Memorabilia Dekker, Praktik Waktu Senggang
“Sudah tua dan usam. Di sini tempatku tumbuh dewasa dan mengerti arti hidup pengangguran yang sering kali dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitar, yang pernah singgah atau duduk di sini pasti tahu tempat ini.”
Tulisan di atas merupakan caption (dengan ejaan sudah diperbaiki) di dinding Facebook Abd Kadir yang diposting pertama kali tahun 2012 silam dan selalu dibagikan ulang jika lini masa Facebook kembali mengingatkannya. Ia menyertakan ungkapan kenangannya itu dilengkapi foto pos ronda yang terletak di ujung jalan salah satu lorong di Desa Kabba, Kecamatan Minasatene, Pangkep.
P-TOT, begitu tulisan di dinding seng bekas di pos ronda. Tulisan menggunakan cat semprot itu sudah bertahan selama sebelas tahun dan baru dilepas kira-kira tahun 2015, ketika Sukri, seorang penjahit yang lokasi rumahnya sebelahan pagar dengan pos ronda, menambah bangunan lokasi usaha jahitannya. Ini versi saya yang disandarkan pada ingatan kalau Abbas, yang disapa Baddonk, abang saya, belum bekerja tahun 2004, yang menuliskan mural nama perkumpulan tersebut pada tahun itu.
P-TOT merupakan akronim dari Pengangguran Total, sebentuk ekspresi pengakuan generasi yang mengalami kegamangan di desa. Baddonk, sebagaimana generasi pemuda desa yang lain di awal 2000-an di Kabba, merupakan lulusan STM. Menyebut diri sebagai pengangguran disandarkan dari bekerjanya asumsi di batok kepala kalau mereka pernah melewati satu tahap proses rekayasa perubahan sosial yang diupayakan negara melalui sekolah formal tetapi hasilnya tidak sesuai yang diharapkan.
Usai menyelesaikan masa studi selama tiga tahun dan meraih secarik kertas yang disebut ijazah, justru tak juga menjadi tiket otomotis memasuki dunia kerja–sebagaimana yang menjadi pelecut semangat awal mula mendaftarkan nama di sekolah kejuruan. Meski beda generasi, hal serupa juga dialami Dekkeng, nama pergaulan yang dulu disandang Haji Awal. Termasuk Dotte, nama gaul yang disematkan di pundak Abd Kadir, Buddi (Sudirman), Bucek (Mulyadi), Tentarae (Haji Muammar), Kekkes (Iwan), dan tentu saja termasuk saya.
Mengingat pos ronda merupakan milik publik, tentu saja di waktu tertentu anak muda harus bergeser dan mencari titik tempat yang lain untuk berkumpul. Di seberang jalan pos ronda terdapat bengkel tambal ban milik warga bernama Ali, yang dimanfaatkan pula berkumpul di malam hari jika pos ronda dipakai sejumlah orang tua bermain kartu remi, yang saat itu aktivitas bermain kartu remi di kalangan orang tua intens dilakukan di malam hari. Di depan rumah Ali juga terdapat dekker yang menjadi tempat favorit. Dalam periode selanjutnya ketika beberapa anak muda mulai bekerja, dekker di depan rumah Ali itulah yang rutin ditempati anak muda menantang malam.
P-TOT itu sendiri sesungguhnya nama perkumpulan abang saya bersama teman jalannya yang kemudian dijadikan pula sebagai nama KPA (Kelompok Pecinta Alam) yang rutin mendaki gunung. Namun, karena adanya kegelisahan yang sama sebagai lulusan sekolah kejuruan yang menganggur dan ruang gerak terbatas di sepanjang lorong itu saja sehingga sejumlah anak muda menerima saja bingkai penamaan P-TOT sebagai bentuk kesamaan nasib. Pada dasarnya memang tiap anak muda sudah punya teman kumpul bersama masing-masing dan praktik serupa juga diperagakan kelompok anak muda yang lain di lorong berbeda meski masih satu desa. Penulisan mural P-TOT di dinding pos ronda bisa diartikan sebagai penanda ruang sosial.
Pos Ronda Desa Kabba, Pangkep (Foto: F Daus AR).
Pada satu periode tertentu, terutama tahun-tahun melewati masa pengangguran di desa, para pemuda terlibat dalam hubungan pergaulan di dekker. Saya belum menemukan etimologi kata ini. Namun, biasanya, dekker merujuk pada kata benda berupa tempat duduk terbuat dari susunan bata yang dipoles semen yang berada di kedua sisi jembatan atau di atas saluran irigasi. Kadang pula berada di depan pintu masuk rumah, persisnya di pintu pagar. Seiring waktu, makna dekker mengalami perluasan makna dan diartikan sebagai tempat meluangkan waktu di tempat khusus yang telah disepakati ruang berkumpul. Nah, di pos ronda itulah, anak-anak P-TOT mengisi waktu senggang dengan beragam aktivitas. Jika tidak bermain gitar, biasanya bermain kartu remi, menenggak minuman keras beramai-ramai, atau duduk-duduk saja sembari menggunjing pengendara yang melintas.
Waktu senggang pada mulanya bukanlah tanpa makna. Jika merujuk pada praktik waktu luang di masa lalu, masyarakat di Yunani kuno menyebut hal ini sebagai scholae, waktu yang dikhususkan untuk belajar hal ikhwal kehidupan. Roem Topatimasang dalam bukunya, Sekolah Itu Candu (Insist Press: 2002) mengisahkannya dengan cermat—yang kemudian menjadi cikal bakal kemunculan sekolah modern. “Waktu senggang dengan demikian adalah perayaan atas kehidupan. Atau dalam bahasa Pieper, the art of silent. Seni bersunyi yang akan membawa manusia pada perayaan kemanusiaan dengan permenungan,” tulis Muhammad Ridha melalui bukunya, Sosiologi Waktu Senggang: Eksploitasi dan Komodifikasi Perempuan di Mal (ResistBook-CaraBaca: 2012).
Rumah panggung masihlah pilihan utama warga hingga akhir medio 90-an. Meski demikian, di depan pintu masuk dibangun juga tempat duduk berbahan kayu atau bambu. Penyebutan tempat duduk itu tak bisa disebut dekker meski mengandung kesamaan fungsi sebagai tempat duduk bergumul di sore hari. Begitu pendapat yang diajukan Udin (47), warga Desa Kabba dalam satu waktu perbincangan lepas.
“Pengalaman saya pada dekade 90-an sering nongkrong di ujung lorong. Ada tempat duduk bersusun mirip tangga yang terbuat dari belahan bambu. Biasanya dibangun di atas selokan tepi jalan lalu diatapi mirip tribun stadion. Disebut dekker dari serapan dari kata deck dan er. Bisa juga decker yang berarti tempat duduk bersusun. ‘Er’ dalam bahasa Inggris biasanya imbuhan akhir yang menerangkan predikat orang,” kenang Juanto Avol, anggota Bawaslu Kabupaten Gowa, mengisahkan masa mudanya.
Muh Darwan (40), karyawan Hadji Kalla Cabang Maros, juga punya kisah serupa ketika masih pemuda tanggung di desa kelahirannya di Tonggoni, Kecamatan Pomala, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Saban hari dari pagi hingga petang dan lanjut sampai larut malam, ia bersama kawan sepantarannya meluangkan waktu di dekker di tepi jalan desa. Ia mengenang kalau masa-masa itu tak ada yang dapat dilakukan di desa selain meluangkan waktu di dekker bermain gitar.
“Bisa dibilang kalau saya pulang ke rumah hanya untuk mengganti baju dan makan, setelah itu kembali lagi ke dekker,” ujar Darwan. Berdiam di rumah bukanlah pilihan karena akan dimarahi berulang kedua orang tua untuk mencari pekerjaan. Bulan madu menjadi anak dekker berakhir di akhir tahun 90-an ketika ia memutuskan ke Makassar melanjutkan jenjang pendidikan di salah satu sekolah tinggi meski tidak selesai (ia menolak menyebutkan nama almamaternya).
Dekker di depan Rumah Ali, Desa Kabba, Pangkep (Foto: F Daus AR).
Pengalaman individual Darwan bisa dipacak sebagai pengalaman serupa di tempat yang berbeda. Hal itu saya alami bersama teman-teman di pos ronda atau di dekker depan rumah Ali. Teman datang dan pergi seiring waktu. Ini situasi alamiah saja yang sedang berlangsung. Jika ada teman sudah bekerja maka waktu luang ke dekker mulai berkurang dan tergantikan dengan teman baru yang ingin bergabung hingga melibatkan anak muda dari desa tetangga.
Abd Karim, kolumnis Klakson Tribun Timur, mengungkapkan ingatan masa mudanya di Polman, Sulawesi Barat. Menurut eks Direktur Eksekutif Yayasan Lapar Sulawesi ini menerangkan kalau dekker merupakan istilah popular rakyat bawah di era Orde Baru. “Dulu di zaman Orba, setiap dekker ditulisi Bandes/1981 menggunakan cat semprot,” ucapnya.
Lebih lanjut ia mengungkapkan arti kata decker itu bersusun, masuk ke dalam bahasa Inggris dari bahasa Jerman yang pertama kali dituturkan di Inggris pada abad pertengahan awal dan saat ini merupakan bahasa yang paling umum digunakan di seluruh dunia. Kursi mobil juga disebut double decker.
Syamsuddin (49), dari Lembaga Demokrasi Celebes (LDC) di Pangkep mengatakan kalau dekker merupakan pengucapan masyarakat di Sulawesi Selatan dari kata Belanda: duiker. “Jika tidak keliru dipacak dari nama orang Belanda di zaman penjajahan,” paparnya. Bentuk adaptasi fonetik lidah orang Sulawesi Selatan tersebut bisa menemukan relasinya jika disandingkan pelafalan kosa kata bahasa Belanda yang lain seperti apotheek menjadi ‘apotek’ atau asphalt menjadi ‘aspal’, tetapi belum pada tingkat keakuratan asal usul kata dari nama orang Belanda yang dimaksud. Sastrawan dari Barru, Badaruddin Amir mengajukan kelakar kalau penamaan dekker itu mungkin bersumber dari nama Douwes Dekker, yang dimaksudkan ialah Multatuli pengarang novel Max Havelaar.
Sampai di sini saya membangun asumsi kalau dekker itu mungkin memiliki kaitan erat dengan model pembangunan infrastruktur di zaman kolonial sebagai bentuk politik etik. Model pembangunan ini kemudian berlanjut hingga era Indonesia merdeka di bawah kepemimpinan Soekarno dan terus dilanjutkan di zaman Orde Baru. Namun, ini masihlah hipotesa. Berbekal asumsi inilah saya coba ajukan pertanyaan ke Nurhady Sirimorok, seorang peneliti, melalui obrolan di Instagram. Ia juga memiliki dugaan serupa kalau penyebutan dekker dari kata Belanda. Untuk mengecek lebih mendetail ia merekomendasikan melakukan telusur lebih lanjut ke ilmu teknik sipil. Hal ini sekaitan dengan asumsi awal bahwa apakah ada relasinya dengan model pembangunan infrastruktur di zaman kolonial.
Teknik sipil merupakan salah satu cabang ilmu teknik yang sudah ada sejak lama. Pada 1920 didirikan Technische Hoogeschool te Bandoeng di Bandung sebagai respons pemenuhan kebutuhan tenaga teknik. Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda MR. J.P. Graaf van Limburg Stirum hadir dalam deklarasi. Salah satu alumni angkatan pertamanya ialah Soekarno, presiden pertama Indonesia. Kelak, seiring waktu, sekolah ini kemudian berkembang dan berubah nama menjadi Institut Teknologi Bandung.
Sayang, upaya menemukan penyebutan atau istilah yang berkaitan dengan teknik konstruksi tersebut tidak saya jumpai, melalui sejumlah laman hasil pencarian di internet tidak membuahkan hasil.
Pak Syam, demikian sapaan Syamsuddin di kalangan CSO di Pangkep, mengirimkan tautan blog guna memperkuat pendapatnya tentang dekker yang berasal dari bahasa Belanda. Dituliskan dalam blog tersebut: “…dekker berasal dari kata duiker (bahasa Belanda: pembatas) yang merupakan istilah dalam sebuah proyek pengerjaan jembatan kecil…."
Dekker di pinggir lapangan Sepak Bola Desa Kabba, Pangkep (Foto: F Daus AR)
Dari segi bentuk, dekker memang serupa tempat duduk yang sengaja dibangun di kedua sisi plat cor di atas irigasi sehingga memungkinkan dijadikan tempat nongkrong anak muda di sore atau di malam hari. Konsep tempat duduk dekker ini kemudian banyak diadopsi untuk kepentingan publik. Pemerintah Desa Kabba sendiri mulai menerapkan pembangunan dekker mengelilingi lapangan sepak bola. Selain berfungsi sebagai tempat duduk menyaksikan pertandingan, juga dimaksudkan sebagai pembatas agar tidak ada lagi warga yang menjadikan lapangan menjadi tempat belajar menyetir mobil yang membuat permukaan lapangan rusak. Amiruddin (44), mengatakan kalau di malam hari dekker di lapangan itu dijadikan juga tempat stamplas (nongkrong) para muda-mudi.
Kini, pos ronda di ujung lorong itu tetap berdiri. Fungsinya tetap sama, menjadi ruang berkumpul para remaja desa di malam hari. Jika ada yang membedakan, itu terletak dari jejeran sepeda motor terparkir di tepi jalan. Mereka sigap bisa berpindah dari satu titik kumpul ke tempat lain bila ada ajakan lewat pesan WhatsApp. Sebuah kemewahan yang dulu tidak dimiliki generasi saya yang hanya berdiam hingga larut di pos ronda atau di dekker.
Kehadiran remaja ini di satu sisi dilihat sebagai komoditas oleh para pemilik ga’de (warung kelontong). Hamka Syamsuddin (47), misalnya, sengaja menyiapkan fasilitas balai bambu di depan warungnya agar remaja betah di sana. Juga ada meja pingpong yang bisa dipakai. Tujuannya tentu saja agar para remaja itu bisa membeli minuman kemasan melepas dahaga sehabis bermain. Siasat serupa juga diterapkan sejumlah pewarung kelontong, seperti menyediakan seduh minum kopi kemasan dan sebagainya.
Dotte, sekali waktu pernah pulang kampung pada 2020 lalu. Ia mengajak berkumpul lagi, ketika saya tawari meluangkan waktu di pos ronda atau di dekker depan rumahnya Ali, ia tertawa dan menampik. “Sudah bukan waktunya,” tulisnya lewat pesan WhatsApp. Akhirnya, kami mengajak kawan sepantaran di masa lalu bertemu di sebuah warkop dan membicarakan kembali pengalaman dan kisah meluangkan waktu di pos ronda atau di dekker.
Referensi:
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2020/07/03/sejarah-hari-ini-3-juli-1920-technische-hoogeschool-cikal-bakal-institut-teknologi-bandung, diakses pada 22 Januari 2021.
https://odhybahari.wordpress.com/2010/02/17/duiker-jadi-dekker/, diakses pada 4 Januari 2021.