Mencicip Makassar dalam Semangkok Pallu Kaloa

Makassarnolkm.id

Salah satu kata kunci Makassar adalah makanan. Jadi, kalau kamu datang, singgah, atau bahkan sudah berada di kota ini dalam waktu yang lama dan ingin mengalaminya lagi, datanglah ke warung-warung yang menyediakan makanan yang hanya bisa ditemukan di sini. 

Kalau yang template wisata kuliner ya paling tidak jauh-jauh dari Pallubasa Serigala atau Onta, Coto Gagak atau Nusantara atau Abdesir, Bakso Ati Raja, dan makan hidangan laut di restoran yang berada di seputaran Pantai Losari. Atau kalau yang takut kolesterol dan tegang leher, bisa coba makan cantik kue-kue Makassar di Mama Toko Kue atau makan pisang ijo di Rumah Makan Sentosa. Untuk yang mau makan olahan pallu, paling tidak jauh-jauh dari Warung Pallumara Kepala Ikan di Mappanyukki. Atau Kapurung Kasuari tawwa juga. Eh, jangan lupa Songkolo Timbang Antang, sodara-sodara

Nyaris tiap ada teman dari luar Pulau Sulawesi yang ke Makassar, pasti satu dari sekian tempat makan yang ingin dikunjungi adalah salah satu dari yang di atas itu. Daftar itu tentu disusun dari referensi temannya yang pernah ke sini, atau temannya yang tinggal di di sini. Ada semacam arbitre yang tanpa sadar dilanggengkan bersama bahwa “sesungguhnya tidaklah sah seorang pelancong ke Makassar tanpa makan pallubasa serigala atau coto kuah putih abdesir”.  Padahal, ih tidaknya ji

Palbas serigala misalnya, yang belakangan ini agak sering saya kunjungi, karena menemani teman-teman yang datang ke sini, saya menyaksikan tempat makan dengan meja kayu panjang dan pegawai berpakaian kayak seragam pengurus lembaga mahasiswa ini selalu lebih ramai oleh rombongan turis. Selalu ada lidah-lidah lama atau baru yang mampu membayar harga cukup mahal untuk mencicipi pallubasa yang katanya wajib kunjung itu. 

Padahal kalau untuk kantong warga kelas menengah dan bawah di kota ini, harga palbas serigala cukup tinggi. Jadi karena kepopulerannya yang didatangi oleh orang-orang baru setiap harinya, wajar kalau harganya jadi harga turis juga. Meskipun kata banyak rekan, masih banyak pallubasa lain yang tidak kalah tokcer rasanya. Tapi di sini, kita tidak usah perbandingkan rasanya, karena itu hal yang amat personal, tergantung keyakinan lidah masing-masing. 

Hal yang justru menjadi satu instrumen penting untuk mengalami Makassar dari kulinernya adalah makan di warung makan warga biasa. Warung makan yang tidak di dindingnya mungkin tidak ada foto sama presiden, artis sampai tentara yang pernah makan di situ, tapi barangkali melalui sebuah warung yang menuliskan: “Harga menyesuaikan ukuran ikan”. 

Warung itu bernama RM. Pallu Kaloa Ayuni Sotta di bilangan Lelong Paotere. Lokasi warungnya berada di sebelah kanan jalan, ketika kita hendak masuk ke Lelong. Dari tampilan fisiknya, warung milik nenek Ayuni ini berdinding hijau, dengan beberapa meja panjang dalam ruangan sekitar 4x4 meter. Di dindingnya ada televisi dan kipas angin. Dengan meja yang dilapisi karpet plastik berwarna krem coklat. Bagian dalamnya difungsikan sebagai dapur untuk memasak hidangan primadonanya: pallu kaloa. Sajian ini terangkai dari kata kerja, pallu yang berarti masakan dan kata benda, kaloa yang dikenal umum sebagai kluwek. Singkatnya, pallu kaloa adalah masakan yang menggunakan kluwek. Masih serumpun dengan pallumara, pallu kacci, dan saudara jauhnya pallu butung. 

Saya mengetahui warung ini dari unggahan teman yang kebetulan singgah makan di sini setelah membeli ikan di dalam lelong pada malam tahun baru 2021 lalu. Beberapa bulan setelahnya, pada suatu pagi yang cerah ketika jam menunjukkan pukul 08.00 WITA saya membelah tol Makassar menuju warung itu. 

Sesampainya di depan warung, saya dan seorang teman lainnya tidak tahu harus memesan menu dengan nama apa, karena tidak ada keterangannya, jadi saya hanya menyebutkan, ingin dua porsi pallu kaloa. Berselang beberapa menit, tibalah dua mangkok berisi masing-masing satu potong ikan berukuran tiga jari orang dewasa. Sepotong keping kepala ikan lamuru itu tergenang dalam kuah coklat keruh yang bertaburan ebi kering yang sekilas mirip bawang goreng. Ia didampingi oleh sepiring nasi hangat dan sekotak mini jeruk nipis yang siap dikucurkan ke dalam mangkok. 

Aroma ikan dan asam menyeruak, tatkala sendok mengaduk si kuah yang seketika menimbulkan riak. Ketika sesendok kuah mendarat di lidah, komponen yang membentuknya: kunyit, ebi, asam jawa, sereh, merica, garam dan sepertinya sejumput gula, terjamah. Muncul rasa yang mirip cinta pertama. Segar, lugu dan menggugah. Tidak perlu tambah kecap, sambal, bawang goreng atau apapun, bumbu kluwek dan ebi sebagai umami tuntas mengikat karakter rasanya. Dan karena saya menyukai sajian bercita rasa asam yang dominan, saya guyurkan lagi sepotong jeruk nipis ke dalamnya. 

Setelah terasa pas, mulailah pengalaman rasa yang menyemangati tubuh bangun lebih pagi itu berlangsung. Kami memindah-mindahkan sendok dari mangkok ayam ke sepiring nasi secara bergantian sampai seluruhnya tandas. Kuah keruh dan ikan berdaging lembut yang pasrah lepas dari tulangnya menjadikan semuanya terasa begitu cepat dan dilancarkan. Tak terasa kuah dalam mangkok ayam itu telah mengering dan tersedot masuk ke tenggorokan kami. Saya ingin pura-pura lupa sudah menghabiskan seporsi, guna bisa mengulang seporsi mirip cinta pertama itu kembali. Lagi dan lagi. 

Bukan cuma cinta pertama yang seketika relevan, sepiring pallu kaloa racikan RM Ayuni Sotta juga berhasil mengingatkan saya pada satu komponen penting yang sering dilupakan ketika menikmati suatu hidangan yang katanya khas dari sebuah kota: suasana. 

Suasana yang memberimu pengalaman menubuh dalam suatu ruang yang menyajikan fragmen kecil dari sebuah kota atau tempat. Misalnya makan pallu kaloa di warung yang di dalamnya mungkin sejak awal di desain untuk warga sekitar yang kenal satu sama lain. Kamu makan sambil ditatap oleh paggandeng (penjual ikan keliling), nelayan, pedagang ikan dalam pasar, mentok-mentok warga sekitar yang sedang makan atau nongkrong dengan neneknya Ayuni di depan warung. Jangan takut atau merasa khawatir, senyum saja. Mereka sepertinya hanya heran dan menebak dari mana asalmu karena baru makan di sana pertama kali. Tidak seperti pelanggan lain yang mungkin sudah makan di sini seperti makan di meja makan rumahnya sendiri, setiap hari.

Hal menarik lainnya dari makan di warung yang tidak punya standar pelayanan untuk pelanggan turis seperti RM Ayuni Sotta adalah, pelanggan harus melayani dirinya sendiri. Tidak ada cucian tangan, langsung saja ke wastafel. Tidak ada air kemasan, hanya ada air di cerek plastik motif bunga-bunga, jangan harap juga ada es teh! 

Satu yang pasti dari warung ini adalah harganya yang fluktuatif mengikuti harga ikan yang tersedia. Tapi jangan bandingkan harganya dengan pisang epe di panlos. Yang kalau kau makan bisa auto khawatir dan was-was sepanjang habiskan kita punya makanan karena takut harganya ditembak alias dinaikan semau penjualnya saja melihat dari tampilan fisik atau pakaian yang kita kenakan. Di warung Mamanya, Mama Ayuni, kita bisa menikmati sepiring ikan segar yang belum mati berkali-kali oleh es batu, disajikan dengan harga tidak lebih dari ongkos minimal ojek online saat ini. 

Info menarik dan barangkali penting jika ingin ke RM Pallu Kaloa Ayuni Sotta adalah kita bisa memesan sajian olahan laut yang kita beli sendiri di dalam lelong lalu kita minta Nenek Ayuni masakkan sesuai resepnya dia. Jadi kita sisa membayar bahan dan jasa masaknya. Ini bisa menjadi satu alternatif untuk kamu yang bosan, jenuh atau ingin menelusuri Makassar dari cita rasa yang tersaji di warung-warung langganan warganya, untuk mampir segera! Sebab di warung seperti inilah kita bisa menikmati cita rasa yang paling sehari-hari milik lidah warga biasa yang tak mampu ke warung yang sudah didominasi wisatawan. Atau sebutlah juga warung hidden gem yang tidak berhasil diliput oleh si paling foodstagram sekalipun. Untuk alamat lengkapnya, silakan temukan melalui deskripsi di atas. 

Wilda Yanti Salam, belajar dan bekerja di Tanahindie