa.
Atas peristiwa itu, Baharudddin, ayah dari Yusniar juga sudah melaporkan pengrusakan dan pembongkaran paksa tersebut di POLDA Sulsel. Menurut Siti Faidah (Pengacara Publik LBH APIK Makassar), salah satu tim Kuasa Hukum Yusniar dan Baharuddin, laporan polisi dari pihak Yusniar belum diproses dalam tahap penyidikan, sementara fakta dan peristiwa pengrusakan itu ada.
Yusniar adalah seorang ibu rumah tangga. Usianya kini 27 tahun. Untuk penghidupan sehari-hari, ia usaha gadde-gadde (warungan) tepat di samping rumah orang tuanya. Di situ juga Yusniar bersama suaminya tinggal. Ia tidak tamat sekolah dasar (SD). Yusniar adalah anak sulung dari Pak Baharuddin. Yusniar tinggal bersama orang tuanya di Jalan Alauddin meskipun sudah menikah setahun yang lalu.
“Sekarang keluargaku tinggal di ruang atas saja, karena bangunan yang di bawah sudah dibongkar,” kata Yusniar di depan Majelis Hakim.
(foto)
Membaca Kekuasaan Bekerja dengan Kekerasan
[blockquote author=”” link=”” target=”_blank”]Relasi kuasa yang tidak seimbang, posisi power yang lebih rendah, bisa membuat siapa pun rentan mengalami peminggiran dan jauh dari akses keadilan. Bahkan mengalami kekerasan—yang dengan begitu posisinya menjadi pihak yang inferior. Sedang sebaliknya, power yang besar ditambah dengan posisi kuasa yang tinggi, pengalaman akan kebudayaan-yang-mengutamakan laki-laki (superior-patriarkis), berpeluang menjadikan seorang individu bisa meyakini cara menyelesaikan masalah adalah menggunakan kekerasan.[/blockquote]
Mendengarkan tuturan Yusniar di ruang sidang, saya sendiri diliputi rasa marah. Saya merasa keadilan tidak berpihak Yusniar saat ini. Saya sendiri sangat bisa merasakan kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan Yusniar dan keluarganya. Jika saya berada di posisi Yusniar, tentu juga tidak tahu harus berbuat bagaimana menghadapi massa yang tidak dikenal (ditambah dengan seruan seorang yang mengaku sebagai anggota DPRD [juga seorang pengacara]).
Massa dan kekuasaan itu berhadapan dengan Yusniar, yang dari segi postur tubuh termasuk pendek, tidak tamat pendidikan dasar (SD). Yusniar bisa apa? Yusniar punya kekuatan apa melawan orang yang punya kekuasaan dan punya power yang besar?
Yusniar yang seorang perempuan tentu juga punya cara menghadapi dan menyiasati persoalan dengan pengalamannya sendiri, sebagai warga biasa dan sebagai perempuan. Dia tidak tahu harus bagaimana membela diri dengan menyampaikan yang dialaminya. Di situasi itu, dia hanya kuasa pada smartphone-nya, alat yang kemudian dipakai untuk melawan. Kekuatannya (power) hanya bisa katarsis, cuma bisa melawan dengan kata-kata di ruang yang begitu bebas. Mungkin saja menurutnya Facebook netral, yang paling bisa mendengar keluhannnya. Atau mungkin saja Yusniar menganggap aplikasi itu aman baginya. Dia tidak berteman dengan pihak yang melaporkan apa yang dilakukannya itu adalah penghinaan. Dia tidak tahu ada UU ITE.
Memberi tanggapan pun pada medsos, menjadi sangat rentan menjadi korban pasal penghinaan di dunia internet. Meskipun apa yang disampaikan itu adalah hal yang menegaskan keadaan sebenarnya. Negara seperti menganggap berhasil jika banyak memenjarakan warganya. Polisi seharusnya merasa gagal karena tidak bisa menjaga ketertiban. Begitu pula Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) harusnya merasa gagal jika semakin banyak orang yang terjerat UU ITE. Karena dengan kasus Yusniar, ia bisa dianggap gagal memberikan pendidikan penggunaan internet yang efektif dan tepat pada warga negara, khususnya pada kelompok rentan (perempuan dan anak).
Dalam situasi ini, jelas terlihat bagaimana warga di posisi inferior, karena tidak punya pilihan lain di hadapan kekuasaan. Contoh nyata pada kasus ini anggota DPRD dengan power-nya bisa datang memaksakan kehendaknya di Kota Makassar yang jaraknya sekitar 100 kilometer. Mereka bisa datang tanpa adanya penghargaan terhadap pemerintah setempat (RT, RW, Kelurahan), apalagi penghargaan terhadap hak atas milik Yusniar dan keluarganya.
Dia sebagai anggota legislatif sekaligus pengacara, dengan kekuasaannya merasa bisa melakukan apa saja. Semakin solid dengan membawa puluhan laki-laki menyelesaikan sengketa dengan pola kekerasan, dengan memaksakan kehendak. Meski jelas itu adalah kesalahan. Tindakan itu adalah bentuk kesewenangan kekuasaan pada warga biasa.
Pada anggota legislatif disematkan padanya panggilan “Anggota Dewan yang Terhormat” dan para advokat disematkan padanya “Profesi Yang Mulia”. Maka dengan melampaui kewenangannya, melakukan perbuatan melawan hukum, apakah masih bisa dikatakan sebagai orang “yang Terhormat nan Mulia”? Nalar keadilan kita rasanya ikut diciderai.
Kita tentu pantas marah, kita tentu pantas berdiri di pihak Yusniar, dia patut kita bela. Warga patut bersiasat. Warga sepantasnya bersolidaritas dan berkongsi untuk menghadang kekuasaan yang semena-mena. Jika tidak dihadang, mungkin selanjutnya kita yang juga sebagai warga biasa akan mengalaminya.[]
Catatan: Silakan menandatangani petisi online di sini: https://www.change.org/p/pengadilan-negeri-makassar-bebaska…