Kisah Seorang Supir Trayek Makassar - Toraja
SAAT MEMBACA novel Eka Kurniawan berjudul Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas pada bagian kisah Ajo Kawir melakukan perjalanan dengan truknya, saya tiba-tiba teringat seseorang. Dia adalah sopir truk yang membawakan saya kado hape baru kiriman mamaku dari Toraja menuju Sengkang di hari ulang tahunku yang ke-17. Saat itu saya masih bersekolah di SMA 3 Sengkang. Saya lalu menghubunginya, berniat menuliskan pengalamannya sebagai seorang sopir truk.
Namanya Andi Samad, seperti kebanyakan nama orang Bugis ia dipanggil Made’ dari potongan nama langkapnya. Saat sekolah dasar, ia memiliki satu kelas bernama sama, wali kelasnya mengusulkan agar ia mengganti nama menjadi Andi Syafruddin. Namun ia tetap dipanggil Made’’ dengan huruf e taling.
Ternyata saat ini ia tak lagi membawa truk. Tahun 2009, ia membawa bus baru dengan tujuan Makassar-Toraja. Made’ agak kebingungan saat saya memintanya bercerita pengalamannya menjadi sopir mobil besar selama ini. Maka saya memintanya memulai dari menceritakan bus-bus yang ada di Makassar. Ia setuju.
SIAPA YANG mampu menghitung jumlah bus di Makassar? Salah satu sumber macet di Makassar bagian utara. Mulai dari Jalan Urip Sumoharjo hingga wilayah Sudiang sangat mudah menemukan kantor perwakilan bus antar kota plus busnya parkir di depannya. Bukan hanya satu kadang sampai lima bus di area parkir yang sempit itu. Nama bus di Makassar pun macam-macam kini, ada Bintang Timur, Bintang Marwah, Bintang Prima, Mega Mas. Kalau dulu, seingatku saat masih kecil, hanya ada bus Alam Indah, Litha, Liman, Haji Beddu Solo, dan Piposs.
Made’ bercerita tentang bus-bus lama. Ia mulai dari Bus Alam Indah, milik seorang beretnis Toraja bernama Nek Gento. Anak Nek Gento yang kemudian mendirikan usaha yang sama dengan sang bapak, namun dengan nama bus Bintang Prima. Kalau Litha tidak usah ditanya. Semua orang tahu kalau pemiliknya adalah Litha Brand yang pernah menjadi anggota DPD itu. Bus Haji Beddu Solo tak lain pemiliknya adalah Haji Beddu dari Solo. Tapi bukan Solo di Pulau Jawa melainkan Solo di Kabupaten Wajo. Bus ini sudah beroperasi sejak tahun 1960-an.
Yang paling Made’ suka adalah Piposs. Piposs adalah kepanjangan dari “Padaidi Padeilo Sipatuo Sipatokkong” milik Muhammad Zain Useng yang perusahaannya bernama PT Taspi Trading Coy yang dikelola anaknya Haji Basri. Kalau sering memperhatikan, nama empunya bus ini selalu ada di sisi kiri bus tak jauh dari pintu depan bus. Tulisannya tak besar, namun jelas tertulis “M. Zain. U”. Hampir sama dengan Haji Beddu Solo, Piposs juga mulai beroperasi tahun 60-an. Sedangkan bus lainnya yang masih tergolong baru, Made’ tak begitu tahu siapa pemiliknya.
Kenapa Made’ suka bus Piposs? Karena ia menghabiskan waktu sekitar 18 tahun dalam hidupnya di perusahaan bus ini.
Made’ terbiasa bekerja sendiri karena ia yatim piatu sejak kecil. Tahun 1981 ia merantau dari kampung asalnya Desa Wage, Kabupaten Wajo, menuju Kota Ujung Pandang dan langsung bekerja sebagai kernet di Piposs. Sepupunya yang namanya mirip dengannya, Mude, mengajaknya kala itu. Setahun kemudian ia sudah mampu mengendarai mobil.
Ia pun diminta membawa mobil truk dengan muatan beras ke Toraja. Dua tahun mengangkut beras, ia mendapat ajakan untuk merantau ke Bontang, Kalimantan. Di sana ia membawa truk milik CV Son and Father membawa muatan timbunan tanah. Made’ hanya betah dua tahun di Kalimantan. Tahun 1987 ia pulang ke Sulawesi Selatan, tepatnya kembali ke kampung halaman, Sengkang, ibukota Wajo. Ia kembali mengangkut beras namun dengan jalur yang lebih panjang, Sengkang-Kendari-Ujung Pandang. Sesekali ia membawa pete-pete di area Kota Sengkang jika sedang tak ada muatan truk.
Di tahun inilah ia bertemu dan segera menikahi gadis penghuni pondok pesantren As’adiyah bernama Nurmi, tepat tanggal 28 November 1987. Setahun setelah menikah ia kembali ke Ujung Pandang, memilih merantau ke kota bersama istrinya, kembali bergabung di Piposs.
Sama dengan perusahaan lainnya, Piposs menyediakan jenjang karir bagi para pekerjanya--mulai dari kernet bus, sopir service (mobil kecil yang mengantar penumpang dan barang langsung ke rumah masing-masing), sopir bantu, dan karir paling tinggi adalah menjadi sopir utama. Made’ mendapatkan posisi itu di tahun kelimanya bergabung di Piposs. Dua belas tahun ia menjadi sopir utama Piposs dengan jalur yang beragam; dari Ujung Pandang yang kemudian berganti nama menjadi Makassar menuju Palopo, Belopa, Majene, Polmas, Mamuju, atau Topoyo.
Pak Made' bersama keluarga sekisar 1996-1997, ketika masih bekerja di Piposs. (Foto: Koleksi keluarga)
Akhir tahun 2005, Made’ memilih berhenti di Piposs dan kembali membawa truk milik keponakannya yang membawa barang ekspedisi, juga dengan beragam jalur. Hingga tahun 2009, ia rindu membawa bus dan tepat ada panggilan untuk membawa bus baru, Metro Permai jalur Makassar-Toraja hingga kini. Ia tak perlu mulai dari jenjang karir awal, langsung menjadi sopir bantu dan pada tahun 2013 hingga kini ia menjadi sopir utama di bus Metro Permai.
Selain karena lama bekerja untuk Piposs, Made’ memfavoritkan perusahaan Taspi Trading Coy karena pengoperasian kendaraannya yang paling lengkap, sedangkan bus lain kebanyakan dipesan dari luar Sulawesi, kebanyakan dari Jawa.
Piposs memiliki bengkel, toko onderdil sendiri, cat, las, dempul, pokoknya komplit. Bahkan untuk tukang jahit kursi serta desainer body bus mereka punya. Dan hanya di Piposs yang masih rutin melakukan adat Passili, yakni ritual mengeluarkan makhluk-makhluk halus dari mobil jika pernah mengalami kecelakaan. Di Piposs tiap kali sopir berganti bus, juga harus mengadakan ritual barasanji. Biasanya keluarga sopir membuat berbagai panganan tradisional seperti onde-onde, songkolo, dan ayam. Semua panganan itu kemudian dibawa ke bus, lalu didoakan oleh tukang baca setelah itu sopir akan membawa bus berkeliling di bengkel dengan seluruh panganan di dalam bus. Setelah itu makan bersama dengan keluarga besar perusahaan.
Bus Metro Permai juga memiliki ritual semacam itu, namun baginya cukup asing sebab bus ini dimiliki oleh Iwanto Siappa alias Pak Ato, seorang nasrani dari Toraja. Tentu saja ritualnya berdasarkan kepercayaan umat nasrani seperti kumpulan yakni berdoa bersama dan biasanya disertakan dengan makan-makan dengan menghadirkan pendeta. Made’ seorang muslim memilih melakukan barasanji sendiri di rumahnya jika ia berganti bus baru. Ia dan keluarga akan memotong beberapa ekor ayam, membuat songkolo, dan menyajikan satu sisir pisang di atas nampan atau biasa disebut baki, kemudian memanggil ‘tukang baca’. Belakangan ia belajar sendiri untuk mendoakan busnya sehingga tidak perlu memanggil tukang baca. Kemudian panganan yang dibuat itu dinikmati oleh seluruh anggota keluarga saja.
Ada beberapa pantangan yang harus dihindari dalam membawa bus, seperti tidak boleh membawa karang laut atau semacamnya yang berasal dari air. Menurut kepercayaan para sopir, bisa saja terjadi kecelakaan bus terjun ke laut karena sesuatu dari air akan kembali ke asalnya. Tidak boleh membawa anjing dan babi karena akan mengganggu penumpang lain, kecuali bus yang menuju Toraja kadang masih bisa ditoleransi.
Apa yang membuatnya betah membawa bus dibandingkan truk? Made’ mengatakan kalau truk jadwal keberangkatannya tidak menentu sehingga mempengaruhi pendapatannya.
Ia menyenangi pekerjaannya sebagai sopir dibanding menjadi petani seperti harapan almarhum mertuanya dulu. Ia juga lebih senang jika mendapat jadwal keberangkatan di malam hari sebab jalanan sepi dan cuacanya yang dingin. Jika siang hari ia selalu merasa gerah dan jalanan selalu padat.
Made’ paham betul seluk beluk bus. Dan selalu mengingatkan, sebelum berangkat ia harus menenangkan diri, dalam bahasa Bugis ia mengatakan ‘padecengi paringerangmu’. Ia tidak mau berangkat membawa bus jika perasaannya sedang kalut.
Dalam satu kali pemberangkatan, yang istilahnya satu res pulang pergi, penghasilan mencapai kurang lebih 3 juta. Namun pengeluarannya juga tidak sedikit. Untuk rute Makassar-Toraja biaya solar mencapai 1,4 juta rupiah sedangkan rute Makassar-Mamuju sekitar 1,7 juta rupiah. Belum lagi biaya cuci mobil sebab Metro Permai tidak memiliki fasilitas lengkap seperti Piposs, biayanya sekitar 260 ribu rupiah. Ada juga pembayaran TPR di Bandara, Pare-Pare, dan Toraja sendiri meski tak seberapa. Serta ban mobil sekitar 3 juta namun tidak setiap kali pemberangkatan harus dikeluarkan.
SATU BULAN lalu, Made' diminta untuk membawa bus baru. Karena masih baru klaksonnya juga masih pakai yang bunyi standar “Poom Poom”. Sejak “Om Telolet Om” tren, seringkali ia mendapati anak kecil berteriak meminta dibunyikan klakson. Namun itu berakhir dengan kekecewaan mereka hanya mendengar Poom Poom. Dua hari lalu, ia sengaja tidak segera pulang ke rumah, melainkan ke bengkel untuk mengganti klakson berbunyi Telolet. Ia tidak ingin mengecewakan banyak anak kecil di pinggir jalan. Tren “Om Telolet Om” ini membuat ia bersemangat ketika mengemudi.
Made’ adalah sopir favorit saya sejak kecil. Saya selalu diajaknya ke kabupaten-kabupaten ketika saya libur sekolah. Saya dulu selalu bangga karena masih kecil sudah mengunjungi banyak kabupaten di Sulawesi Selatan.
Ya, saya adalah anak pertama Made’ yang selalu mendapat kursi spesial di atas bus saat kecil. Namun semakin dewasa, saya kadang harus rela duduk di lorong bus jika ingin ikut jalan-jalan di musim penumpang. Masa kecil banyak kuhabiskan menunggu Made’, yang kupanggil “Etta", di bengkel Piposs bersama adikku. Kami senang berlarian di dalam bengkel dan bagian favorit saya adalah melihat tukang pembuat kursi bus memotong-motong busa kursi. Saya selalu mendapat busa sisa untuk kujadikan bantal.
Atau melihat Wadi, si desainer body mobil bus Piposs mewarnai bus menggunakan stiker. Ia juga mahir membuat huruf-huruf balok di atas stiker yang kemudian ditempel di bus. Di kalangan sopir mobil ia sangat terkenal. Ah ya, sepertinya saya harus menemui Wadi untuk memintanya bercerita tentang pengalamannya sebagai desainer body bus hingga saat ini. Saya kadang bertemu dengannya di terminal Daya. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.[]