Pilar dan Orang-orang Tassese’

Kurang lebih tiga tahun sudah Pilar, sebuah komunitas belajar, mendampingi anak-anak di Desa Tassese’, desa di kaki Gunung Bawakaraeng, di Kecamatan Mannuju, Kabupaten Gowa. Seorang relawan komunitas ini membagi pengalamannya tentang komunitas yang ia dampingi selama ini.

KITA membutuhkan sekisar dua jam untuk sampai ke Tassese’.  Tiga tahun lalu, kami bahkan sempat harus 3 jam dalam perjalanan. Desa ini berada di pelosok Kabupaten Gowa, Makassar, terletak dekat dari Gunung Bawakaraeng. Terletak lebih di atas daripada Bendungan Bili-Bili yang membujur dari utara (Kelurahan Bontoparang, Kecamatan Moncongloe), ke selatan (Desa Moncongloe, Kecamatan Mannuju).

Sepanjang perjalanan, sangat jarang kita jumpai aspal mulus. Jadi, jangan heran kalau kram seluruh badan sudah jadi langganan kami. Aspal berlubang, jembatan alternatif dari pohon kelapa, jalan mendaki yang cukup terjal, kemudian disambut turunan berkelok. Yah, begitulah irama perjalanan kami.

Pada akhir Oktober 2009 pertama kali saya ke Desa Tassese. Dengan dua motor bebek, bersama dua aktivis AcSI (Ininnawa), Kak Agung dan Kak Randy, saya dan seorang teman saya (Diba). Pegal sekujur tubuh ternyata memang hal yang tak terelakkan. Ya, tapi itu terbayar dengan suasana Tassese’ yang hijau, sejuk, dan tenang.

Kunjungan ini berbekal gambaran hasil penelitian terkait AIBEP (Australia-Indonesia Basic Education Program), sebuah program bantuan pendidikan dari Pemerintah Australia. Dalam riset itu, mereka dapat beberapa curhatan dari siswa, guru, dan kepala sekolah di Tassese. Menurut mereka, Ujian Nasional merupakan tantangan terbesar bagi mereka. Selain kesannya yang bergengsi, soal ujiannya yang menantang juga cukup jadi penyumbang besar atas beban beratnya pada siswa dan guru-guru Tassese, terutama dalam pelajaran Bahasa Inggris.

Pada tahun 2009, belum ada guru yang terdaftar resmi yang bisa diandalkan memegang tanggung jawab sebagai guru Bahasa Inggris. Pihak sekolah sering harus meminjam guru dari desa lain yang lebih dekat dengan kota, seperti guru dari Desa Mannuju. Sehingga, bisa saja dalam beberapa bulan, siswa hanya pernah sekali menikmati pelajaran Bahasa Inggris.

Kak Agung menceritakan ini kepada saya dan Diba di kantin Kampus Sospol Unhas. Kami berdua pun memberi ide untuk membantu mereka mempersiapkan diri menghadapi UN. Beberapa waktu kemudian kami menuju ke sana.

SEHARI di Tassese, kami diajak ke tempat, yang katanya, menjadi tempat berkumpul pemuda Tassese’. Tempat ini belum punya nama khusus. “Ayo, pigi tempa’na sinyal!” begitu ajakan mereka. Hanya di tempat ini saat duduk beralaskan tikar batu besar, telepon seluler akan bakal bersinyal penuh.

Kami pulang menjelang magrib. Kami menginap di rumah Pak Sudding, Kepala SD/SMP Satap Tassese’. Di sana pula kami membahas beberapa ide-ide tentang apa yang rencananya kami lakukan.

Kabut dan embun menyambut kami di pagi pertama di Tassese’. Rumah penduduk masing-masing mengepulkan asap dari dapur. Tungku masih jadi andalan warga Tassese’ untuk memasak. Program pembagian gas elpiji 3kg sudah sampai ke desa ini. Hanya saja, menurut warga desa, rasa kopi dan teh yang dihasilkan jika dimasak dengan tungku akan jauh lebih nikmat.

Diskusi panjang kami semalam menghasilkan semangat Pilar. Komunitas ini akan kami jadikan sebagai sebuah komunitas gerakan sosial dalam pendidikan. Pendidikan yang kami maksudkan pun tidak terbatas pada pendidikan formal atau dalam kelas saja. Kita bebas melihat dan memahami pendidikan dan belajar—selama itu bermanfaat.

Pilar berdiri sejak tahun 2009 di Desa Tassese, Kecamatan Mannuju, Gowa. Komunitas ini kami pahami sebagai tiang penguat. Harapannya, Pilar bisa jadi tiang penguat bagi semangat belajar siapa saja dan untuk belajar apa saja. Berdasarkan dari akronimnya, PIntu BeLAjaR, kami mengambil kata ‘Pintu’, tempat masuk siapa saja yang mau belajar apa saja. Tempat mereka yang punya dan mau belajar apa saja bisa masuk. Kami membantunya, memfasilitasinya. Semoga tempat ini tidak menjadi ‘rumah’, agar gerakan sosial diharapkan menjadi solusi atau jawaban bagi masalah sosial. Karena jika kita yang menyediakan solusi terhadap masalah sosial yang ada, sebenarnya secara tidak langsung, kita tengah membangun satu masalah baru yang lebih besar, yakni ketergantungan masyarakat.

Proses ini memang tidak bisa instan. Kita butuh sabar dan kawan. Sabar untuk ketabahan, dan kawan untuk saling menyemangati.

SEJAK Oktober 2009, kegiatan Tassese lebih banyak di sekolah. Mengajar, membantu adik-adik mengerjakan pekerjaan rumah (PR), dan membantu memperkenalkan Bahasa Inggris bagi adik-adik di Tassese. Meski demikian, Pilar juga tetap menjaga sosialisasi dengan warga setempat. Hampir 3 tahun berinteraksi baik langsung, maupun tidak langsung dengan warga Desa Tassese, dan kini, kami menyadari bahwa kebiasaan hidup warga lokal sudah sangat beragam.

Saat menyusuri Tassese, jika anak-anak desa berkumpul di pinggir jalan atau lapangan desa, itu berarti mereka mendengarkan dan membahas lagu dangdut terbaru dari HP salah satu anak. Mereka pun sering membawa CD kompilasi video-video laga tahun 2000-an, yang  sering diputar di beberapa stasiun TV. Sementara jika mencari pemuda di Tassese, tinggal pergi ke ‘tempat sinyal’. Mereka seringkali berkumpul untuk saling kirim sms dengan teman masing-masing.

Umumnya, warga Tassese bertani, setiap hari ke ladang, menggembala sapi, dan mengumpulkan ilalang juga kayu bakar yang dijadikan bahan bakar dalam memasak dengan tungku adalah aktivitas rutin setiap bapak-bapak dan ibu-ibu di Tassese. Namun karena arah pendidikan semata “setelah lulus sekolah, daftar, bekerja”, bekerja sebagai petani, sebagai pekerjaan turun temurun di Tassese’, dianggap sama saja dengan menganggur.

Pendidikan formal di Desa Tassese sampai tingkatan SMP saja. Untuk SMA, remaja Tassese harus keluar desa. Biasanya ke daerah lain yang memiliki SMA dan juga masih ada kerabat mereka yang tinggal di sana untuk mereka tempati menumpang.

Dua tahun belakangan, banyak lulusan SMP di Tassese melanjutkan pendidikan di Sekolah Pelayaran di Barombong. Menurut mereka, lulusan sekolah pelayaran mudah mendapatkan pekerjaan. Tinggal ikut di kapal-kapal yang membutuhkan ABK (anak buah kapal), atau mungkin saja berhasil mendapatkan beasiswa berupa ikatan dinas dari sekolah pelayaran mereka.

Saya dan beberapa kawan dari Pilar pernah menanyakan bagaimana nasib ladang orangtua mereka jika semua anaknya bekerja sebagai ABK. Kata mereka, “Sewa orang saja untuk rawat, Kak. Gampang ji. Kan adami gajiku juga!”

Berdasarkan pengalaman selama di sana, Pilar meyakini pentingnya mengenal dan memahami kebudayaan diri sendiri, untuk kemudian menjadi bekal bergerak di dunia yang sangat luas ini. Sudah tiga tahun kami membantu sekolah dalam mengisi pelajaran Bahasa Inggris dan kelas-kelas kosong di sekolah yang kekurangan tenaga pengajar.

Selama itu pula, kami berpikir ulang, semangat kami bergerak dan membantu bukan seperti ini. Pilar lahir tidak dengan semangat sebagai solusi, melainkan sebagai alternatif, memfasilitasi warga, dan membantunya untuk sama-sama menganalisis dan memecahkan masalah sosial oleh mereka sendiri. Tiga tahun kemarin, dengan menjadi guru pengganti Bahasa Inggris, kami jadi berpikir, sepertinya secara tidak langsung Pilar tengah membantu Sistem Pendidikan Nasional yang kurang perhatian dengan desa-desa pelosok. Semangat berbagi Pilar seperti dimanfaatkan. Dan yang paling parah, kami menumbuhkan semangat ketergantungan pada warga dan anak-anak sekolah.

Syukurnya, masalah ini tidak pernah menghentikan semangat Pilar. Kami berusaha menganalisisnya dan mencoba mencari jalan keluarnya. Tiga tahun di Tassese terlalu berharga untuk ditinggalkan begitu saja. Selain itu, semangat bergerak kita memang tidak boleh dipadamkan.

Sekolah Kebudayaan Lokal kemudian menjadi solusi Pilar. Mulai tahun 2012 ini, Pilar akan mengubah gerak dengan lebih independen, tidak lagi tergantung dengan sekolah, tapi tidak serta-merta memutuskan hubungan dengan sekolah. Dalam sekolah kebudayaan lokal ini, Pilar akan lebih banyak belajar tentang budaya tradisional Tassese’.

Mengenai rencana ini, warga Tassese’ menyambutnya gembira. Bahkan, sebuah rumah panggung kosong milik seorang warga disumbangkan untuk menjadi base camp. Kabar ini juga sampai ke telinga pihak sekolah Tassese’. Mereka menerima rencana itu. Pihak sekolah juga membantu PILAR dengan menawarkan satu bangunan kosong yang masih terletak dalam lapangan sekolah yang cukup luas.

Menurut mereka, sekolah itu tempat yang paling strategis bagi anak-anak Tassese’. Yang dari bukit dan lembah cukup dekat, dan bagi yang tinggal di sepanjang jalan poros pun sama jaraknya. “Biar nanti tidak ada anak Tassese’ yang merasa diistimewakan karena base camp Pilar dekat dengan rumah salah satu dari mereka,” kata alasannya.

Alasan itu alasan bijak. Alhasil, kami pun menerima bantuan sekolah yakni rumah kontrak dalam sekolah yang ditinggali oleh guru yang berasal dari jauh. April 2012 waktu pertama kali kami masuk dan melihat keadaan rumah tersebut. Menurut cerita Pak Lawang, rumah ini terakhir kali ditinggali oleh salah satu guru Tassese’ yang kini sudah tinggal di Kabupaten Gowa setelah menikah beberapa tahun yang lalu. Bagian dalam rumah ini disekat menggunakan gamacca (dinding anyaman bambu).

Sejak itu pula, kami sudah beberapa kali bolak-balik Makassar-Tassese membawa beberapa bahan bangunan yang kira-kira dibutuhkan untuk proses renovasi. Beberapa lembar seng baru, cat, semen lapis, gorong-gorong, batang-batang kayu bekas, selang, kabel listrik, saklar, dan beberapa dos tegel keramik bekas sumbangan beberapa teman, dan kebutuhan lainnya yang mungkin dibutuhkan. Renovasi kami ini dibantu oleh Pak Sulaeman, suami dari salah satu guru SMP Tassese’ dan juga sekaligus sebagai ketua komite SD/SMP SATAP Tassese’. Tidak jarang malah ketika tengah bekerja, dan tiba-tiba kita butuh suatu hal, Pak Sulaeman membawakan kami langsung dari rumahnya yang cukup jauh dari tempat itu.

Selain itu, hingga kini, Pilar pun mengumpulkan beberapa dos buku-buku bekas. Buku ini sumbangan beberapa teman. Buku itu kemudian cikal bakal perpustakaan setempat, Bacana Tassese’, akronim dari Balla Carakde’na Tassese’, bahasa Makassar yang berarti Rumah Pintar/Perpustakaan Tassese’. Seorang petani muda bernama Gassing membantu kami membuat rak dari bambu. Gassing merupakan salah seorang siswa yang saya sempat isi kelasnya pada 2009 lalu.[]