Pilar-pilar yang Akan Dipancang
Dua buah batu besar terpancang di kedua tepi Selat Gibraltar. Keduanya menyerupai sepasang pilar yang berdiri tegak di satu sisi Benua Afrika, dan satunya lagi terpancang megah di sisi Benua Eropa. Dalam mitologi Yunani, kedua batu itu adalah The Pillars of Hercules. Konon, Hercules-lah memancangkan kedua pilar tersebut.
Hari ini, mitologi telah terseret oleh modernitas. Namun kekuasaan tampaknya selalu saja ingin meninggalkan jejak. Banyak orang yang berbuat hal serupa dengan Hercules. Pancang demi pancang berdiri untuk menunjukkan sebuah eksistensi dan kejayaan mereka pada sejarah. Syailendra, dengan kejayaannya, mendirikan sebuah candi megah bernama Borobudur. Begitu pula kedigdayaan Shah Jehan dalam mengenang mendiang istrinya Mumtaz ul Zamani dengan membangun Taj Mahal diabad ke XVII. Sebuah karya yang dibangun atas nama cinta, namun mengorbankan tidak sedikit dari pekerjanya pada saat itu. Bisa dibayangkan, sebuah bangunan megah yang didirikan diatas lahan seluas 22 hektar lebih dan dikerjakan secara selama 22 tahun, tentu akan meminta banyak tumbal.
Di kota saya, Makassar, hal yang sama terjadi. Satu per satu jejak kejayaan terekam dalam sebuah karya modern dan megah. Sebut saja Karebosi, tanah lapang yang dulunya menjadi tempat masyarakat umum untuk melakukan berbagai aktivitas, kini hanya bisa diakses oleh beberapa orang saja. Begitu pula dengan Losari, pantai tak berpasir di tepi barat kota. Pantai ini menjadi saksi perlintasan kemajuan dari waktu ke waktu. Entah sejak kapan warga Makassar mengenal dan menikmati sunset, dengan aneka jajanan kuliner yang berjejer sepanjang pantai tersebut, dan pernah menjadi ikon kota metropolitan ini.
Satu per satu melirik Losari untuk dijadikan ladang mendulang rupiah. Mulai dari warga biasa yang menjadikannya tempat untuk menjual aneka jajanan kuliner khas Makassar, musisi jalanan yang menyisir pengunjung sepanjang pantai dengan gitar dan kerincingannya, sampai pengusaha kelas kakap yang dengan kuasanya, menancapkan patok-patok modal di setiap sisi Losari.
Makassar dibangun dengan mimpi-mimpi besar. Impian menjadi kota dunia membuat pemegang kendali kota agar menguras banyak tenaga. Alhasil, demi mewujudkan cita-cita besar ini, Losari dijadikan sebuah megaproyek kelas dunia. Pembangunan Center Point of Indonesia adalah sebuah bentuk ambisi yang tidak main-main. Caranya, jelas dengan mereklamasi hampir seluruh bagian pantai Losari.
Dulunya, tak ada yang tertarik untuk melirik kawasan ini. Beberapa warga Makassar menjuluki Center Point of Indonesia dengan istilah Possi’na Indonesia, yang berarti pusat dari Indonesia. Sebuah skenario besar yang bertujuan untuk menjadikan Makassar layaknya Shanghai di China. Letaknya yang tepat berada di tengah Indonesia, membuat kawasan CPI ini begitu strategis untuk dijadikan kawasan perdagangan. Konon, kawasan ini juga yang nantinya akan menjadi zona perdagangan bebas, tempat aturan dianggap menjadi hambatan dan wilayah yang membebaskan siapa dan apa pun untuk masuk ke dalamnya. Zona zero cost transaction (tanpa biaya transaksi), istilah yang sangat diagungkan oleh para penganut ekonomi liberal.
Kawasan yang menurut berbagai pihak seluas 1000 ha ini juga menjadi incaran para pelaku usaha yang bergerak pada bidang properti untuk membuka areal permukiman kelas atas. Konsekuensinya, warga lokal yang menghuni daerah tersebut, mau tak mau harus dikalahkan oleh kekuatan modal.
Adakah yang terusik? Tentu saja! Franz Magnis Suseno (Kuasa dan Moral, 1986) menegaskan sebuah keadaan yang disebut condition of scarcity, keadaan yang menunjukkan bahwa betapapun hebatnya sebuah usaha pembangunan, namun tidak akan mampu memenuhi segala kebutuhan masyarakat. Ini bukan hanya soal sejarah yang begitu lekat dengan kenangan warga kota. Pancang-pancang itu selalu saja mendapatkan perlawanan dari masyarakat kritis lantaran pemacakan tiang-tiang itu cuma untuk kepentingan segelintir orang.
Franz Magnis percaya bahwa masalah etis sebuah pembangunan seharusnya meletakkan diri untuk kepentingan manusia, bukan demi kepentingan golongan tertentu. Menurutnya, pembangunan yang menjadikan manusia sebagai tujuan dipengaruhi oleh klaim kita atas makna dari tujuan itu. Di sinilah kemungkinan-kemungkinan penyalahgunaan pengetahuan demi sebuah kekuasaan.
Penguasa bisa saja berdalih, reklamasi Losari bertujuan untuk kepentingan umum. Namun bagi mereka yang kritis, tindakan tersebut merupakan bentuk kesewenang-wenangan manusia terhadap alam. Bukankah alam tersedia begitu dinamis dan menyediakan ruang yang cukup untuk manusia?
Satu hal yang menjadi kelalaian penguasa, atau bisa jadi menjadi kesengajaan: menutup ruang yang komunikatif kepada warganya. Cara-cara deliberatif seharusnya menjadi syarat dalam mengambil sebuah kebijakan. Menurut Jurgen Habermas, tindakan tersebut nantinya akan membawa kita pada sebuah konsensus, tempat seluruh aspirasi dan kepentingan/perhatian masyarakat bisa terakomodasi dengan baik.
Sejauh ini, keyakinan Habermas akan terciptanya tatanan masyarakat yang partisipatif, belum dapat terwujud di Makassar. Prasyaratnya belum terwujud, yakni ruang aspirasi yang menyejajarkan masyarakatnya hanya menjadi slogan picisan penguasa.[]