Serasa Menemukan Peta Perjalanan Pulang

Makassarnolkm.id

 

Hujan tidak turun sejak sore kemarin. Meski begitu, lubang-lubang kecil menganga di sepanjang jalan masuk di kompleks perumahan Riskita Residen masih digenangi sisa hujan. Kecuali swalayan yang berada tepat di sisi kiri jalan masuk perumahan itu tetap terlihat timpas. Area parkirannya memang lebih tinggi dari badan jalan sehingga semua air dari halaman toko itu tercurah ke jalan di sekitarnya.

Berada di pinggiran jalan poros yang bising suara mesin, tidak berarti membuat kompleks itu riuh bergairah di hari libur kalender. Orang-orang tetap lesu dan malas beranjak dari dalam rumahnya. Apalagi cuaca yang tidak menentu, ditambah wabah COVID-19 yang tidak berkesudahan. Pada limbang tengah hari di hari Minggu itu, empat orang laki-laki bertemu di satu meja. Di teras rumah yang ringkih itu mereka berdiskusi membincang buku.

Saat itu adalah tanggal terakhir di bulan Januari tahun ini. Setahun sebelumnya, tepatnya di bulan yang sama pada pergantian tahun 2019 ke 2020, banjir menerjang banyak daerah terutama wilayah ibu kota. Juga, pada bulan tersebut di tahun 2020, sebagian media justru melansir kemunculan Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus 2 (SARS-CoV-2), yang lebih akrab disebut COVID-19, untuk pertama kali hingga saat ini.

Merebaknya virus ini tentu saja banyak mengubah tatanan aktivitas kehidupan orang di seluruh belahan bumi dengan kompleksitas yang berbeda-beda. Bahkan, dalam kanal-kanal literasi pun ikut terseret ke dalam narasi penyakit yang sedang mendunia itu. Kira-kira, sudah lebih sebulan ini, telah terbit buku Ramuan di Segitiga Wallacea: Siasat Pengobatan Warga Selat Makassar, Laut Flores, hingga Teluk Cendrawasih (Makassar Biennale, 2020) tentang kebiasaan cara kerja tradisi pengobatan di masyarakat. Menariknya, meskipun kiat pengobatan yang dijelaskan di buku itu sudah terbilang awam, di dalamnya ada beberapa informasi yang bagi sebagian kalangan akan terkesan garib untuk suatu penelitian. Namun, di baliknya, di tengah kegelisahan di tengah Pandemi COVID-19, kita bisa menemukan secercah harapan kalau strategi pengobatan menghadapi penyakit baru sudah lama dilakukan di masyarakat.

Sampul belakang Ramuan di Segitiga Wallacea: Siasat Pengobatan Warga Selat Makassar, Laut Flores, hingga Teluk Cendrawasih. Foto: Andi Musran..

Sampul belakang Ramuan di Segitiga Wallacea: Siasat Pengobatan Warga Selat Makassar, Laut Flores, hingga Teluk Cendrawasih. Foto: Andi Musran.

 

Proses kerja lahirnya karya ini jelas dampak dari apa yang sedang mewabah dewasa ini. Catatan itu memuat sekumpulan tulisan hasil penelitian dari enam kota di tiga provinsi di Indonesia bagian timur. Di Sulawesi Selatan, selain Makassar, Parepare dan Bulukumba, Pangkep turut terlibat di dalamnya. Dari Papua ada Nabire dan Nusa Tenggara Timur diwakili Labuan Bajo.

Seingat saya, untuk kali pertama sejak diterbitkan, tim peneliti Pangkep memulai bincang buku ini di Rumah Saraung yang berlokasi di perumahan Riskita Residen. Siang menjelang sore hari itu, Minggu 31 Januari, bincang buku Ramuan di Segitiga Wallacea, judul yang merangkum hasil penelitian enam kota dimulai. Program ini sendiri bagian dari penguatan wacana sumber daya di internal Rumah Saraung dan juga upaya lain dalam mengabarkan buku ini ke khalayak Pangkep. Mengambil tema Sudut Pandang Jurnalis, Badauni AP memenuhi ajakan Rumah Saraung untuk membincang buku ini menggunakan sudut pandangnya sebagai seorang jurnalis.

Wartawan eks Tempo ini mengapresiasi lahirnya buku hasil kerja kolektif yang mengupas beragam sisi pengobatan tradisi. Menurutnya, upaya penelitian yang dilakukan para peneliti tidak jauh berbeda dengan kerja-kerja jurnalistik. Walaupun, ulasan kebiasaan masyarakat dalam buku itu di zaman sekarang akan mendapat saling silang pendapat di dalamnya.

“Kalau dari sisi jurnalistik, buku ini menceritakan tentang kebiasaan masyarakat yang masih pro dan kontra juga untuk zaman sekarang. Namun, ini menarik karena ada pengumpulan data dan analisis yang sebenarnya diterapkan pula dalam dunia jurnalistik untuk peliputan mendalam (indepth). Bahwa kita harus mengumpulkan bahan, siapa narasumbernya, terus data apa yang diperlukan,” urai Uni, sapaan akrab Badauni AP.

Bincang buku Ramuan di Segitiga Wallacea di Rumah Saraung, Pangkep, Minggu, 31 Januari 2021. Foto: Rumah Saraung.

 

Pada prinsipnya, bila menggunakan kacamata sains modern, cara kerja dan bagaimana pengobatan ini sampai kepada “dokternya”, yang jika diteliti justru akan dianggap tidak teliti. Tidak rasional dan ilmiah sebagaimana tidak ilmiahnya proses diterimanya ilmu pengobatan bersangkutan. Sebagai contoh, proses peralihan keahlian yang dialami Daeng Caddi (hal. 123). Ada serangkaian kejadian transenden yang dialami Daeng Caddi untuk menguji kualitas dirinya sebelum keahlian pengobatan itu benar-benar meyakinkan. Saya yang ikut terlibat langsung dalam proses penelitian di Pangkep untuk pendokumentasian video merinding mendengar pengakuan Daeng Caddi.

Kemurnian suatu ilmu akan datang pada seseorang yang tepat di waktu yang tepat pula. Apalagi, ilmu yang diwariskan perihal pengobatan. Ini menyangkut keselamatan jiwa seseorang. Jika ilmu itu benar, tentu akan mendatangkan manfaat bagi pemilik dan si pasien. Terbukti, selama puluhan tahun Daeng Caddi menjalankan amanah keluarganya itu dan orang-orang tetap berdatangan ke rumahnya untuk mengupayakan kesembuhan.

Membaca keseluruhan narasi penelitian dalam buku ini menyiratkan tentang bagaimana manusia seharusnya bersikap kepada alam, khususnya tumbuhan. Hampir semua praktik pengobatan yang ada di dalamnya menggunakan media tanaman. Tumbuhan yang senantiasa kita jumpai atau malah terinjak oleh kaki sendiri tanpa disadari.

Bagi saya, buku ini adalah bagai peta yang seakan menunjukkan jalan kembali ke  kampung halaman keluarga, kepada alam semesta, dan kepada Tuhan. Bahwa antara penyakit dan obat hanya sebatas antara dinding dan kebun belakang rumah. Bahkan, sebatas antara dinding kamar dan dapur.

Nurmala, misalnya, seorang ibu rumah tangga di Larompong, Kabupaten Luwu. Semasa kecilnya seringkali melihat neneknya menumbuk beras sebagai bahan membuat bedak obat (sagala’) dan bedak dingin (pacekke’), pada akhirnya resep itu bisa juga ia gunakan mengobati suaminya yang terkena sarampa’ tanpa melalui ritual khusus, seperti dituliskan Wilda Yanti Salam dalam penelitiannya bertajuk “Bedak Belukar, Pengobatan dari Dapur”. “Tidak ada mantra khusus, saya hanya mengucapkan basmalah dan membaca salawat. Ternyata setelah beberapa lama, lukanya sembuh. Saya tidak pernah diajari khusus oleh Nenek Nuha membuat obat itu. Semua adalah memori dari pengalaman masa kecil saat saya masih tinggal bersamanya.”

Ibarat seseorang pelajar yang menempuh studi pengobatan khusus, begitulah Nurmala mencatat dalam ingatannya tentang ilmu meramu bahan-bahan di dapur menjadi sebuah sarana diangkatnya suatu penyakit tertentu. Lalu kemudian studi itu diselesaikannya dengan mempraktikkan sendiri pada keluarganya di rumah.

Proses pembuatan bedak obat (sagala’) dan bedak dingin (pacekke’) oleh Nurmala. Foto: Wilda Yanti Salam.

 

Lebih daripada itu, usaha penyembuhan sakit sebaiknya memang memulainya dari obat yang terdekat dan mudah didapatkan, sebelum jalur pengobatan medis atau dokter ditempuh. Karena resep dapur, beberapa orang dapat menuai sakit. Tetapi dengan ramuan dapur pula, Nurmala menyembuhkan virus roseola atau sarampa’.

Achmad Faisal, juga bagian dari tim peneliti di Pangkep, mengungkapkan jika praktik pengobatan tradisional tidak boleh disepelekan. “Bukan bermaksud membandingkan yang mana yang baik dan tidak. Ada hal-hal yang memang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Kekuatan doa justru memberi efek tersendiri terhadap pengobatan,” ucapnya.

Bincang buku sore itu akhirnya menemukan epilog sebagai sebuah kesimpulan sementara alasan mengapa beberapa masyarakat memilih pengobatan tradisional. Ibu hamil yang akan melahirkan, misalnya. Di beberapa tempat, saya menyaksikan sendiri bagaimana penolakan ibu hamil yang enggan melahirkan pada bidan. Menurut Uni, salah satu alasannya karena si ibu hamil merasakan adanya keamanan dan ketenangan jiwa bila ditangani seorang sanro yang akan membantunya melahirkan.

Tidak berhenti sampai di situ, setelah bayi lahir, sanro masih akan terus datang selama beberapa hari kedepan untuk memandikan dan mengurut bayi serta meniupkan doa-doa tertentu. “Anak saya juga waktu lahir diurut sanro di kampung,” ucap Uni. Anggapan lainnya, masih menurut Uni,  tidak sedikit juga ibu hamil yang baru mendengar kata operasi sesar bisa menambah beban di pikirannya. Faktor ini karena minimnya informasi kesehatan yang umumnya tidak sampai ke daerah-daerah tertentu seperti pegunungan dan kepulauan.

Uni membeberkan, jika pemberitaan di media massa mengenai peran sanro bukannya tidak ada ruang. Hanya saja dalam meja redaksi sebuah media ada hierarki. Di ruang itulah lahir perdebatan tentang nilai sebuah berita. Kecuali, jika sebuah media memiliki program tersendiri untuk liputan khusus tentang pengobatan tradisi. Di sisi lain, Uni sepakat kalau sanro punya peran setara dengan dokter sebagai narasumber dalam pemberitaan bila ada kasus menyangkut kesehatan di masyarakat.[]