Terminal, Aheng, dan Koran Cetak dalam Gulungan Senjakala
Tembang lawas Iwan Fals feat Franky Sahilatua bertemakan terminal menjadi penanda jika titik pusat perhentian moda transportasi darat itu menjadi ruang sosial yang ramai pada satu ketika. Kita, tentu saja memiliki kesaksian yang beragam mengenainya.
Mungkin saja kita tak pernah menyaksikan “bocah kurus tak berbaju yang tak kenal bapaknya” sebagaimana dalam lirik Terminal. Tetapi, barangkali saja, ada peristiwa sosial tragis lain yang berkaitan dengan sosio kultural di mana terminal itu berada.
Bicara terminal, produk tata ruang ini mengindikasikan adanya gerak yang padat. Aktivitas bejibun di dalamnya sudah cukup sebagai peristiwa yang terjadi di wilayah urban. Nah, kapasitas urban ini yang berbeda. Kita sederhanakan saja menjadi dua golongan: kota besar dan kota kecil.
Kota kecil, golongan inilah yang menjadi nafas menuliskan ini. Berjarak sekitar 50 km di sisi utara kota Makassar terdapat kota kecil bernama Pangkajene, ibu kota Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep). Sebagaimana arsitektur kota pada umumnya, juga ada terminal yang pernah menjadi ruang padat saban hari hingga di paruh akhir dekade 90-an.
Persisnya mulai lesu tidak tahu pasti. Namun, bisa disebutkan prakondisinya ketika perusahaan jasa mulai muncul dan berjaya. Pertama, banyak pinjaman lunak dari agen pembiayaan yang menggoda warga memiliki sepeda motor. Kedua, kerja jaringan pebentor, yang banyak pendapat menyepakatinya tren transportasi yang bermula dari Gorontalo.
Pelan dan pasti, keinginan bergegas dan ogah antri menunggu penuhnya pete-pete atau mikrolet di terminal menemukan pemenuhan sebabnya. Mungkin seperti itu, bisa juga tidak demikian dan ada prakondisi yang lain.
Ada gerak material yang menggerakkan material yang lain. Pada ujungnya, dipilih material mana yang efektif dan menyisakan banyak kisah di balik penanda material yang telah ditinggalkan itu.
“Itu mikrolet kenapa tidak pernah dipakai?” tanya saya pada tetangga yang dulu sopir angkot. Perbincangan ini sebenarnya sudah lama, mungkin lima atau tujuh tahun lalu. Terngiang kembali jika mengingat terminal. Haji Ambbo Rappe, dulunya sopir angkot, seperti sopir yang lain, dulunya memiliki rutinitas memarkir mikrolet di terminal Pangkajene.
“Mikrolet itu mau dijual, kalau perlu dijual sama penimbang besi,” jawab istrinya waktu itu. Mikrolet itu dibeli Haji Ambo Rappe dari hasil menjalani profesi TKI di Arab Saudi selama dua tahun. Setelah memutuskan tak ingin lagi ke Arab Saudi, ia menarik angkot hingga berhenti karena situasi berubah. Jadilah mikroletnya itu terparkir begitu saja hingga laku. Masih menurut istrinya, dijual senilai tiga juta rupiah saja.
*
Di pengujung tahun 2021, Kamis, 30 Desember lalu, saya berkunjung ke terminal Pangkajene mencari koran untuk mengecek opini yang saya kirimkan ke Tribun Timur. Hujan yang mulai menderas menjadi alasan tinggal sejenak.
“Dari mana baru saya lihat,” sapa seorang tua. Dari ucapannya serasa mengenal saya sangat dalam. Saya tidak menganggap itu basa basi.
Selanjutnya perbincangan terlempar ke masa lalu, masa ketika terminal begitu riuh. Di masa SMP di tahun 1996-1998, terminal merupakan salah satu tujuan membolos. Ada kebanggaan jika hal itu dilakukan.
Sebatang rokok yang hampir tandas sudah cukup membuka kotak memori. Lelaki tua itu mengingat wajah saya sejak masa SMP. “Saya juga orang Kabba, tinggal di Soreang,” ucapnya.
Dulu, memang banyak aheng, Daeng Liko (87), salah satunya. Saya pikir tidak ada lagi aheng sebab terminal sudah kehilangan fungsi dan mengalami senjakala. Di beberapa kesempatan ke terminal Pangkajene yang lalu, saya tidak menjumpai keberadaan aheng. Aheng, merujuk pada petugas lapangan yang menawarkan jasa mengatur antrean angkutan, kadang juga dijumpai di pinggir jalan yang menjadi titik kumpul menunggu angkutan.
Dalam penelitian Muhammad Rizal bertajuk “Fenomena Calo Liar” di Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi Volume IV No 1 Mei 2016. Aheng ini bisa disebut calo dengan status liar. “Mereka seenaknya saja melakukan pekerjaan di Terminal Daya Kota Makassar tanpa merasa bahwa pengelolahan terminal regional Daya Kota Makassar itu di bawah naungan pemerintah daerah,” tulisnya.
Keberadaan aheng menunjukkan adanya relasi kuasa yang bekerja dalam kantong ekonomi di sebuah titik perputaran uang. Di terminal, pertarungan itu dilakoni dua kekuatan: satu yang sah yakni pemerintah; kedua, yang disebut liar itu dengan sebutan calo. Penamaan calo yang mengandung definisi negatif, tentu saja dari kuasa pertama guna menjaga legitimasi kuasa yang dijalankan.
Daeng Liko menceritakan jika aheng itu ada memang yang meminta atau menerapkan standar jasa. “Itu tidak baik, kita syukuri berapa dikasih,” lirihnya. Ia mengisahkan lebih lanjut tentang beberapa kawan aheng di masa lalu. Hasilnya, akan menjadi pembicaraan di kalangan sopir.
Masih dari sari penelitian Muhammad Rizal, aheng juga memiliki kontribusi positif dalam membantu sopir angkutan umum antar daerah sepertui armada Panther. “Dengan keberadaan calo liar ini memberikan kemudahan bagi mereka dalam mencari penumpang,” tulisnya.
Sesungguhnya Daeng Liko tak lagi menjalani peran sebagai aheng. Jejeran mikrolet atau pete-pete yang biasa terparkir di terminal tidak ada lagi. Halte dan kantor Dishub yang berada di tengah terminal Pangkajene itu sudah lama malih rupa. Kini menjadi gedung bertingkat tiga. “Di lantai atas itu café, kalau hari Minggu ramai,” tukasnya.
“Saya lihat Daeng Sudding tidak lagi menjadi aheng di Soreang,” saya kembali membuka percakapan.
“Sudah lamami, saya mami aheng di sini. Saya masih kerja di terminal ini karena masih banyak kendaraan parkir. Itu mami saya atur,” balas Daeng Liko.
Dalam sehari Daeng Liko bisa mengumpulkan 30 hingga 50 ribu dari jasa mengatur dan menjaga kendaraan parkir di area bekas terminal Pangkajene. “Cukup mi ini untuk ongkos anak yang masih sekolah.”
Seiring waktu ketika Pandemi Covid 19 perlahan mulai menjadi bagian kehidupan di eran normal baru, status Pangkep juga sudah berada zona hijau, istilah dari pemerintah dalam mengidentifikasi wilayah terkait kasus terpapar Covid, ruang sosial perlahan mulai ramai. Dari masa jeda hampir dua tahun itu, Daeng Liko kembali menjalani rutinitas di terminal Pangkajene yang, sebetulnya, secara resmi tak lagi disebut terminal karena terminal di Pangkep sudah lama direlokasi di Bungoro.
Siklus Koran Cetak di Pangkep
Pada 2015 lalu, ramai di jagad maya perdebatan mengenai senjakala media cetak. Bermula ketika Bre Redana menulis kolom di Kompas Minggu, 27 Desember 2015 dengan judul “Inikah Senjakala Kami”. Sontak tanggapan muncul dan membagi dua kubu. Ada yang mengiyakan dan itu suatu keniscayaan, sisanya masih ogah mengakui gulungan senjakala itu. Tepatnya ada kekhawatiran jika peran jurnalisme tak mampu diemban media digital. Benarkah demikian?
Seliweran informasi yang kemudian muncul bahwa beberapa koran cetak sudah mulai menghentikan distiribusi dan mulai menapaki jejak digital. Sila cek sendiri dengan melakukan pencarian di Google. Pangkal kolom Bre sebenarnya disandarkan pada hantu berakhirnya koran cetak dan itu diktum kematian jurnalisme. Soal inilah yang banyak ditentang, koran cetak bukanlah personifikasi kualitas jurnalisme begitupun sebaliknya di media digital. Bukankah penghentian cetak dan beralih ke digital hanyalah media menulis? Saya meyakini jika jurnalis yang sejak mula dididik apa itu jurnalisme akan tetap menulis sama di platform digital.
“Jurnalisme bertalian dengan dengan soal keberpihakan. Ia alat semata untuk diabdikan kepada pihak siapa diperuntukkan,” tulis Anwar Jimpe Rachman dalam pengantar buku Makassar Nol Kilometer Dotcom: Jurnalisme Plat Kuning(2014).
Bagi Jimpe, sapaan akrabnya, jurnalisme jika diandaikan serupa kendaraan, maka yang berplat merah kepunyaan pemerintah, plat hitam milik pemodal, dan plat kuning milik khalayak. Jurnalisme plat kuning tentu berbeda dengan istilah koran kuning dengan judul sensasi. (Goerge Rodman dalam Rachman: 2014). Seumpama dalam media digital, bukankah kita sering juga ditawari kandungan judul yang begitu bombastis dengan frasa seragam yang kemudian dijuluki jurnalisme klik. Tujuannya tentu saja sama dengan ciri khas koran kuning itu, menyeret naluri purba keinginantahuan kita.
Badauni AP, jurnalis Terkini Pangkep, mengungkapkan jika dikatakan ada perbedaan antara cetak dan digital tentu ada. “Semua tergantung orang-orang yang di redaksi media itu seperti apa? Apakah mampu membedakan dan memahami tugas dan fungsi jurnalistik,” ujarnya.
Tentu panjang sekali jika harus mengupas hal ini kembali. Kita bergeser ke konteks di mana koran cetak itu masih bisa dijumpai. Di Makassar, tentu sudah diakrabi di mana peredaran koran cetak. Dulu di jejeran kios di Pintu Satu Universitas Hasanuddin menjadi pusat. Di lokus jalan lain seperti Alauddin juga banyak penyedia koran, begitupun dengan kawasan jalan yang lain. Intinya, peredaran koran cetak di Makassar hampir menjajal semua lokus.
Di Pangkep, siklus itu dapat dijumpai di bekas Terminal Pangkajene, di Gazebo Alun-Alun Kota Pangkajene. Saharuddin, seorang kawan jurnalis di Pangkep yang bertugas untuk jaringan pertelevisian di MNC Media mengonfirmasikan kalau hingga saat ini Muh Kasim masih menjadi loper koran dan bermarkas di Gazebo. “Kalau di bekas terminal itu dikelola oleh Pak Syukur,” tulisnya melalui percakapan WhatsApp.
Lebih lanjut disampaikan jika ada juga loper perempuan bernama Neny yang mengantar koran dengan mengayuh sepeda ke langganannya. Ardi Wiranata, juga kawan jurnalis di Pangkep yang bekerja di media daring topnews1.online menyampaikan kalau di Ma’rang, kota kecamatan berjarak sekitar 10km dari Kota Pangkajene juga masih ada loper koran. Sayang, ia tidak tahu namanya, tetapi ia memastikan kalau distribusi koran cetak masih beredar di sana.
Menunggu Lipatan Waktu atau Godot
Koran cetak akan mengalami senjakala? Mungkin iya dan sisa menunggu lipatan waktu lagi. Tetapi, setidaknya sampai sekarang masih bisa dijumpai. Hujan mulai reda, setelah mengambil satu koran, saya tanya bayarnya di mana, Daeng Liko menunjukkan kalau uangnya dijepit saja dekat koran yang masih tergantung. Setelah pamitan, saya iseng memasuki dua kantor bank tak jauh dari bekas terminal, tujuannya untuk mengecek pajangan koran yang biasanya ada sebagai pilihan bacaan bagi nasabah menunggu antrean.
Dua koran terbesar di Sulawesi Selatan, Tribun Timur dan Fajar, ditambah satu koran nasional, Kompas tampak tertata rapi. Dulu koran itu diperlakukan dengan alat penjepit sebagaimana yang sering kita lihat di sejumlah kantor instansi.
Jika membandingkan, katakanlah sepuluh tahun lalu, hampir semua koran cetak dapat dijumpai di kantor instansi. Tentu bisa ditebak kalau hari ini mulai berkurang. Mengapa demikian, manajemen kantor pastinya menyadari perubahan peredaran informasi di tengah berjayanya teknologi informasi.
Fery, General Affair di Kantor Hadji Kalla Cabang Maros, mengatakan kalau manajemen di kantornya hanya mempertahankan langganan koran cetak yang branding-nya lebih bagus dan sering melakukan kerja sama dengan perusahaan. “Dulu banyak media cetak yang jadi langganan. Kini cuma Fajar, Tribun Timur, dan Kompas saja. Saya lihat juga sudah banyak customer tidak baca koran,” ucapnya melalui sambungan telepon. Di kedua bank itu pula, saya melihat nasabah yang antre lebih memilih duduk dengan memainkan layar hapenya.
Di bekas terminal saya melihat masih ada cetakan Koran Sindo, Tribun Timur, Radar Makassar, Rakyat Sulsel, Fajar, dan Kompas. Ini juga berkurang karena dulu masih ada Ujungpandang Ekspres (Upeks), Pare Pos dan Berita Kota Makassar.
Muhajir MA, jurnalis Upeks yang bertugas di Makassar menyiratkan asa mengenai keberlanjutan koran cetak. Meski perlahan oplah dan jumlah halaman berwarna mulai dikurangi untuk menekan biaya produksi. Itu merupakan siasat yang coba dijalani. “Sejauh ini pelanggan koran masih banyak. Basisnya orang tua dan lokus daerah,” ucapnya.
Ucapannya ini menemukan realitasnya, di Pangkep sendiri, kerap masih dijumpai orang tua membaca koran di sejumlah warung kopi dan di instansi pemerintahan. “Pemda juga masih mengutamakan beriklan di media cetak sebagai media sosialisasi. Iklan Pemda inilah yang menghidupi, makanya koran masih hidup karena iklan pemerintah masih memercayakan pada media konvensional,” tambah Muhajir.
Asa ini seperti perlawanan dari menunggu lipatan waktu. Koran cetak tak pernah benar-benar akan mati. Namun, sekaligus hantu itu membayangi. Jadi serupa menunggu Godot, frasa ini disandarkan pada drama klasik gubahan Samuel Beckett tentang penantian yang tak jelas juntrungannya.
Dalam sastra, lahir banyak penafsiran mengenai drama ini, Godot membawa semangat Nietzschean yang membunuh Tuhan. God-is-dot (Godot), ‘dot’ merupakan metafora dari ‘death’. Di Indonesia, Danarto membalas itu dengan cerpen Godlob yang legendaris itu. Melalui cerpen ini, Danarto, oleh banyak kritikus disebut menawarkan metafora melawan narasi Godot yang menempatkan manusia kehilangan arah tujuan. Godlob mengandung pengertian ‘God’, Tuhan dan ‘Lob’, kata klasik dalam literatur Jerman yang berarti pujian.
“Saya masih di sini sampai tak bisa lagi bekerja,” kata Daeng Liko.
Terminal di benaknya tak pernah benar-benar mati. Ia hidup dalam rupa yang lain. Terminal dalam wujud lama telah digulung senjakala. Saya pikir hal ini berlaku pula pada koran, umpamanya. Mungkin sebagian di konteks yang berbeda ada yang mulai berhenti dan di tempat lain masih berdegup. Fisik sudah sudah pasti fana, karena begitulah sifat materi. Tetapi, berganti wujud (evolusi) bukankah juga sifat materi.
_
Pangkep, 30 Desember 2021-2 Januari 2022
Referensi:
https://media.neliti.com/media/publications/70296-ID-fenomena-calo-liar.pdf (Diakses pada 30 Desember 2021. Pukul. 12.07 Wita)
http://budisansblog.blogspot.com/2015/12/inikah-senjakala-kami.html (Diakses pada 2 Januari 2022. Pukul 11.20 Wita
Anwa Jimpe Rachman (ed.),Seri Kompilasi Tulisan Makassar Nol Kilometer (Dotcom): Jurnalisme Plat Kuning.Makassar: Tanahindie Press, 2014.