Pete-Pete Kampus di Ujung Nostalgia
Daeng Naya duduk lesu pada siang yang berangin itu. Sesekali ia turut berteriak, “Hidup rakyat!” saat Korlap aksi dan teman-temannya membakar semangat untuk bertahan. Daeng Naya ‘cuti’ menyupir demi bersolidaritas untuk menolak kebijakan Rektorat Unhas.
“Bagaimana anak istrita’ hari ini, pak?” tanya saya.
Ia tersenyum. “Nda tau mi juga, dek…,” jawabnya, mengisap rokok.
Daeng Naya, pria tua telah menjadi supir pete-pete sejak tahun 1970-an. Daeng Naya dan puluhan supir pete-pete kampus berunjuk rasa di Rektorat Unhas pada Kamis (10/1) lalu. Banjir di sejumlah tempat di Makassar baru saja surut. Para supir dengan beberapa organisasi kemahasiswaan menggelar aksi protes atas kebijakan sepihak Rektorat Unhas yang telah mengalihkan jalur trayek kampus Unhas.
Sejak berlaku 2 Januari 2013 ini, pete-pete trayek kampus tidak lagi dengan rute lamanya: masuk Pintu Satu Unhas, keliling jalan lingkar kampus, lalu keluar melalui Pintu Dua. Peraturan baru mengharuskan setiap pete-pete masuk melalui Pintu Satu, singgah di halte dekat Workshop di bagian barat kampus, lalu balik melalui Pintu Nol. Di halte, mahasiswa disuruh memilih untuk jalan kaki, naik sepeda, atau naik bus untuk sampai ke fakultas masing-masing.
Banyak pihak mengeluh. Tidak hanya supir pete-pete, para mahasiswa pun banyak yang tidak setuju dengan keputusan pengalihan ini. Ikhwalnya, jarak antara terminal baru dan fakultas-fakultas (selain teknik, MIPA, dan Farmasi) cukup menguras peluh. Pilihannya: naik shuttle bus atau sepeda kampus. Naik shuttle bus artinya harus menunggu bus yang jumlahnya hanya enam buah (walaupun dalam pengamatan saya hanya empat yang selalu beroperasi). Karena armada yang terbatas, maka waktu menunggu cukup lama. Apalagi pada jam padat seperti pagi dan sore. Di dalam bus, orang bisa saja dempet-dempet.
Bersepeda pun sulit. Di musim hujan seperti sekarang, pilihan naik sepeda menjadi sangat konyol. Selain itu, fasilitas pendukung seperti trayek khusus sepeda dan tempat parkir sepeda tidak tersedia. Ditambah kenyataan bahwa tipe sepeda yang disediakan Unhas sama sekali bukan tipe sepeda keranjang yang fungsional. Sepeda yang ada hanyalah jenis full-bike yang lebih sering dipakai untuk olahraga sore atau kegiatan fun-bike.
Belum lagi nasib masyarakat sekitar Unhas (warga Kera-Kera dan sekitarnya) yang tidak tahu lagi harus bagaimana untuk masuk keluar kampus. Dengan rute ‘tradisional’, warga yang menuju ke pasar (biasanya ke Pasar Terong) hanya sekali naik pete-pete–tanpa perlu ganti trayek dan, terutama, bongkar-muat barang bawaan. Begitupun bagi anak-anak sekolah dari permukiman itu kebanyakan bersekolah di Jalan Perintis Kemerdekaan. Sekali naik, mereka turun depan sekolah. Kini?
Belum jelas alasan dari Rektorat Unhas menerapkan pengalihan rute ini. Dalam banyak kesempatan pihak Unhas hanya selalu mengatakan bahwa ini adalah demi kenyamanan dan keamanan kampus. Harapannya, kampus bebas pete-pete, jalanan kampus tidak semerawut, suasana lebih asri, dan parkiran depan RS Wahidin yang biasanya macet dapat lancar dan bebas pete-pete. Menuju kampus yang Green, Healthy, Saver—menuju universitas top kelas dunia. Keren mungkin kedengarannya. Tapi apa selesai sampai di situ?
Masa ‘Mesra’ Kampus & Pete-Pete
Sekitar tahun 1978-1979, ketika baru selesai dibangun, Unhas Tamalanrea masih bangunan-bangunan kecil di tengah hutan dan rawa. Masa itu, sebagian besar mahasiswa masih berdomisili di Kampus Lama Baraya. Untuk ke kampus yang baru, pete-pete-lah yang menjadi pilihan. Kala itu, belum ada sistem trayek seperti sekarang (masih memakai sistem 11 trayek). Ada mahasiswa dijemput di rumah masing-masing lalu ke Tamalanrea. Ada juga mahasiswa yang ke Pasar Sentral dulu, lalu mencari pete-pete yang mau mengantar mereka hingga Kampus Tamalanrea. Supir dan mahasiswa sangat akrab. Tak jarang para supir yang juga akrab dengan orangtua mahasiswa.
Karena jalanan dan bangunan yang belum sebaik sekarang, para supir biasanya menurunkan mahasiswa di depan kampus (Jalan Perintis Kemerdekaan). Untuk ke fakultas, mahasiswa jalan kaki. Setiap hari begitu. Banyak yang mengeluh karena letak fakultas mereka jauh atau karena hujan yang mengguyur.
Hingga suatu hari, seorang dosen fakultas hukum, Pak Ali Abbas berinisiatif untuk melobi beberapa supir dari Sentral yang bersedia mengantar penumpang (juga dosen) masuk hingga fakultas-fakultas.
“Rektor sendiri pada waktu itu yang suruh mahasiswa untuk cari pete-pete, karena bukan anak SD ini yang dibawa, calon pejabat semua,” kenang Daeng Naya.
Akhirnya dengan negosiasi yang saling menguntungkan, mulai saat itu 50 sopir siap mengantar para penumpang Kampus Merah hingga ke fakultas tujuan. Mereka kemudian membentuk sebuah organisasi kecil untuk trayek Unhas Tamalanrea yang disetujui oleh Rektor, Walikota, Gubernur, dan Kapolda pada masa itu.
Seiring waktu, semakin banyak pete-pete dengan trayek berbeda-beda masuk kampus. Untuk menghimpun para supir trayek Kampus, maka didirikanlah Koperasi Angkutan Mahasiswa dan Umum (KAKMU) yang memiliki tugas untuk mengorganisir trayek dan menarik retribusi Rp 3.000/pete-pete setiap hari. Jumlah itu disetor juga ke Unhas. Biaya perizinan trayek adalah 35 juta/pete-pete. Jumlah yang cukup besar, namun supir dan pemilik kendaraan tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Bagi mereka, Unhas tetap menjadi lahan yang tidak pernah sepi penumpang. Unhas telah menjadi ‘kampus’ bagi mereka untuk menyambung hidup. Hingga hari ini, terdapat sebanyak 421 pete-pete yang mondar-mandir masuk Unhas.
Di titik ini, Unhas punya utang sejarah atas jasa pete-pete dan para supirnya yang melayani mahasiswa—juga masyarakat sekitar Unhas.
Dalam dan Luar Kampus
Bukan sekadar menjadi ‘utang’ sejarah bagi mahasiswa dan Unhas, pete-pete di Unhas merupakan simbol keberpihakan kepada rakyat kecil. Setiap dari 421 pete-pete kampus, biasanya digawangi oleh 3 supir (supir utama, supir cadangan, dan supir tembak). Ini berarti ada 1200-an orang yang menggantungkan hidup pada mobil plat kuning ini. Dengan rata-rata penghasilan satu pete-pete Rp. 300.000- Rp 400.000/hari, itu berarti ada Rp 126-168 juta uang yang berputar tiap hari. Dengan uang setoran Rp 200.000/ hari, satu pete-pete rata-rata memperoleh pemasukan bersih Rp 100.000-200.000/hari. Jumlah itu kemudian dibagi dengan persenan supir-supir dari pete-pete tersebut.
Dari jumlah pendapatan itu, sebagian besar ‘disumbangkan’ oleh para penumpang yang turun di dalam dan dari kampus. Karena di luar kampus (dari Jalan Perintis Kemerdekaan hingga Jalan Urip Sumihardjo) persaingan mencari penumpang begitu ketat. Ada pete-pete dari trayek Daya-Sudiang dan BTP yang berebut mencari penumpang. Meminjam terma teori ekonomi klasik, trayek untuk bisa mengantar dan menjemput penumpang dari dalam kampuslah yang menjadi “keunggulan komparatif” pete-pete trayek kampus dibanding pete-pete trayek lain.
Namun malang, semenjak rute baru dalam Kampus Unhas diterapkan, para supir mengaku pendapatan mereka berkurang 40-60 persen. Marwan, salah seorang supir mengeluh, setiap hari ia kini hanya bisa mengantongi 30-50ribu selama jam dinasnya. “Padahal dulu bisa ji dapat 80 ribu sampai lebih 100 ribu,” tambahnya. Dengan berkurangnya penghasilan, ia tidak tahu lagi bagaimana menombok kebutuhan hidup istri dan ketiga anaknya. Belum lagi cicilan motor yang baru setahun. Banyak supir lain yang bernasib serupa.
Bagi mereka ke(tidak)bijakan rektorat mengubah rute trayek dalam kampus ini sama saja mencekik leher mereka. Leher rakyat kecil yang sudah megap-megap mencari uang untuk hidup. Padahal, meski selalu dituding sumber kemacetan, tidak terhitung jasa pete-pete bagi kampus yang selalu mengaku sebagai kampus terbaik di Indonesia Timur ini.
“Dulu kami sama-sama bangun ini kampus. Bayangkan mi berapa banyak orang yang sarjana dengan pete-pete. Sekarang, kami mau diusir keluar kampus,” tutup Daeng Naya sembari mematikan rokok terakhirnya.[]