Segelas Kisah Es Tebu Polongbangkeng
Kedua tangan saya terasa di dekat tungku pembakaran ketika mengendarai motor di jalan utama Perintis Kemerdekaan, Makassar. Musim yang memasuki kemarau, hawa aspal yang panas menyengat. Di kejauhan tampak spanduk didominasi warna hijau bertuliskan “Juice Tebu Segar”, terikat erat di samping bak motor beroda tiga. Seketika perasaan yang gerah berubah menjadi segar. Lampu lalu lintas berubah hijau. Pandangan saya tak lagi ke kiri ke kanan; fokus ke depan ingin segera mungkin tiba di tempat spanduk itu berada.
Lelaki berkumis yang mengenakan topi rimba hitam memberi senyum begitu saya berhenti di depan spanduk tadi. Saya memesan segelas es tebu. Dengan cekatan bapak tadi menaiki bak motor beroda tiganya lalu duduk di sebuah kursi berhadapan dengan sebuah kotak hijau berbentuk balok berdiri. Di dalam kotak itu terdapat mesin yang digunakan untuk memeras tebu yang masih dalam bentuk batang. Diraihnya sebatang tebu semeter dan dimasukkan ke dalam sebuah lubang di atas kotak hijau tadi. Tak sampai lima menit untuk memeras air tebu dari batangnya dan disajikan dalam gelas minuman. Sekali lagi senyum ramah diberikan oleh bapak tadi ketika menyerahkan segelas es tebu.
Ini bukan pertama kalinya saya menikmati perasan air tebu dari bapak bertopi rimba ini, hampir di Senin, Rabu, dan Jumat siang setiap pekannya ketika selesai mengajar, saya menyempatkan untuk mampir menikmati es tebu miliknya. Tempat mangkal untuk menjajakan es tebu berada tak jauh dari lampu lalu lintas Adipura Lama, Jalan Perintis Kemerdekaan, dekat dari pintu masuk perwakilan sebuah bus.
Pak Ari, umurnya menghampiri enam puluh tahun. Sudah tiga tahun ia berjualan es tebu. Sebelumnya ia hanya menjual barang kebutuhan sehari di rumahnya yang berada di daerah Limbung, Kabupaten Gowa. Ide membuka usaha es tebu didapatkan berdasarkan pengamatannya di pinggir jalan Jakarta yang banyak menjajakan es tebu pada tahun 2013. Lima bulan lamanya Pak Ari di Jakarta, ia memutuskan untuk membeli mesin pemeras tebu seharga empat juta pada waktu itu untuk dibawa kembali ke Makassar.
Menurut penuturan Pak Ari, ia adalah orang kedua yang menjual es tebu di Makassar. Orang yang pertama sudah berhenti karena usia lanjut. Sekarang, ada sepuluh penjual es tebu yang tersebar di Makassar, ada tiga lokasi jualan mereka yang disebut oleh Pak Ari: Jalan Perintis Kemerdekaan 7 (dekat STMIK Dipanegara), depan Pesantren IMMIM Makassar, dan Pantai Losari.
“Kalau hari Jumat, di Mesjid Al Markaz ka menjual saya sampai jam dua, nanti jam-jam tiga baru di sini. Hari Minggu di Pantai Losari ka, tapi sampai jam sepuluhji karena kalau lewatmi, biasa nausir meki Satpol PP.”
Kebiasaan menikmati es tebu di Makassar khususnya, mungkin tidak sepopuler di daerah-daerah seperti di Pulau Jawa. Pengalaman saya selama empat bulan di daerah Jawa Timur sangat mudah memjumpai penjual es tebu di pinggir jalan. Harganya pun hanya dua ribu rupiah sedang di Makassar lima ribu rupiah segelas. Faktor lain bisa jadi karena tersedianya bahan baku, Jawa Timur yang menjadi provinsi penghasil tebu terbesar di Indonesia memiliki luas tanam dan produksi sangatlah besar. Direktorat Perkebungan menyebut tahun 2014, Jawa Timur mememiliki luas tanam 212.139 ha/1.262.473 ton, sedang Sulsel hanya 11.891 ha/produksi 32.913 ton.
Pak Ari pun berbagi cerita mengenai kendala bahan baku usahanya. Setiap pekan ia mendatangi petani tebu di daerah Polongbangkeng, Kabupaten Takalar untuk memenuhi bahan baku es tebunya. Sekali beli ia menghabiskan biaya sebanyak satu juta untuk mengisi penuh bak belakang motor roda tiganya, tebu sebanyak itu dihabiskan hanya dalam sepekan.
“Langsungka beli sama petani di Polongbangkeng tapi bukan yang dikasi masuk ke pabrik gula, beli sama petani yang tanam sendiri (lahan pribadi), susah kalau mau beli yang untuk pabrik karena ada pengawasnya,” jelasnya.
Kadang ia harus rehat sejenak karena bahan baku tidak tersedia. Ketika musim tanam tiba, Pak Ari harus menunggu enam bulan untuk mendapatkan tebu. Lelaki ini juga menjelaskan lambatnya masa panen lahan yang digarap pribadi (masyarakat) dibandingkan perusahaan. Untuk lahan pribadi, masa panen bisa mencapai enam bulan, berbeda lahan garapan perusahaan bisa lebih cepat.
Pak Ari melanjutkan ceritanya tentang konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan di daerah itu, dan pihak yang awalnya mendukung perjuangan masyarakat seketika berubah saat mereka menjadi wakil rakyat.
“Banyak kodong lahannya petani diambil. Padahal hak miliknya itu petani. Perusahaan na sewaji saja, ada tong beberapa orang dulu sering dukungki masyarakat di sana, tapi sudah dudukmi jadi anggota dewan nda na urusmi itu masyarakat. Enak mi mungkin di kursinya sekarang.”
Tawa miris tampak di akhir penjelasannya.
Di Polongbangkeng, Takalar memang ada sebuah perusahaan berpelat merah yang beroperasi sejak 1980, PT Perkebunan Nusantara XIV. Perusahaan ini memiliki tiga unit pabrik salah satunya di Pabrik Gula (PG) Takalar, dan dua lainnya berada di PG Bone dan PG Camming.
Sepengetahuan saya, PG Takalar memang sudah lama terjadi konflik (sengketa lahan) antara masyarakat dengan perusahaan sejak tahun 2008-sekarang. Pernah suatu sore, entah bermula dari mana perbincangan saya dengan Eko Rusdianto, jurnalis yang banyak mengisi media seperti Historia, Mongabay, dan Pindai. Eko menceritakan pengalamannya ikut serta dalam aksi masyarakat di Polongbangkeng.
Ia mulai menceritakan seorang tokoh wanita bernama Daeng So’na yang tergabung dalam Serikat Tani Polongbangkeng – terbentuk sejak tahun 2006 dan resmi pada tahun 2009 – yang memiliki semangat jauh melebihi semangat para lelaki dalam mempertahankan lahan mereka melawan pihak keamanaan sewaan perusahaan, aksi yang terjadi 25 Oktober 2014 diikuti 802 orang berasal dari delapan desa. Dalam aksi ini mereka didampingi oleh beberapa organisasi seperti Wahana Lingkungan Hidup, Lembaga Bantuan Hukum Makassar, Perkumpulan Mahasiswa, Aliansi Gerakan Reformasi Agraria, dan KontraS. Aksi ini merupakan aksi susulan setelah setahun sebelumnya masyarakat dengan dampingan beberapa lembaga berhasil merebut 800 ha dari 7.970 ha yang diklaim oleh perusahaan. (http://pindai.org/2014/11/11/kami-hanya-mau-tanah-kami-kembali/)
Dari segelas es tebu siang itu membawa sebuah perenungan betapa pentingnya kita menghargai apapun yang sekarang kita nikmati. Salah satu dari banyak nikmat yang kita rasakan yaitu tebu. Di balik gula yang kita nikmati untuk pemanis minuman dan makanan setiap harinya tersimpan kepingan kisah yang tidak semanis rasanya. Kepingan kisah tentang perjuangan manusia untuk menafkahi hidupnya dengan berjualan es tebu, tentang perjuangan masyarakat melawan penindasan serta tokoh-tokoh yang bergerak di level bawah. Panjang umur Pak Ari dan perjuangan masyarakat Polongbangkeng serta para penggeraknya.[]
:: Andi Feri Pebriari Pangngerang, blogger dan Presidium Forum Kampung Bahasa (FKBS).