Orkestra Kampung Sepanjang Waktu
Jika kamu adalah warga Makassar yang tinggal seorang diri dan sulit bangun hanya dengan menyetel alarm, saya menyarankan untuk tinggal saja di Pampang. Sebab di kampung ini, kamu tidak perlu memaksa tubuhmu bangun. Tidur saja dengan lelap dan tunggu tetangga sekitar akan bersatu padu membangunkanmu.
Warga di sini punya beragam kegiatan yang tanpa mereka sadari adalah cara-cara ampuh membangunkan saya dari tidur. Salah satu yang paling ampuh adalah suara nyanyian dan lagu-lagu dari pengeras suara mereka.
Pondokan tempat tinggal saya terletak di salah satu sudut gang di Kelurahan Pampang. Gang ini hanya bisa dilintasi satu motor. Kalau keluar dari pintu pondokan, langsung ketemu bibir gang. Gang yang sempit dan rumah yang berdempetan, membikin nyaris apa saja yang diucapkan tetangga dekat terdengar sampai ke kamar saya. Jangankan suara karaoke yang pakai mic dan pengeras suara, berbincang hal sehari-hari saja bisa saya dengar secara jelas.
Sudut gang samping pondokan, Jalan Pampang 1, Panakkukang, Makassar (Foto: Wilda Yanti Salam).
Tapi entah mengapa, para tetangga di sisi kiri, kanan, dan depan pondokan gemar sekali bernyanyi dan memutar musik dengan volume keras. Hampir setiap hari, suara serak tidak tepat nada atau lagu-lagu dangdut dan pop populer sambung menyambung sepanjang waktu.
Tetangga pertama adalah keluarga Ibu. Saya belum tahu nama lengkapnya, tapi selama ini seluruh teman pondokan memanggilnya Ibu. Usianya kurang lebih 50 tahun. Tubuhnya berisi, rambutnya pirang, dan gemar menyanyikan tembang almarhumah Nike Ardilla.
Rumah Ibu tepat berada di sisi kiri pondokan. Berpagar kayu, rimbun oleh beberapa pohon dan di bagian depannya terdapat beberapa kamar kosan yang saat ini sudah berubah jadi tempat tinggal masing-masing keluarga kecil anaknya. Dinding kamar mandi pondokan saya menyatu dengan tembok pembatas rumah Ibu. Saking menyatunya, atap seng kamar mandi yang memang rendah selalu dipakai keluarga Ibu menjemur sepatu-sandalnya. Sering juga cucu-cucunya melempar batu kecil ke sela-sela plafon kamar mandi pondokan yang sering membikin kaget kalau sedang mandi.
Drama pertetanggaan kami tidak cukup sampai di situ. Saban pagi saat saya bangun sekitar pukul 7-9 pagi, Ibu beserta anak-anaknya membangunkan penghuni seluruh pondok dengan lagu-lagunya. Saya masih bertanya-tanya, apa gerangan yang memotivasi sanak keluarga ini berkaraoke di pagi hari, sebagai olah raga dan rasakah, atau hanya luang saja.
Jika mengisi waktu luang barangkali keliru, sebab si Ibu, meski sudah renta, dia terlihat amat bersemangat dan sibuk. Rutin ke pasar saat siang, membuka kios kelontong mini, juga membuat dan menjual keripik beserta aneka cemilan. Meskipun suaranya terdengar terbata-bata, di sela dinding pondokan, saya sering melihat sekilas Ibu sedang duduk di bawah pohoh rindang depan rumahnya, satu tangannya memegang gawai, satunya lagi memegang mic. Tidak lupa sebuah pengeras suara dan televisi tabung di hadapannya. Seringkali Ibu terlihat bernyanyi seorang diri, meski suaranya terbata-bata saat melantukan lirik demi lirik lagu dari Youtube yang diputarnya, tapi wajahnya terlihat fokus dan menikmati.
Selain pagi hari, Keluarga Ibu juga sering berkaraoke saat pukul 3-5 sore. Kalau sore, seringnya Ibu bergantian bernyanyi dengan anak-anaknya yang juga sudah pada ibu-ibu. Umur mereka sekisar 20-an sampai 30-an akhir. Satu anaknya yang cukup saya kenal, kami memanggilnya Mamanya Kembar. Tembang yang sering ia bawakan juga mirip ibunya, Nike Ardilla. Tapi, pernah beberapa kali saya mendengar ia membawakan lagu Judika dan Dewa-19, yang judulnya Kangen.
Meskipun sering berkaraoke pagi atau sore hari, saya tidak pernah merasa terganggu dengan suara-suara Keluarga Ibu karena volumenya wajar. Tapi karena rumahnya dan pondokan saya terlanjur melekat, saya bisa mendengarnya dengan baik dan sering juga ikut-ikutan menyanyi.
Rumah tetangga kedua berada di sisi kanan pondokan, tepatnya di dalam SD Inpres. Kalau biasanya rumah yang berada di area sekolah ditempati guru-guru, di Pampang tidak. Beberapa rumah warga yang tidak berprofesi sebagai guru juga berada di dalam kawasan sekolah. Bahkan penghuni rumah-rumah ini sering mengalihfungsikan ruang kelas jadi tempat tidur siang. Pas pertama kali tanpa sengaja melihat tetangga-tetangga ini tidur dalam kelas, saya bingung, apakah mereka orang yang tidak punya tempat tinggal atau apa? Rupanya memang menumpang tidur siang saja.
Mirip dengan Keluarga Ibu, warga yang tinggal dalam sekolah juga gemar berkaraoke. Bedanya, suara yang sering terdengar adalah suara-suara parau bapak-bapak. Mereka menyanyikan lagu-lagu Tommy J Pisa, Pance Pondaag atau Rhoma Irama. Beberapa lagu lain tidak saya kenali lirik dan penyanyinya.
Mereka biasanya karaoke saat sore atau malam hari. Barangkali suara-suara yang bernyanyi itu adalah suara bapak-bapak yang tertidur lelap di ruang kelas saat siang. Pas sore hingga malam, tenaganya dipakai tancap gas pegang mic. Volume mereka terdengar lebih keras dibandingkan volume suara dari Keluarga Ibu. Ketika sore, suaranya bersahut-sahutan dengan penjual palu ce’la yang biasa saya beli ketika melintas menjelang azan magrib.
Rumah tetangga ketiga berada di seberang depan Pondokan. Rumah ini berlantai dua, bercat hijau dan merah muda. Jika dilihat sekilas, warna cat rumahnya mirip semangkuk es pisang ijo yang sudah lama didiamkan hingga es batunya meleleh. Sehingga ketika es pisang ijo ini dinikmati, kuahnya akan encer dan rasa manisnya berkurang. Rasa yang muncul dari makanan seperti ini orang Bugis biasa sebut, malawi. Seperti itulah cat rumah ini ketika dilihat.
Menariknya, jika berdiri di teras lantai dua pondokan, saya bisa langsung melihat televisi besar yang menghadap ke depan pintu yang selalu terbuka lebar. Saya bisa melihat jelas sinetron atau lirik apa yang sedang dibaca oleh si penyanyi.
Kalau sisi kanan oleh bapak-bapak bersuara parau, di Rumah Hijau Merah Muda ini kedengarannya yang selalu bernyanyi adalah anak-anak muda laki-laki dan perempuan. Ini bisa dinilai dari suara mereka dan pemilihan lagunya, mereka sering menyanyi lagu-lagu populer milik Judika, Tiara Andini atau Via Vallen, beberapa juga lagu yang populer di Tiktok.
Jadwal menyanyi Rumah Hijau Merah Muda pukul 10 pagi ke atas. Kadang juga sore seperti jadwal karaoke Keluarga Ibu atau Rumah Dalam Sekolah. Cuma, sependengaran saya, Rumah Hijau Merah Muda terlalu asyik karaokenya dan sering tidak sadar kalau volumenya itu melampaui wajar. Tapi ya mau bagaimana lagi, harus bisa memaklumi, asalkan mereka bahagia.
Tapi rupanya, apa yang saya rasakan juga dialami oleh Ibu Penjual Somay Bakar yang rumahnya berada tepat di samping Rumah Hijau Merah Muda. Di suatu sore, saat saya beli somay bakarnya, kami bercerita ringkas dan harus bicara teriak-teriak karena para biduan di Rumah Hijau Merah Muda sedang asyik bernyanyi.
Ibu Penjual Somay bilang, “Kodong, capekkumi saya dengar ki, biasa siang sampai tengah malam, masih menyanyi, masukku itu saya, tidak apa-apa ji, tapi kasi kecil ki itu suaranya, mau ditegur nda enak juga, tetangga.” Saya senyum saja merespons keluhan si Ibu. Tapi dalam hati, saya membatin, “Tenang ki bu, kamu tidak sendiri”.
Suasana Jalan Pampang Raya menuju Jalan Pampang 1, Panakkukang, Makassar (Foto: Wilda Yanti Salam).
Selain suara dari tiga rumah tetangga tadi, sumber suara orkestra di kampung ini masih ada lagi. Lantunan tetangga di tiga sisi tadi hanyalah bagian dari upaya membiasakan telinga menuju karaoke-karaoke sehari semalam dengan volume maksimal kala ada tetangga pondokan yang menggelar hajatan.
Entah mengapa, tetangga-tetangga saya di gang ini gemar sekali mengadakan pesta. Saking seringnya, saya justru heran kalau dalam sebulan tak ada pesta. Dan tentu saja, ada hajatan, ada karaoke. Barangkali bagi warga di sini, ada yang kurang rasanya saat sebuah hajatan digelar tanpa ada sesi karaokenya. Bukan cuma hajatan pernikahan, aqiqah pun ada electon, bro!
Hajatan di Pampang selalu ditandai dengan blokade lorong dengan bangku atau kursi. Dan tentu saja volume penuh dari sound electon. Electon biasanya digelar sehari semalam. Meskipun hajatannya hanya setengah hari, tidak apa-apa, electonnya tetap sehari semalam. Bagaimana tidak, semua orang harus dapat kesempatan untuk bernyanyi.
Kira-kira, pembagian waktu bernyanyinya adalah, pagi-siang dipenuhi suara ibu-ibu yang menyanyikan lagu-lagu Rita Sugiarto atau Lesty. Lalu saat sore, mulai terdengar suara bapak-bapak yang bernyanyi tembang Malaysia. Selepas magrib, biduanita-biduanita remaja belia akan mulai bernyanyi. Mereka menyanyikan beragam lagu tiktok atau tembang-tembang pop yang sedang hits milik Tiara Andini dan Marion Jola. Sedikit lebih malam, selera lagu bergeser ke Nella Kharisma dan satu lagu yang nyaris saya hafal tanpa tahu penyanyi dan judulnya, liriknya kira-kira seperti ini, “Saya masih ting ting, sampai sekarang masih ting ting, belum berpengalaman a a a a”, kalau sudah masuk lagu ini, suara tawa dan teriakan ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak-anak muda terdengar bersatu padu. Mungkin ini semacam lagu selebrasi puncaknya.
Kalau sudah dini hari menjelang pagi, suara bapak-bapak terdengar mendominasi. Diselingi dengan kode-kode halus dari pemilik electone di sela-sela pergantian lagu untuk menyudahi acara. Tapi tentu saja tidak bisa lolos. Pokoknya, electon selesainya sebelum azan subuh.
Di masa-masa karaoke hajatan inilah saya akan sering bersumpah serapah dan sering hendak hengkang dari kosan berdinding kayu ini karena sungguh tidak mampu meredam suara sedikit pun.
Setelah nyaris lima tahun mendengar suara karaoke dan musik para tetangga, juga orkestra-orkestra puncak di pesta, saya berasumsi bahwa warga di kampung padat penduduk ini mahir sekali bersenang-senang. Mereka selalu mencari momen-momen yang bisa dirayakan dan juga tahu cara menyenangkan dirinya.
Walaupun masih sering merasa terganggu, tapi perlahan saya menyadari bahwa inilah salah satu konsekuensi memilih tinggal di sini. Karaoke adalah bagian dari cara para tetangga merayakan hidupnya sehari-hari. Entahlah, tapi saya perlahan menerima saja suara-suara mereka. Pilihan lagu mereka, dan blokade jalan secara tiba-tibanya.
Meskipun tidak mengenali wajah dan nama tetangga sekitar pondokan satu per satu, setidaknya saya mengenal suara mereka. Saya tahu lagu-lagu yang mereka dengarkan. Saya juga sering secara tidak langsung menghafal dan mengikuti mereka bernyayi di balik kamar pondokan.
Setidaknya meskipun orkestra sepanjang waktu ini sungguh riuh, tidak apa-apa, saya bersyukur selama suara berkaraoke dan electon di pesta masih terdengar, selama itu pula para tetangga masih terus merayakan hidupnya sehari-hari.
Jadi, kapan pindah ke Pampang?