Reparasi Kunci, Usaha Membuka Pintu Rezeki

Makassarnolkm.id

Ini cerita perjalanan hidup seorang penduduk pulau yang menjadi penghuni permukiman darat.

“Berkah reparasi kunci, tidak sembarang ka’ kasih nama. Sengaja ka’ kasih nama ‘berkah reparasi kunci’, karena cuma ini satu-satunya yang hidupi keluargaku selama ini,” jelas Pak Haris.

Ia adalah lelaki kelahiran Pulau Langkae, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar, Sulawesi Selatan, tahun tahun 1974 silam. Ia memiliki 2 orang anak dari istri bernama Syarifah, perempuan asal Pangkajene, Sulawesi Selatan. Ia bertemu dengan istrinya di Pulau Langkae. Istrinya tinggal bersama saudaranya di sana. Setelah berpacaran selama tiga bulan, akhirnya ia memutuskan untuk menikah pada tahun 2009.

Nurhikmah (8 tahun) dan Sri Rahmadani (6 tahun) adalah kedua anak yang dibesarkannya dari hasil reparasi kunci. Keduanya kini sedang mengenyam pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Bung, Kecamatan Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan. Ia mendapatkan program pendidikan gratis dari pemerintah. Setelah mengurus kartu keluarga, akta kelahiran, dan surat nikah, anaknya sudah bisa duduk di bangku sekolah bersama anak-anak lainnya.

Lelaki berpostur 175 sentimeter ini memulai petualangannya di Kota Makassar sejak tahun 2000. Awalnya, ia jadi anak buah kapal, bekerja di kapal seseorang yang disebutnya ‘Juragan’. Hidup di pulau tidak memuaskan baginya.

“Kalau hidup di pulau itu susah. Kalau pergi melaut, misalnya, dapat ki’ uang satu juta, itu cepat sekali habis. Apalagi ditau mi kalau di pulau, harga barang agak mahal. Beda dengan di kota, seperti sekarang,” keluhnya.

“Apa yang beda, Pak?” tanyaku lagi.

“Kalau di pulau, tidak ada penghasilan harian. Bergantung di laut ji semua. Kalau di pulau, palingan cuma satu atau dua kali melaut. Belum lagi biaya-biaya lainnya. Yah, paling kalau sudah tidak ada uang, kita mengutang lagi di warung-warung,” kata Pak Haris.

“Biaya lain apa, Pak?” tanyaku.

“Kalau yang merokok itu sehari di pulau bisa habis 100 ribu. Kalau yang tidak, yah, palingan 70 ribu ji na pake satu hari. Tapi kalau mengutang ki’, dikasih harga tambahan dari per barang yang diambil. Tapi itumi baiknya, kita sama-sama memahami. Dia kasih pinjam ki’ barangnya, terus kita bisa nikmati tanpa keluar biaya dulu,” terangnya.

“Kenapa begitu, Pak? Memangnya sudah jadi kebiasaan di sana? Ikhlas ji itu na kasih barangnya, Pak?” balasku cepat.

“Ih, begitu memang tawwa. Modalnya yang dia pake tidak terputar karena kita ambil barangnya baru tidak bayar, utang. Jadi kita juga harus pahami. Siapa juga yang mau kasih makan ki’? Syukur itu mau na pinjami ki’ barangnya, setimpal dengan harga lebih yang kita bayar nanti,” Jawab Pak Hasri dengan kerutan di dahi.

Di Pulau Langkae, ia hidup dengan bergantung pada utang jika uangnya dar hasil melaut sudah habis. Kondisi keuangan yang tidak stabil, membuatnya berpikir untuk pergi merantau ke kota. Dari kurun waktu tahun 2000 hingga 2010, ia sudah bolak-balik dari kota ke Pulau Langkae, tempat tinggalnya. Tepatnya di tempat pelelangan ikan, sebelah Pelabuhan Paotere’.

Pada tahun 2010, ayah dari Pak Haris, menjadi tim sukses seorang calon legislatif. Dengan dalih membalas jasa sebab dicarikan massa pendukung, ayah sang caleg mempekerjakannya untuk menjaga sebuah rumah yang dibeli ayah caleg itu pada tahun yang sama. Rumah itu terletak di samping kanan kampus STMIK AKBA, Makassar. Rumah berwarna kuning berlantai dua itu yang akhirnya ditempati oleh Pak Haris bersama istri dan anak-anaknya. Ia menempatinya gratis, gaji dari menjaga rumah itu dikirim ke ayahnya.

“Saya syukuri ji, yang penting bisa tinggal secara gratis di situ,” kata Pak Haris. Ia tidak tahu kapan ia akan hengkang dari rumah tersebut. Belum terdengar kabar, siapa yang akan menempati rumah itu sampai saat ini.

Selama menempati rumah yang dijaganya, ia mengamati seorang tukang kunci yang bertempat di sebuah bengkel tepat di depan Kampus STMIK Akba, pada tahun 2010. Ia pun melihat potensi untuk mengerjakan hal yang sama dengan Mas Parji, penjual jasa membuat duplikat kunci. Awalnya ia hanya melihat-lihat, kemudian terlibat sebagai pekerja yang awalnya menambal ban atau sekadar menambah angin di bengkelnya. Lalu ia pun belajar membuat duplikat kunci di Mas Parji selama 2 tahun. Setelah merasa cukup mahir, ia meminta izin untuk membuka usaha yang sama.

“Saya minta izin, sebenarnya tidak sih, biarpun tidak diizinkan, saya tetap buka, karena memang sudah niat,” kenangnya.

“Terus bagaimana tanggapannya Mas Parji?” tanyaku.

“Alhamdulillah, katanya tidak masalah. Malah dia mendukung. Bagi-bagi rezeki, baik orangnya itu nah. Banyak juga omsetnya, ka tempatnya strategis, dia dulu dilewati baru saya,” jawab Pak Haris.

Ia membeli sebuah mesin kunci seharga enam juta rupiah. Uang hasil melaut dahulu yang ia sisihkan dan hasil tabungannya setelah menikah dengan Syarifah. Ia membelinya sebelum belajar dengan Mas Parji, itulah sebabnya tanpa diizinkan pun oleh Mas Parji, ia akan tetap membuka usahanya.

Awalnya ia kesulitan untuk menemukan lokasi tempatnya membuka usaha. Namun dengan cekatan, ia memilih sebuah tanah berukuran 2 x 2 meter dengan harga 500.000,00 per bulan, ini sudah termasuk dengan uang listriknya. Ia selalu menyisihkan uang sebanyak Rp 20.000 untuk menabung, lalu membayar uang sewa tanah ini pada akhir bulan. Ia membangunnya dari kayu-kayu bekas baliho yang kadang menjadi sampah di pinggir jalan. Tapi tidak seluruhnya, peralatan yang dirasa kurang, harus dibeli pula. Ia pun menutupi pondokan tempatnya usaha dengan spanduk-spanduk bekas.

Ia tidak kesulitan membayar uang sewa. Setiap hari selalu saja ada yang datang. Lokasinya tepat di depan sebuah Warung Kopi Osaka, sebelah Warung Makan Sop Sodara, Warung Makan Pangkep Hj. Anny, dan bersebelahan pula dengan Toko Abdi Agung. Lokasi yang ditempatinya termasuk strategis, sebab pelanggan warung dan toko tadi, selama seminggu bisa tiga sampai lima orang yang datang membeli kunci dan jasanya.

Ia bisa memperoleh uang sebanyak 150.000,00/hari. Paling sedikit, ia pernah dapat hanya Rp 25.000.

“Itu hari toh, sepi sekali. Kuingat sekali itu, hari Jumat. Pas lagi marak-maraknya orang demo BBM. Orang ‘kan tidak fokus melihat ke sini, karena gerah mi. Pasti ada juga yang tidak jadi lewat sini, ka cari jalan alternatif atau berhenti dulu,” kenangnya. Dari hasil yang ia dapat setiap hari, tidak semuannya berupa keuntungan. Setiap hari, datang pemasok kunci menagih uang dari kunci-kunci yang dibelinya sehari sebelumnya. Setiap hari ia harus mengeluarkan uang 75.000.00 untuk itu. Kalau pendapatan kurang, uang yang disisihkan, kadang harus dipakai dulu untuk menutupi.

Kunci yang paling banyak diduplikat oleh pelanggan yang datang adalah kunci gembok dan kunci rumah. Ia menjual beberapa model kunci, dari kunci gembok, rumah, motor, mobil, kamar kos, dan lainnya. Ia pun sering dipanggil untuk membuat kunci di lokasi pelanggan. Paling sering ia dipanggil di Kampus UNHAS. Namun hanya seminggu sekali ia biasa mendapati pelanggan yang ingin didatangi di tempatnya.

Katanya, istrinya terkadang mengeluh tentang masalah keuangan. Tapi selalu bisa menenangkan.

“Tidak ada yang bisa dilakukan, kita mau mengeluh juga sama siapa, pemerintah? Hahaha. Siapa juga yang mau kasih ki’ kalau mengeluh? Tidak ada ‘kan?” terangnya. Makanya nama usahaku ‘Berkah Reparasi Kunci’, ka saya dan keluarga dapat berkah dari situ. Sederhana tapi penuh berkah. Seperti kunci-kuncinya, ia menganggap berkah adalah kunci, masalah terbuka atau tidaknya sebuah pintu, tergantung usaha kita.[]

:: Fauzan Al Ayyuby, mahasiswa STMIK AKBA Makassar.