Orang-orang Muda yang Terasing

Makassarnolkm.id

Keterasingan remaja bukan hanya terjadi antara diri dan lingkungan tempatnya tumbuh. Remaja bisa menjadi asing ketika sesuatu yang dilihatnya, atau yang dirasakannya tiba-tiba saja ‘jauh’ dari simpul yang terbentuk dari caranya berpikir. Sesuatu yang tidak ia mengerti menjadi salah satunya. Ketika ia tiba-tiba harus duduk di dalam satu forum bersama orang dewasa, kemudian orang-orang dewasa itu mulai menjelaskan hal-hal ideal tentang topik yang dibicarakan menyangkut remaja, ia akan merasa dihakimi—walau yang dibicarakan adalah remaja dalam, misalnya, ilustrasi dalam sebuah video. Kesamaan identitas sebagai remaja, membuatnya merasa bahwa itu juga ditujukan padanya, meski mungkin saja ia tidak pernah alami.

“Dari tadi ‘kan kita orang-orang dewasa sudah bicara, bagaimana dengan remajanya?” kata Nurmi sembari mengarahkan tangannya pada beberapa remaja yang duduk di hadapannya.

Para remaja ini malu-malu untuk bercerita, kecuali ketika mereka berbicara dengan sebayanya. Kadang seorang berbicara, kemudian yang lain menimpali dengan ejekan.Atau ketika memperkenalkan nama, ada yang memplesetkan nama remaja yang berbicara malu-malu. Akhirnya untuk membujuk mereka berbicara, Ibu Linda yang sering berhadapan dengan mereka di Rumah Konseling dan Mediasi (RKM), mempersilakan mereka memperkenalkan diri.

Muhammad Rezky (15 tahun) berbicara kalau video diary berjudul “Lost” seperti kisah yang pernah ia alami. “Itu sakit,” katanya, sambil memegang dada. Ia juga berkata tentang video yang diputarkan lumayan bagus. Kemudian remaja lainnya dari RKM memperkenalkan diri. Ada Rafli, Restu, Faisal, dan Muhammad Amri. Mereka berempat punya hobi yang sama, yaitu sepak bola, hobi yang butuh ruang, menegaskan kembali kalau remaja membutuhkan ruang, salah satunya untuk bermain bola.

Nurmi adalah salah satu penonton yang datang dari Komunitas Sokola Kaki Langit dan hanya sempat menonton tiga dari tujuh film yang diputarkan Gerobak Bioskop Dewi Bulan pada 12 Agustus lalu, di Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E, Makassar.

Ia jelaskan tentang kebutuhan akan ruang. Isu ruang di Papua, tempat yang pernah ia tinggali selama remaja, menjadi isu lama yang dibicarakan dan dialami sendiri olehnya di Papua. “Remaja di Papua yang diasingkan dan merasa terasing, membentuk kelompok-kelompoknya sendiri,” katanya.

Ia dan beberapa kawannya bahkan sempat membuat sebuah ruang yang digunakan hanya untuk nongkrong, bukan untuk membaca, walau ruang yang ia buat adalah taman baca. Kebutuhan akan ruang dan keterasingan adalah dua hal yang berkaitan, menurutnya. Orang-orang yang terasing adalah orang-orang yang butuh ruang untuk sekadar berkumpul.

Saya lalu mengingat masa-masa remaja saya yang kebetulan juga dihabiskan di Nabire, Papua. Keterasingan yang saya alami justru dari dalam diri sendiri. Ketika saya masuk SMK, cara bergaul yang paling saya mengerti adalah menyeragamkan diri. Masuk ke perkumpulan remaja yang sering menenggak minuman beralkohol, otomatis juga saya harus ikut menjadi ‘peminum’. Padahal saya tidak pernah suka rasanya, sampai sekarang. Untuk mengakali itu, saya biasa pura-pura mabuk berat—walau terkadang memang begitu keadaannya—dengan cara tertidur, agar tidak meminumnya lagi. Orang-orang yang saya temani dalam pergaulan ini adalah orang-orang yang ‘tenar’ sampai ke sekolah lain karena kenakalannya. Selain selalu merasa aman karena dijaga seperti saudara kandung, saya juga bebas melakukan kenakalan apa saja di kota, terutama mencari gara-gara dengan remaja lain yang tidak saya sukai. Keterasingan satu mengundang keterasingan lain untuk menjajal jalan hidup sebagai remaja. Dari asing dari tubuh sendiri, kemudian merasa asing dengan orang tua, bahkan asing dengan tetangga.

Terasing adalah topik yang diangkat oleh Yayasan Kampung Halaman untuk menggerakkan 1246 remaja dari 166 komunitas dalam mengekspresikan diri mereka dengan karya berupa video diary yang diproduksi sepanjang 2018. Terhimpun dalam Program Jalan Remaja 1208 untuk memperingati Hari Remaja Internasional yang jatuh pada 12 Agustus 2017. Kegiatan ini diselenggarakan dalam sebuah pemutaran video diary yang dilakukan di Kampung Buku bekerja sama dengan Tanahindie, Gerobak Bioskop Dewi Bulan, Yayasan Sabtu Malam, Kampung Halaman, dan Berisik.id.

Beberapa remaja duduk mendengarkan beberapa pandangan setelah video diary diputarkan.Dari 12 video diary yang tiba di Kampung Buku, hanya tujuh yang diputar lantaran waktu yang tidak memungkinkan, yakni“Bunga Bangsa”, “3 Cerita Terasing”, “Saya”, “Lost”, “Diasingkan Zaman”, “Serba Salah”, dan “Semua Orang Itu Guru”. Halaman Kampung Buku begitu sesak.

Ketika video diary diputar, lampu-lampu dimatikan, seperti sesi curhat di kamar-kamar kos, atau barangkali seperti pemutaran film di bioskop pada umumnya. Beberapa orang duduk di kursi, ada yang melantai di karpet, duduk di dekat pagar masuk, dan ada juga yang memilih berdiri saja di dalam, bahkan di luar pagar. Dengan saksama orang-orang menatap layar. Sesekali tertawa, sesekali saling melihat, sesekali juga melirik HP di genggaman, sampai ia melepaskan HP sendiri begitu video diary Rumah Belajar Ilalang berjudul “Diasingkan Zaman” diputarkan. Sebuah video diary yang menceritakan bagaimana teknologi dengan bisa menjauhkan anak-anak dari orang tuanya dengan hanya berlama-lama bermain facebook.

Beragam ekspresi terlihat. Saya menebak-nebak: jika cerita video tidak pernah dialami, ekspresinya akan biasa saja; tapi jika pernah, pasti akan menyimaknya saksama.

Video diary “Serba Salah” yang dikerjakan oleh kawan-kawan dari Al-Anwar Media Utama (ALAMUT), menceritakan seorang anak yang bingung akan teman-temannya sekitarnya membuatnya tak percaya diri dan kurang pendirian. Seorang remaja ketawa kecut sambil menutup kedua tangannya dengan mulut ketika menyaksikan adegan anak yang dimaksud dalam video diary itu tidak mau beranjak dari tidur ketika diajak bersekolah. Atau video diary “Lost”, karya Tangga Film, menceritakan seorang diputus cintanya setelah dua tahun pacaran. Namun ternyata bukan hanya dia yang merasa kehilangan, namun kawan-kawan, kerabat, bahkan orang-orang yang ada di sekitarnya pun merasakan hal yang sama. Ia pun merasa terasing dan aneh. Semua orang ketawa tiap kali adegan di video diary itu menampilkan pertanyaan dari orang-orang di sekitarnya, “Kenapa sendiri? Pacarnya tidak diajak?” Sambil menonton, ada yang berteriak,”ballassi, gondrong!” menunjukkan rasa ibanya (cenderung mengejek,sih) kepada pemeran utama berambut panjang dalam video.

Saya melihat, keterasingan tidak hanya pada isu remaja saja dalam pemutaran ini. Keterasingan paling bisa saya lihat adalah antara pononton dan video diary yang berjarak mungkin dari segi pengalaman. Ada video yang tidak menarik perhatian, bahkan sampai tiga remaja keluar dari forum hanya untuk sekadar berfoto-foto dengan background mobil yang terparkir di halaman kos depan Kampung Buku. Konten dalam video diary, mungkin saja, belum dialami sebagian orang.

Sebaliknya, ekspresi beberapa orang ketika menonton video diary adalah cermin yang memantul untuk melihat dirinya di masa lalu. Memang beberapa video diary menampilkan hal yang lucu untuk ditonton—semogasaja saya terka. Keasingan yang lain mungkin dari segi bahasa atau background pengambilan video. Memang ada terjemahan dalam video diary, namun orang akan kebingungan untuk melihat isi cerita atau membaca teks di dalam video diary. Mungkin remaja di Makassar perlu membuat video diary juga untuk mengekspresikan, mendeskripsikan diri, atau mungkin hanya untuk menonton dirinya sendiri.

Ibu Linda dari RKM berbicara tentang masalah remaja yang kompleks. Ia jelaskan kategori,remaja perempuan adalah mereka yang berumur 12-21 tahun, sedangkan laki-laki dari umur 12-22 tahun. Ia menjelaskan tentang perlunya mediator dari kalangan dewasa atau teman sebayanya, atau media penunjang lainnya seperti menulis. Dari pengalamannya di RKM, ia bercerita sambil me-review video diary “Aku” yang dikerjakan oleh Maleo. Katanya, beberapa remaja yang mengalami pelecehan seringmenyimpan perasaannya sendiri. Harus ada orang yang bisa mendengarnya dengan bijak, baik dari remaja sebaya atau orang dewasa. Ia mengakui, remaja saat ini lebih banyak berorientasi pada hal-hal negatif, seperti obat-obatan. Ibu Linda pernah mendengar pengakuan seorang remaja yang mengonsumsi obat sebagai alasan untuk ketenangannya akan dunia yang selalu saja menyalahkannya sebagai remaja.

“Fungsi orang dewasa seharusnya menjadi lebih bijak untuk mengerti kemauan remaja, bukan menyalahkannya,” kata Ibu Linda. Remaja kebanyakan didiskriminasi soal ruang yang kebanyakan dimonopoli oleh orang-orang dewasa. Ungkapan seperti,”Bikin apa di sini?Pergi sana!” menjadikan remaja tidak berkesempatan merasa akrab dengan ruang-ruang publik. Padahal remaja pun berhak memiliki kesempatan yang sama dengan orang dewasa, apalagi soal ruang. Orang dewasa harus menjadi bijak dengan hanya mendengarkan.

Ayu, seorang tenaga pendidik yang sering bertemu dengan remaja, menuturkan perlunya ruang yang alangkah lebih baiknya dimulai dari ruang yang terkecil: rumah. Remaja harus berani diberikan tanggung jawab di rumah. Ia pernah mendengarkan curhatan seorang remaja perempuan. Remaja itu bercerita tentang orang tuanya yang terkena syndrom facebook sehingga tidak punya waktu untuk memperhatikannya, yang akhirnya berujung pada kehidupan seks bebas pada remaja perempuan itu. Ia punya sebuah pernyataan yang masuk akal, “Remaja seperti botol kosong yang harus diisi.Pertanyaannya kemudian, siapa yang isi?”

Ibu Linda kembali menceritakan pengalamannya. Menurutnya, RKMtidak memakai metode menasihati dan menggurui, hanya memberikan pandangan-pandangan pada remaja. Rumah Konseling dan Mediasi sendiri adalah ruang untuk remaja. Ia bahkan menaruh beberapa kertas untuk menuliskan hal-hal yang dialami remaja dan hal-hal yang dia dapatkan. Remaja adalah korban, dan parahnya, para orang tua tidak menyadari ini.

“Coba, siapa di sini yang kalau pulang kerja masih bertanya pada anaknya ketika pulang bekerja atau beraktivitas? Pertanyaan apa, bagaimana, dan kenapa, sering absen ketika kita pulang ke rumah dengan alasan lelah,” kata Ibu Linda. Ia kemudian menjelaskan lagi tentang pikiran remaja yang pendek, dan orang dewasa harus bijak dan memberikan ruang kepada remaja.

“Orang dewasaatau orang tua kalau bertengkar jangan sampai didengar oleh remaja,” kata Ibu Linda, melanjutkan pandangannya tadi, sembari mereview video diary karya Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah “Semua Orang Itu Guru”, yang menjadi video terakhir yang diputar malam itu. Video itu menceritakan seorang anak perempuan yang bermasalah dalam keluarganya hingga berdampak pada pendidikannya.

Saya pikir, Ibu Linda punya metode yang masuk akal. Memberikan pandangan-pandangan pada remaja, membuatnya punya kesempatan untuk memilih. Kesempatan untuk menuliskan keluh-kesahnya dalam sebuah media berupa kertas adalah alternatif lain. Pilihan-pilihan yang kemudian membuat remaja punya kesempatan untuk menentukan apa yang ingin ia jalani. Pandangan serupa yang ia jelaskan sebelumnya, dilengkapi dengan memberikan pilihan solusi.

Indra Wijaya, sebagai fasilitator, mengatakan tentang perlunya ruang untuk eksistensi remaja, untuk pengakuan mereka, sehingga menegasikan perspektif jelek tentang mereka. Ia menjadikan dirinya sebagai contoh, knalpot racing yang ia pakai adalah salah satu cara untuk mencari perhatian. Tatto juga adalah salah satunya.Kesan berani yang ditangkap orang-orang yang melihatnya karena harus bersakit-sakit dahulu ketika ingin menato dirinya (dibagian di bawah leher dan telapak tangan adalah bagian paling sakit) adalah bentuk mencari perhatian.

Irwan menambahkan dengan menjelaskan sedikit tentang pengalamannya bergaul di banyak tempat. Di Banta-Bantaeng, tempat ia bergaul, ada seorang remaja yang menjual obat-obatan dari obat bernama ‘anjing gila’ sampai sabu-sabu. Sayangnya, yang menjual ini adalah seorang anak SMP yang bahkan sudah putus sekolah, katanya. Dengan nada yang agak meninggi ia bertanya,”Lalu siapa yang disalahkan? Remaja?Tentu saja tidak!Perilaku menyimpang mereka disertai dengan alasan mendasar, ekonomi.”Ini juga ditunjang dengan fase remaja yang berkebutuhan lebih, rasa ingin tahu yang tinggi, dan rasa penasaran terhadap sesuatu. Diakhir pendapatnya, ia berpesan agar seluruh yang hadir dalam acara pemutaran untuk sama-sama melindungi remaja, karena yang mereka lakukan bukan sepenuhnya kesalahan mereka.

Pemutaran pun diakhiri dengan diskusi lepas. Para remaja yang tadinya malu-malu mulai menampakkan dirinya dengan menyuruh seorang perempuan untuk memperkenalkan dirinya. Tingkah mereka menghadirkan gelak tawa di sela-sela Sabtu malam itu.

“Andalanku ini,” kata Rezky, menunjuk seorang perempuan berkacamata yang mengenakan jilbab berwarna hitam. Ini terus berlanjut, sampai ketika mereka ingin pulang, mereka sepakat untuk tidak pulang ketika tidak berkenalan dengan seorang Perempuan berjilbab bernama Mardiana.

Selamat Hari Remaja Internasional!