Musik Bermekaran di Taman Indie

Linikala twitter Makassar ramai sekisar sebulan lalu me-retweet kabar perihal akan diluncurkannya album kompilasi band-band komunitas Taman Indie, sebuah komunitas musik all-genre jalur indie. Informasi ini menjadi menarik, sebab belakangan ini band-band indie Kota Makassar hanya berjaya di festival dan acara indie track di radio-radio.

Komunitas Taman Indie rutin manggung di halaman Circle K Hasanuddin, sebuah kafe swalayan di kisaran jantung Kota Daeng. Mereka memperoleh kontrak khusus di kafe itu. Setiap pekan, tampil lebih dari 10 band indie memainkan jenis musik berbeda-beda mulai dari jam 7 malam sampai jarum jam melewati angka 12. Kini penikmat musik Makassar mengenal band folk alternative bernama Melismatis, salah satu band yang aktif di komunitas ini. Melismatis baru-baru ini, pada 29 Agustus 2012 mengadakan Musicalab Ensemble Concert di Societeit de Harmonie.

Kehadiran Taman Indie membuat saya tertarik menemui mereka selesai nge-jam untuk berbagi cerita perjalanan berkomunitas mereka. Mereka tampak antusias. Tujuh orang anggota Taman Indie menemui saya di halaman Societeit de Harmonie—padahal saya hanya menghubungi dua anggotanya.

Bagaimana maksud kata ‘indie’ yang ada di dalam nama komunitas ini? Erick Rico, koordinator Taman Indie mengatakan, ‘indie’ yang mereka hidupi bukanlah sebuah genre. “Saya kira semua juga tahu, roh indie pada musik berada pada sikap seniman dalam berkarya. Banyak dari musisi indie memilih jalur mandiri ini karena menghindari, tidak cocok, atau belum menemukan label yang tepat. Pemikiran kami sederhana saja, menghindari ‘huru-hara’, ngumpul, bebas melakukan serangkaian eksperimen bebunyian, dan ndak membatasi diri pada satu genre tertentu.”

“Komunitas ini ibarat sebuah taman, ruang publik. Di taman kami berbagi pengetahuan, waktu, musik, kelakar, dan hal-hal yang kami anggap penting sampai yang ‘epen-epen’,” kata Terbit Ryansyah, orang yang pertama kali mencetuskan gerakan Taman Indie kepada band-band di Makassar, 11 Agustus dua tahun silam.

Band-band yang bergabung dalam Taman Indie antara lain Brain of Typical Male, Deziva, Dunce dance, Fun Bokep House, Hilite, Melismatis, Rockradio, Sir Ventury, Ska with Klasik, Sorrow in The Darkness, Sound in Silence, Standing Forever, Tabasco, The Sitels, The Strugglers, Walking Bubble, dan lainnya ibarat bunga yang tumbuh dan mekar bersama. Kini 21 band Taman Indie telah menelurkan sebuah album kompilasi, Ringing Tree ‘the twenty philosophy of narrow space’.

Menurut Terbit Ryansyah, selama 10 tahun terakhir, ia belum menemukan ada satu komunitas musik di Makassar yang merupakan gabungan semua genre. Musisi-musisi Makassar tergabung dalam satu kelompok tertentu, membuat gigs, dan festival berdasar pada satu genre tertentu.

“Saya dan teman-teman banyak ketemu band lain di Makassar. Mereka punya genre beda-beda. Tidak hanya Punk atau Metal to’. Dari situ saya berpikir, kenapa kita tidak membentuk komunitas musik yang ‘hetero’ jadi lebih indie begitu, lebih kreatif. Kami semua sudah saling kenal lewat festival-festival musik, kenapa kita tidak bikin komunitas yang bisa angkat nama kita sama-sama. Ya, kalaupun itu masih lama, paling tidak kita bisa sediakan panggung bebas bermusik,” jelas Terbit.

Album kompilasi Ringing Tree yang baru akan diluncurkan 22 September 2012 ini merupakan capaian awal dari panjangnya daftar kerja yang Taman Indie susun. Erick Rico, Terbit Ryansyah, dan Asnur Nasaruddin menggawangi Taman Indie membuat satu program berjangka 6 bulan seperti festival, gigs, dan album kompilasi. Selama tahun 2012, Taman Indie telah menyelenggarakan lebih dari 10 hajatan musik. Salah satunya adalah ‘Menunjuk Timur 2012’ pada 26 Februari 2012 lalu di halaman Gedung Kesenian.

Komitmen bermusik dan bergerak indie, Taman Indie telah berjalan selama dua tahun. Banyak band berdatangan, ada juga yang berguguran. Lebih dari 16 band Makassar, pengusung genre Reggae, Ska, Screamo, British Pop, Indonesian Rock, sampai Jazz saling percaya melejit bersama di Taman Indie. Komitmen dan dedikasi musik berumur ‘belia’ ini melepas roh musik di event Charitycoustic, Circle Coustic, Music for Brighter Day, One Way Ine Vision volume 2, Tribute to Influence, Saturday Passion, Great Saturday, dan yang terakhir, pada 25 Agustus 2012 lalu, di pra-event Musik atau Mati, sebuah konser musik akbar yang akan dihelat 6 Oktober mendatang di Makassar.

Ketika mereka menyodori saya draft sampul Ringing Tree Taman Indie, judul album yang kurang lebih berarti ‘filosofi 21 ruang sempit’ tersebut sangat menarik. Erick Rico menjelaskan, angka 21 merujuk pada jumlah band yang ikut kompilasi. Merujuk pula pada 21 genre berbeda, disatukan dalam satu album.

“Narrow space, ibaratnya kita semua hidup dalam satu ruang kecil yang sempit. Di album ini kita tidak mementingkan skill bermusik tiap band, apalagi personal. Yang penting kami menunjukkan diri, berkreasi,” jelas Erick.

Usia 2 tahun untuk sebuah perjalanan komunitas, apalagi komunitas musik mandiri seperti Taman Indie itu sedang segar-segarnya. Taman Indie berhasil bertahan selama dua tahun di bawah kordinasi orang yang berbeda-beda. Resiko komunitas seperti Taman Indie tidak menetapkan aturan tertentu agar anggota bertahan di dalam. Endurance, ketahanan adalah kuncinya. Seleksi alam yang menjadi tantangan utama setiap anggota.

“Bagaimanapun kita tak sekadar bermusik. Kita menjalankan komunitas ini bersama-sama. Kadang ada yang belum paham, atau ‘kaget’ karena baru mendapati cara kerja indie seperti kami. Mereka yang kaget, hilang sendiri, belum sanggup barangkali. Kami yang ada ini, berhasil melewati seleksi alam. Kami bangga mencapai titik sukses sembari melupakan titik jenuh sampai sekarang. Perlahan dikenal orang, musik kami perlahan mengudara, terbebaskan,” tutup Erick Rico.[]