Menelaah Makna Dapur di Sulawesi

Makassarnolkm.id

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dapur diartikan sebagai ruang tempat memasak. Memiliki kata turunan ‘sedapur’ dan beberapa gabungan kata seperti ‘dapur terbuka’ dan ‘dapur umum’. Ini berarti, telah menjadi kesepakatan bersama bahwa dapur bukan sebatas ruang fisik tempat memasak, melainkan ranah tempat berlangsungnya proses memasak itu. 


Di masyarakat Suku Kajang, Sulawesi Selatan, dalam arsitektur rumah mereka, dapur terdapat pada bagian depan rumah tepat di sebelah kiri pintu masuk. Penempatan dapur di dekat pintu mengandung filosofis bahwa masyarakat Kajang sangat memuliakan dapur sebagai sumber kehidupan. Tidak adanya sekat ruangan memiliki makna bahwa masyarakat Kajang ingin menunjukkan sikap keterbukaannya kepada para tamu yang datang (Adhan, 2005:285). Ini menunjukkan bahwa dapur sebagai sumber kehidupan orang Kajang bukanlah bagian yang terpisah dengan kehidupan di luar rumah.


Sedangkan di Masyarakat Bugis, dapur juga berada di dalam rumah. Dalam bahasa Bugis, dapur disebut dapureng. Kata “dapureng” memiliki arti “(di)dalam” atau “pusat”. Dapureng dihormati sebagai ruang privat dan intim bagi keluarga. Di sisi lain, dapur menjadi refleksi yang menyimbolkan status sosial pemiliknya. Simbol ini secara langsung berhubungan dengan pasokan makanan untuk anggota keluarga, terutama tempat penyimpanan beras atau (pabbaraseng). (Mukrimin, 2006:357).  Meskipun secara fisik berada di dalam rumah dan menjadi ruang privat keluarga, dapur adalah simbol yang memengaruhi kehidupan sosial orang Bugis.  


Selain kehidupan sosial, dapur juga menjadi ruang yang memperantarai hubungan spiritual keluarga. Dalam rumah adat Toraja Mamasa yang disebut Banua, posisi kamar pemilik rumah dan dapur memiliki lantai dengan tingkat yang sama. Dapur menjadi tempat tersuci di rumah, bukan kamar si empunya. Hal ini terjadi sebab dapur, di samping fungsinya sebagai tempat memasak dan makan bersama keluarga, terutama juga mempunyai tujuan menjadi pusat keagamaan, ranah mencari dewa-dewa demi mendapat berkatnya. (Kees Buijs, 2018:65-66). 

 

Domestikasi Dapur sebagai Ranah Perempuan
Ada dua arti kata ‘domestik’ dalam KBBI yang berhubungan dengan dapur dan perempuan. Pertama, ketika berhubungan dengan batas wilayah suatu negara, kata ini berhubungan dengan atau mengenai permasalahan dalam negeri. Terdapat kata ‘dalam’ yang bisa merujuk kepada dapur ketika konteksnya wilayah di dalam rumah. Arti yang kedua, adalah hal-hal yang bersifat rumah tangga. Kalimat ‘bersifat rumah tangga’ bisa berarti ranah yang dikerjakan perempuan di dalam rumah. Dua arti ini, secara harfiah bisa dipakai untuk melekatkan kata ‘domestik’ pada perempuan karena otoritas untuk menata dan mengatur dapur adalah hak perempuan atau istri hal ini karena masalah yang melibatkan dapur sering kali disebut sebagai “persoalan-persoalan rumah tangga”.(Mukrimin, 2019:357). 


Ada juga istilah Malekke’ dapureng yang merupakan istilah yang merujuk pada perpindahan secara permanen yang dilakukan orang Bugis. Ketika sebuah keluarga berpindah secara permanen ke tanah rantau dan membawa serta anggota keluarga utamanya istrinya, perpindahan ini disebut sebagai mallekke’ dapureng karena seorang istri adalah ‘pemilik’ dapur. Secara simbolis, ketika istri ikut pindah, dapur keluarga mereka juga ikut berpindah secara permanen dan malekke’ (melekat) di rumah rantau. Bahkan dalam kehidupan orang Toraja-Mamasa, mereka kadang-kadang menyebut dapur sebagai ‘ibu keluarga’, atau ‘jiwa keluarga’. Istilah-istilah itu bisa dimengerti sebab makanan dan, pada khususnya nasi, dapat disebut ‘sumber kehidupan’. Tanpa makanan, kehidupan pasti berakhir. (Kees Buijs, 2017: 56). 

 

Mengalami Dapur yang Terus Berubah Makna
Saya tumbuh di keluarga yang menjalani kehidupan sehari-hari orang Bugis. Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, ibu saya membuka warung makan di rumah. Sehingga beberapa perkakas yang selama ini ada di dapur yang terletak di bagian belakang, berpindah ke bagian depan rumah yang telah berubah jadi dapur warung. Kami akhirnya punya dua dapur, bagian belakang sebagai tempat memasak keluarga dan bagian depan sebagai dapur untuk memberi makan pelanggan warung yang datang. 


Kehadiran dapur di bagian depan perlahan merubah cara dan menu makanan kami sekeluarga. Dulu, kami selalu makan bersama saat ibu memasak, tapi semenjak dapur di depan hadir, masing-masing dari anggota keluarga jadi pandai memasak karena bahan makanan untuk warung yang telah tersedia. Kami akhirnya terbiasa menyiapkan makanan sendiri-sendiri. Dapur di warung makan ibu perlahan merubah definisi dapur dalam keluarga kami. Dapur tidak lagi sebatas memasok makanan keluarga, ia juga menjelma menjadi dapur yang menyiapkan makanan untuk siapapun pelanggan yang datang, orang yang bahkan tidak pernah kami lihat sebelumnya. 


Semenjak kuliah di Makassar 2016 silam, saya tinggal di sebuah pondokan di Kelurahan Pampang yang menyediakan dapur umum untuk memasak. Dapur ini terletak di dekat tangga menuju lantai atas yang menyediakan kompor dua tungku. Setiap hari, dapur akan mengepul di jam-jam menjelang makan siang, teman-teman pondokan akan memasak bersamaan atau bergantian dengan berbagi kompor dua tungku itu. Mereka akan bercerita tentang harga sayur, atau rutinitas keseharian yang masing-masing sedang dikerjakan sembari memasak. Perlahan, dapur pondokan membuat saya mengalami dapur dengan atmosfer berbeda. Saya bisa saja memasak tumis kangkung di satu tungku kompor, dan di sisi tungku yang lain, teman pondokan sedang menggoreng ikan bandeng. Kami memasak di dapur yang sama tapi tidak makan bersama karena masing-masing akan memakan masakannya di kamar. 


Tidak jauh dari Pondokan saya, pada 2018 saat penelitian tentang Lontang (sebutan untuk bar tradisional tempat menyesap ballo’ atau tuak). Saya mendapati perluasan fungsi dapur menjadi lontang. Bagi para istri pangeba’ (penyadap air nipah-pembuat ballo’) yang sekaligus menjadikan rumahnya sebagai lontang, dapur bukan sekedar tempat memasak, tetapi juga ladang ekonomi keluarga, tempat mereka menjajakan sadapan air nipah. 


Sedangkan bagi para suami (pangeba’), lontang adalah ruang di mana mereka dan banyak pelanggannya meretas sengkarut pikiran perihal hidup sehari-hari, menghibur diri selesai bekerja, atau sesekali bergurau dan olok-olokan tanpa memandang strata. (Racman Jimpe, Anwar, et.al.2018). Lontang-dapur adalah wujud perluasan fungsi ruang fisik yang semakin sulit dimiliki oleh warga kampung kota seperti di Pampang. Ranah di mana para ‘pelanggan senasib’ selalu merasa punya teman dan keluarga.  

   (Agenda memasak di halaman Kampung Buku, Foto: Aziziah Diah Aprlya)

Membicarakan dapur berarti membicarakan hal yang berlapis dan luas. Dapur tidak hanya sebatas ruang secara fisik yang arsitekturnya perlahan mulai berubah sesuai kebutuhan masing-masing orang, dapur adalah ranah yang personal, spesifik dan kompleks. Dia adalah bagian integral dari pengalaman historis, budaya, adat istiadat, ekonomi, bahkan gender dari kehidupan kita sehari-hari. Ketika semua hal berawal dari rumah, dapur adalah titik di mana semua itu bermula.