Jameson’s dan Ingatan tentang Ujung Pandang

Makassarnolkm.id

SEPERTI TAHUN-tahun sebelumnya, Makassar berkawan kelabu dan hujan di awal tahun. Namun pesta menyambut tahun tetap semarak, langit tetap gempita, sebagian besar penduduk bumi tetap bergembira walau dikepung asap sisa kembang api dan petasan, dan kami tetap berangkat menuju Jameson's.

Agenda mengunjungi Jameson's sudah kami rencanakan sejak awal Desember kemarin, tepat setelah suami saya, yang saya panggil Komrad, berhasil mendapatkan gembok bernomor yang lama kami idamkan untuk mengamankan pagar dengan praktis. Perkara gembok ini pun adalah perkara lama yang akhirnya selesai sebelum 2016 berakhir. Tapi, bukan karena gemboknya, sehingga kami harus meluangkan waktu ke sana. Cerita Komrad yang menggebu-gebu tentang betapa lengkapnya peralatan, perkakas, dan segala yang berkaitan dengan rumah di sana.

Setelah memastikan dua anak saya, Maha dan Suar aman dan memang selalu aman bersama neneknya, kami berangkat.

Jameson's terletak di kawasan Pelabuhan Makassar, di sudut Jalan Wahidin Sudiro Husodo, di mana geliat produksi, distribusi, tidak pernah mati. Salah satu kawasan tua di Makassar initidak berhenti bergerak. Masih mendung, dan motor kami merayap pelan melewati Pasar Butung,kawasan dagang yang selalu ramai, apalagi di hari-hari libur seperti ini. Dari arah Butung, mata saya telah menangkap Toko Jameson’s dengan plang yang sama dan huruf yang sama, seperti yang saya rawat dalam ingatan. Motor kami menuju tempat parkir khusus pengunjung yang seyogyanya sebuah ruko tepat di depan Jameson’s. Pilihan cerdas sehingga tidak perlu menjadi sebab kemacetan panjang seperti di banyak ruas jalan utama di kota ini.

Saya berdiri sejenak di depan toko ini. Baunya tidak lagi kukenali. Betul saja, hari itu, Jameson's tidaklah seperti Jameson’s yang telah saya jaga rapi dalam kenangan saat berumur 5-8 tahun. Tapi,anehnya saya justru tidak kecewa. Ada surga baru yang perlahan menyelinap dalam langkah-langkah saya. Saya menemukan segala hal yang saya cari di sini. Semua disediakan, lengkap dan murah. Mulai dari alat tulis sampai alat mandi. Mulai dari penggiling roti sampai perkakas listrik, mulai dari piring sampai minyak gosok. Mulai dari sekop sampai baut. Semua ada. Jika saja sejak awal, kami tidak memasang alarm peringatan, bisa jadi setengah biaya bulanan keluarga kami habis di tempat ini. Mengunjungi Jameson's di awal tahun telah mencoret bucketlist-ku (daftar keinginan) dari jauh tahun sebelumnya.

Ya, bukan hanya karena alasan di atas sehingga saya meluangkan waktu untuk ke toko ini. Jameson's untuk saya adalah cerita masa kecil yang tidak bisa hilang. Jameson's adalah tempat Bapak selalu mengajak kami, anak-anaknya untuk meghabiskan waktu libur di Ujung Pandang. Mengunjungi Ujung Pandang saat itu, seingatku hanya dua kali setahun saat liburan sekolah tiba. Dan Jameson's menjadi salah satu destinasi utama. Saat itu jika ditanya tentang Makassar, yang masih Ujung Pandang, pasti jawabannya Jameson’s, begitupun sebaliknya Jameson’s adalah Ujung Pandang.

Selain Jameson’s ingatan masa kecil saya tentang Ujung Pandang adalah Taman Aneka Ria, yang saya tidak ingat di mana lokasinya. Saat saya tanya, bapak pun mulai buram ingatannya tentang tempat itu. Taman itu juga tempat bermain, namun di area outdoor yang lapang dan permainannya lebih banyak. Yang paling jelas, saat mengunjungi area bermain itu, kami melewati jejeran ruko yang banyak sekali. Dan jejeran ruko itu selalu jadi spot favorit kami untuk berfoto keluarga.

Satu lagi, kota Minasaupa. Ya, saya mengingat Minasaupa sebagai kotanya Ujung Pandang. Kawasan yang ramai, kendaraan lalu lalang tepat di depan rumah, pete-pete dengan mudahnya diakses, rumah-rumahnya semua “rumah batu” dan banyak tempat jualan di mana memungkinkan saya untuk membeli chiki dan go go dengan mudah. Dua makanan andalan yang harus ada untuk melengkapi kebahagiaan. Indikatornya jelas, hal-hal tersebut di atas tidak saya temui di kampung halaman yang jauhnya hampir mencapai 200 km dari Ujung Pandang. Saat kecil, saya mengenal Ujung Pandang serupa ruang bahagia yang dijanjikan Bapak dan Ibu sebagai imbalan atas upaya kami menjadi anak yang baik di rumah dan di sekolah selama enam bulan. Mengunjungi Ujung Pandang adalah mengunjungi tanah impian.

Bapak saat itu masih menjalani rutinitasnya sebagai supir angkutan bus Kendari-Makassar “Setia Jaya”, dia sangat mengenal Ujung Pandang dan tentunya Jameson’s. Kantor perwakilan busnya hanya beberapa langkah dari toko itu, tepatnya di Jalan Barang Caddi, di kompleks ruko yang sekarang masih jadi perwakilan bus angkutan Kendari Makassar, namun bukan lagi CV Setia Jaya. Bapak juga di waktu-waktu tertentu sering membawakan Udi, adik lelaki saya, mainan yang selalu dan pastinya ia beli di Jameson’s. Mengingat Jameson’s, saya akan mengingat Ujung Pandang, dan pasti mengingat bapak yang masih bugar. Dia selalu mengandalkan Jameson’s untuk memberikan kebahagiaan pada kami.

Toko itu seingatku ada dua lantai dan menyediakan banyak permainan serupa Timezone sekarang. Yang paling favorit adalah kuda-kuda atau serupa kuda yang bergoyang jika koin dimasukkan, yang menurut saya masih difavoritkan anak-anak hingga sekarang. Banyak ragam permainan lainnya, tapi cuma itu yang betul-betul saya ingat. Satu lagi, saya ingat lampu kelap kelip di huruf yang bertuliskan Jameson's.

Berpuluh tahun Jameson's serupa prasasti kebahagiaan masa kecil yang sungguh tidak bisa hilang.Saat kembali ke Makassar untuk kuliah, berkali-kali berencana mengunjungi kenangan-kenangan di sana. Tapi, cerita tentang bangkrutnya, cerita tentang berubahnya Jameson's menyurutkan niat saya. Saya takut perubahan Jameson's mengubah imajinasi saya akannya.Dan membutuhkan 20 tahun lebih untuk saya kembali.

Jameson's sepenuhnya telah berubah. Tapi, saya menemukan satu hal yang tetap sama, tempat ini tetap menyuguhkan kebahagiaan. Saya menemui perbincangan hangat di lorong lorongnya yang padat. Seorang kakek yang menjelaskan alat-alat listrik pada cucu perempuannya. Ibu yang berdebat tentang warna pulpen dengan anaknya, atau suami yang menggerutu karena istrinya terlalu lama menentukan pilihan. Sungguh. Saya menemukan kebahagiaan serupa di tempat ini. Kebahagiaan yang sama saat Bapak mengiyakan untuk bermain lama-lama. Kebahagiaan yang sama saat Bapak terus memberi kami koin untuk bermain. Saya merasakan langkah-langkah bahagia itu. Dia ada. Serupa.

Sayangnya, kebahagiaan mendapati Jameson’s hari itu tidak lagi bisa membawa saya untuk merepresentasikannya terhadap sesuatu. Seperti dulu saat melihat Jameson’s sebagai Ujung Pandang. Ujung Pandang yang bermetamorfosis menjadi Makassar telah mengalami lompatan yang sangat jauh dalam jangkauan ingatan saya. Tiba-tiba, di pertengahan 2003, setelah resmi menjadi mahasiswa, saya menjumpainya sebagai kota yang sibuk, yang memulai pembangunan di mana-mana. Terus bergerak dan berlari. Lalu, ingatan tentang Ujung Pandang mulai saya simpan. Sungguh, saya tak menyangka perjalanan singkat di awal tahun ini mengantar saya menjenguk ingatan-ingatan itu.[]