Minimarket: Tsunami Baru di Makassar
Seorang pedagang di pasar lokal pernah mengandaikan bahwa fenomena minimarket bak gelombang tsunami, menyapu usaha sejenis yang sejak lama tumbuh di Makassar. Tulisan ini, merupakan hasil survei dan penelisikan berbagai sumber lainnya, menceritakan tentang perkembangan baru ini. Dengan mempertimbangkan perihal teknis, website ini memutuskan penyiaran tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. Semoga bermanfaat!
PADA 6 Januari 2012, pedagang Pasar Parangtambung menyegel minimarket Indomaret yang berjarak sekira 50 meter dari pasar. Aksi mereka bukan sekadar ketakutan akan hadirnya gerai tersebut, namun juga berkaitan dengan rencana pemerintah memberi izin bagi pendirian enam gerai toko modern lainnya (Ujung Pandang Express, 7/1/2012). Sebulan sebelumnya, 2 Desember 2011, sembilan perwakilan warga BTN Hartaco Indah mendatangi komisi I DPRD Kota Makassar. Agenda mereka menyampaikan protes 300 warga dan pedagang Pasar Parangtambung. Menurut mereka, Pemkot Makassar belum mengeluarkan izin, tak ada lahan parkir dan berpotensi besar mematikan pedagang kecil di sekitar itu (Tribun Timur, 2/12/2011).
Aksi protes semacam ini bukan baru sekali itu terjadi. Pada awal Juni 2011, tiga puluh tujuh orang yang memiliki warung kecil [Makassar: gadde-gadde] berkumpul di rumah seorang warga. Mereka menyampaikan keresahan atas beroperasinya dua minimarket—Alfamart dan Indomaret—di lingkungan permukiman mereka, Kelurahan Parangtambung dan Kelurahan Manuruki, Kecamatan Tamalate. Sejak keduanya beroperasi, mereka kehilangan satu per satu pelanggan. Hari demi hari omzet pa’gadde-gadde (pelaku usaha gadde-gadde) pun berkurang. Akibatnya, pemenuhan kebutuhan rumah tangga mereka mulai terasa sulitnya.
Mereka bersepakat untuk menulis surat keberatan kepada Walikota Makassar. Surat yang rampung dibacakan lalu dibubuhi tandatangan dukungan para hadirin.
Hal ini tidak semata terjadi pada pa’gadde-gadde tadi. Hal itu tampak pula dari hasil survei kecil yang dilaksanakan oleh Active Society Institute (AcSI) pada Oktober 2011 di Makassar, dengan metode pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling). Dampak ekspansi minimarket—baik Alfamart, Indomaret, maupun Alfa Midi—terhadap keberadaan gadde-gadde mayoritas buruk (70%). Beberapa ragam dampak yang dimaksud meliputi: berkurangnya omzet penjualan—khususnya produk tertentu yang sebelumnya diminati seperti minuman segar, minyak goreng, susu formula dan berkurangnya pelanggan karena rayuan harga barang yang lebih murah dan kenyamanan berbelanja yang ditawarkan manajemen minimarket modern.
Bagi pa’gadde-gadde, hadirnya minimarket dengan segala kelebihannya, telah menjadi satu kekuatan pasar (market power) yang dahsyat. Dominasinya menggeser dan mampu menggusur keberadaan gadde-gadde sebagai kekuatan ekonomi informal warga Kota Daeng. Bagi pa’gadde-gadde, berjualan adalah cara bertahan hidup ketimbang upaya menjadi kaya.
Bertahan hidup berarti kemampuan memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Dalam teori ekonomi, corak usaha gadde-gadde cenderung sebagai upaya bertahan [economic survival] ketimbang bertumbuh [economic growth] (lihat Berner, 2007). Maksudnya, usaha semacam ini lebih menjadi katup pengaman ekonomi bagi setiap keluarga, bila pekerjaan utama kepala keluarga sebagai buruh atau pekerja sektor informal mengalami kesulitan. Supaya bisa tetap bertahan hidup dalam zona aman, mereka pun menyampirkan harapan kepada Pemkot Makassar.
Dalam sebuah survei mini yang dilakukan oleh Active Society Institute (AcSI)—dengan dukungan INFID—dengan jumlah responden 50 gadde-gadde diperoleh data dasar mengenai usaha rumah tangga ini. Seluruh responden merupakan gadde-gadde yang berada di sekitar minimarket modern.
Sebanyak 66% gadde-gadde telah beroperasi lebih dari atau sama dengan 5 tahun. Alasan mereka membuka usaha ini adalah menambah pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (58%). Selain itu, untuk membiayai pendidikan dasar anak (10%), menjadi solusi atas ketiadaan pekerjaan yang bisa diakses oleh warga di Kota Makassar (14%), dan menambah pendapatan utama keluarga (2%). Selanjutnya, terdapat 14% responden telah memulai usaha ini sejak 2 – 4 tahun terakhir dan 16% responden baru membuka usaha gadde-gadde setahun terakhir.
Besarnya alasan membuka usaha gadde-gadde sebagai upaya pemenuhan kebutuan rumah tangga menunjukkan bahwa gadde-gadde—sebagai usaha ekonomi rumah tangga—merupakan katup pengaman ekonomi keluarga guna memenuhi pengeluaran harian yang tidak dapat dipenuhi hanya melalui pekerjaan utama keluarga.
Berdasar hasil riset ini, maka jika pagadde-gadde atau pedagang kecil di Makassar marah terhadap pembiaran ekspansi pasar mini ini maka itu adalah hal yang wajar. Apa lagi jika Pemkot tetap tak peduli atas nasib mereka dan anggota keluarganya.
Tulisan 2
Sebelum mendirikan usaha gadde-gadde di Jalan Manuruki Kecamatan Tamalate, Ibu Rahayu hanya mengurus rumah tangga dan ketiga anaknya yang sekolah di SD. Rahayu mendirikan gadde-gadde demi menambah pendapatan suaminya, Daeng Ngella, yang bekerja sebagai montir di bengkel miliknya.
Usaha bengkel ini sudah ada sejak 17 tahun lalu. Pelanggan bengkel di pinggir Jalan Mannuruki itu makin tak pasti. Bengkelnya hanya bermodal satu alat penambal ban, beberapa stok ban dalam, dan sejumlah pelumas. Luasnya 2 x 3 meter, hanya sehalaman depan rumahnya. Sebagian halaman lagi menjadi tempat gadde-gadde milik Rahayu, istrinya.
Menurut Rahayu yang ditemui pada Oktober 2011 lalu, ia memulai usaha dengan modal hampir lima juta rupiah. Demi kestabilan omzet penjualan, ia mengambil barang jualan di toko grosir yang harganya lebih rendah dan hanya mengambil barang yang paling sering dicari konsumen, seperti rokok. Melihat kecenderungan konsumen kelas ekonomi lemah, ia memilih menjual rokok batangan. Rahayu juga menjual makanan ringan untuk anak-anak (Makassar: garoppo’) yang juga diminati banyak bocah-bocah di sekitar gadde-gadde itu.
Sang suami, Daeng Ngella (46), mengeluhkan keberadaan beberapa minimarket di kawasan Manuruki. Sejak Alfa Midi, yang cuma dipisahkan sebatang lorong samping rumahnya, pendapatan gadde-gadde istrinya berkurang setiap hari. Sebelumnya, gadde-gadde Rahayu bisa beromzet sampai Rp 200 ribu per hari. Setelah Alfa Midi berdiri, pendapatannya menurun tajam, hingga kurang dari Rp 60 ribu/hari saja. Untunglah, pendapatan bengkelnya bisa menutupi kekurangan tersebut.
Hal yang ia khawatirkan adalah beberapa bulan ke depan dua gerai Alfamart segera berdiri. Satu di seberang jalan dekat rumahnya, satunya lagi sekira 400 meter dari lokasi gadde-gadde istrinya. Menurut pengakuan Daeng Ngella, bukan cuma dia yang mengeluhkan keberadaan minimarket. Beberapa pa’gadde-gadde di kawasan ini meresahkan hal yang sama. Maklum, minimarket seperti yang akan berdiri di sekitaran rumahnya kerap menerapkan harga lebih rendah dari gadde-gadde. Selain itu, ada kabar bahwa tenaga kerjanya kerap tidak merekrut warga setempat.
Sebulan sebelumnya, Rahayu harus menutup gadde-gadde-nya selama hampir sebulan. Anak keduanya masuk rumah sakit karena kecelakaan. Ia harus menemani si buah hati di rumah sakit. Ketika berjualan lagi, suaminya menambahkan modal dari tabungan pendapatan bengkel. Begitu pula sebaliknya, saat sang suami membutuhkan tambahan pembelian peralatan bengkel, Rahayu merogoh tabungan dari keuntungan gadde-gadde. Baginya, mengelola gadde-gadde memang tidak bisa diandalkan untuk menopang seluruh kebutuhan rumah tangga. Namun, setidaknya, bisa membantu ekonomi keluarganya.
Lain lagi cerita Pak Jono (52), pemilik Toko Batu Hijau, Jalan Poros BTP, Kecamatan Tamalanrea, Makassar. Sebelum memfungsikan rumahnya sebagai toko pada 2007, Pak Jono menjadikan tempatnya sekadar rumah huni sejak 1997. Pada masa-masa awal beroperasi hingga belum maraknya pembangunan minimarket modern, Pak Jono mengaku, omset tokonya mencapai dua juta rupiah setiap hari. Namun saat ini, dalam sehari, omset menurun drastis, hingga kadang tidak lebih dari satu juta rupiah. Selain biaya kebutuhan rumah tangga yang kian meningkat, kesulitan lain Pak Jono adalah menutupi biaya operasional toko. Biaya operasional tokonya per bulan mencapai Rp 600.000. “Tadi malam itu, hanya 700 ribu didapat,” kata pak Jono, Oktober 2011.
Pak Jono sering melihat pelanggan (Makassar: sambalu) melintas di depan tokonya menuju Alfamart, yang berada 50-an meter dari tempatnya. Hal ini diperparah sejak gerai Alfa Midi juga beroperasi. Maklum, bagi warga yang tinggal di Blok C BTP, tepat di belakang Toko Batu Hijau, mereka cenderung berbelanja di Alfa Midi karena posisinya tepat di sudut jalan. Pelanggan Toko Batu Hijau, di antaranya tetangga Pak Jono sendiri, kini juga sudah jarang terlihat. Kecuali ketika barang yang dicari tidak tersedia di mini market tersebut. “Hanya tahan perasaan yang bisa dibikin!” kata Pak Jono.
Fany (42), pemilik ‘Toko Tunggal’, di sisi kanan Alfa Midi, mulai merasakan dampak keberadaan minimarket. Sejak keberadaan Alfa Midi, efek yang paling terasa adalah menurunnya omzet penjualan susu formula.
Menurutnya, konsumen kini lebih memilih membeli di Alfa Midi karena sejumlah tawaran yang menggiurkan, seperti harga promo dengan diskon di bawah harga jual di tokonya.
“Bahkan promo dengan membeli dua bungkus susu formula, konsumen akan mendapatkan satu bungkus secara cuma-cuma. Belum lagi kelengkapan barang, dan fasilitas tempat yang memadai, seperti ruang ber-AC.” Papar Fany.
Fany sudah mulai usaha tokonya sejak tahun 1986, Tapi, kata muallaf keturunan Tionghoa ini, ketika itu masih kecil-kecilan. Toko miliknya juga berada tepat di pinggir Jalan Raya Mannuruki, sejajar dengan usaha gadde-gadde Rahayu. Keduanya hanya dipisahkan oleh gerai Alfa Midi. Menurut Rahayu, Toko Tunggal milik Fany merupakan toko pertama yang terbilang besar di kawasan itu. Toko yang juga dijadikan rumah tinggal ini, terdiri dari dua lantai, ukurannya 8 x 14 meter. Namun di bagian depannya, sebagian lahannya (4 x 4 meter) juga dimanfaatkan sebagai bengkel yang dikelola oleh suaminya, Saparuddin.
Dampak buruk bagi usaha ketiga pemilik gadde-gadde ini hadir dalam bentuk yang beragam. Beberapa menyebutkan bahwa terjadi perubahan pola belanja. Kalangan muda kini lebih memilih belanja di Alfamart atau Indomaret dengan alasan kenyamanan dan kemudahan akses belanja. Harga yang lebih murah juga menjadi alasan berpindah tempat berbelanja. Beberapa produk seperti susu formula, minyak goreng kemasan, minuman bervitamin, yang sebelumnya dijual di gadde-gadde tidak tampak lagi. Menurut mereka, tak ada lagi pembelinya. Jadi, ketimbang berisiko tak laku, mereka memilih tidak menjualnya lagi.
Dalam kenyataannya, di pasar-pasar modern, baik sekelas mini, super, maupun hypermarket, seringkali produk seperti ini dipromosikan secara berlebihan dengan berbagai tawaran diskon yang tinggi. Dalam strategi bisnis, cara seperti ini disebut predatory pricing atau mengambil risiko merugi beberapa waktu untuk membunuh pesaing yang bermodal kecil (biasa disebut juga sebagai wal-mart effect). Akibatnya, pembeli lebih senang membeli barang di pasar modern.
Pak Jono merasakan benar dampak politik dagang predatory pricing ini. Beberapa susu formula dan makanan ringan lainnya yang tak laku dan memasuki masa kadaluarsa tersimpan di gudang. Ia masih berharap pihak distributor membelinya kembali walau harganya sudah di bawah harga modal. Sejak itu, ia membatasi jumlah pembelian produknya. Praktik seperti ini kemudian mempengaruhi berubahnya pangsa pasar (market share), saat sebelumnya omzet penjualan gadde-gadde tinggi, namun turun terus dan peralihannya menuju minimarket modern seperti Alfamart, Indomaret, dan Alfa Midi.
Tulisan 3
Karakter gadde-gadde dan minimarket berbeda. Warga mendirikan usaha gadde-gadde cenderung sebagai bentuk bertahan hidup, sementara minimarket demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Bagaimana sebaiknya pemerintah menangani usaha-usaha seperti ini? Dalam tulisan bagian ketiga inilah akan dibahas.
Para pelaku usaha gadde-gadde masih menumpukan harapan kepada pemerintah. Berdasarkan survei AcSI, mayoritas mereka (86%) menuntut agar pemerintah bersegera membatasi pendirian minimarket modern dan mengatur zonasinya. Bahkan, seorang responden dengan tegas menyatakan agar pemerintah membongkar paksa minimarket yang disinyalir tak memeroleh izin pendirian.
Pandangan ini muncul mengingat adanya kemudahan dari pihak-pihak terkait dalam meloloskan izin pendirian kepada pemilik usaha ritel modern tanpa mempertimbangkan dokumen analisa sosial ekonomi kemasyarakatan di daerah setempat.
Sejumlah pelaku usaha gadde-gadde, seperti Haji Kamaruddin di Perumahan Bumi Tamalanrea Permai, menyatakan bahwa Pemkot Makassar selama ini terkesan sengaja membiarkan pembangunan minimarket modern sehingga jumlahnya banyak.
“Mau mi di apa, pengusaha itu banyak ki modalnya. Jadi dia bisa bangun toko yang besar, bersih, ada ki juga AC na. Apalagi kalau ambil barang, ada ji tempatnya sendiri. Kalau begini terus, bisa-bisa kita yang pa’gadde-gadde bangkrut. Harus ki pemerintah atur ini, jangan sampai tutup maki’ baru pemerintah sadar! Tidak apa ji ada Alfamart, tapi jangan terlalu banyak. Masa tiap 50 meter ada dua!” begitu Haji Kamaruddin berpendapat.
Usaha gadde-gadde berfungsi sebagai katup pengaman ekonomi bagi setiap keluarga kalau-kalau pekerjaan utama kepala keluarga sebagai buruh atau pekerja sektor informal mengalami kesulitan. Untuk itu pemerintah seyogyanya menjaga kestabilan usaha mereka dan memberikan dukungan dalam menjaga proses kemandiriannya agar tidak runtuh.
Di satu sisi, pelaku usaha toko moderen seperti Alfamart, Indomaret, dan Alfamidi melakukan perluasan bisnis. Gerai-gerainya bahkan sudah berdiri di beberapa permukiman padat yang dihuni ratusan gadde-gadde jauh sebelumnya. Ekspansi bisnis ini menjadi ancaman karena berubahnya kekuatan pasar dan keuntungan yang selama ini masih didominasi gadde-gadde, toko kecil, toko grosir lokal, dan usaha rumah tangga lainnya.
Ekspansi toko modern ini rupanya ditopang oleh kebijakan yang abai mengatur mereka secara ketat. Pemerintah sejauh ini hanya khawatir dengan supermarket dan hypermarket. Bahkan, pada konteks tertentu, ditengarai ada jalinan kerjasama antara birokrat tertentu dan pengusaha dalam memudahkan perizinan mereka hingga terkatung-katungnya urusan zonasi usaha minimarket ini. Termasuk di dalamnya adanya kemungkinan praktik ‘predatory pricing’ oleh pelaku toko modern pada produk-produk tertentu yang merugikan pelaku usaha kecil.
Di Makassar, regulasi bagi minimarket diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 15 tahun 2009 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern, yang mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 112/2007 dan Permendag nomor 53/2008. Untuk itu, salah satu upaya mendukung usaha mikro dan kecil di kota Makassar adalah melalui tindakan advokasi kebijakan.
Upaya ini diawali dengan pengorganisasian sosial menuju gerakan sosial membela praktik ekonomi rakyat. Untuk itu, elemen-elemen penggerak sosial pertama-tama perlu mendorong agar pa’gadde-gadde berkumpul dan berserikat untuk kelak mereka bisa menyuarakan kepentingan sendiri.
Kedua, penggerak sosial ini menggalang mitra aksi, khususnya dari kalangan mahasiswa dan ornop, serta anggota parlemen dan birokrat tertentu yang reformis dan siap memperjuangkan kepentingan mereka dalam upaya melakukan advokasi kebijakan melalui revisi Perda Nomor 15/2009. Perda ini berisi beberapa pasal yang mengancam pelaku usaha gadde-gadde mengalami kemunduran usaha permanen dan tentunya melemahkan ekonomi kerakyatan yang telah berlangsung lama.
Poin pertama adalah adanya diktum yang mengatur pengecualian persyaratan perizinan—sebagaimana disebutkan di atas—bagi minimarket modern sehingga ekspansinya cepat. Poin kedua adalah penetapan zonasi minimarket—sebagaimana sudah banyak disinggung di media massa—harus segera diselesaikan Pemkot Makassar. Ketiga, Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) perlu didukung dalam upaya mereka terus menerus menegakkan keadilan dalam berusaha, khususnya menertibkan praktik politik dagang yang disebut predatory pricing dan membangun keseimbangan kekuatan pasar antara ritel modern dan ritel lokal agar terbaginya keuntungan bisa lebih adil. Sebagai tindakan keberpihakan kepada pelaku usaha gadde-gadde maka dalam proses revisi perda (dan bila perlu adanya perda khusus penantaan toko modern skala minimarket) maka ada baiknya bila Pemkot Makassar memberlakukan moratorium perizinan bagi pembukaan minimarket berjejaring ini.
Bila elemen ekonomi rakyat ini bisa bersatu padu, maka mereka bisa leluasa berhadapan dengan parlemen seleluasa dengan pengusaha, partai politik, dan kelompok kepentingan lainnya yang kerap bernegosiasi dalam menentukan poin-poin urgen dalam regulasi daerah. Dengan berserikat, mereka juga bisa berfungsi sebagai kelompok penekan melalui tindakan berkelompok (class action) sewaktu-waktu bila praktik ekonomi serupa tsunami yang diumpamakan oleh Daeng Jama’, semakin menenggelamkan mereka.[]