Membincangkan Kota sebagai Hilir dan Panggung
Kecenderungan masyarakat kontemporer melihat halaman rumah sebagai bentuk alienasi dalam aktivitas sehari-hari, dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa saja (tidak begitu penting), sehingga membuka kemungkinan terjadinya proses kapitalisme—perubahan gaya hidup dengan mengubah halaman sebagai ruang komoditas yang dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan.
Awalnya, menurut peneliti budaya, Andi Faisal, halaman rumah merupakan ruang yang bersifat kultural dalam kehidupan sehari-hari, sebagai ruang untuk bertemu dengan orang lain dalam membicarakan hidup bersama, berbagi cerita, serta ruang bermain bagi anak-anak. Perubahan kemudian terjadi dari ruang kultural menjelma sebagai ruang komoditas. Halaman yang kemudian tergerus karena dorongan untuk ‘hidup’ (tidak melihat ruang sebagai sesuatu yang ideologis) memicu perkembangan kapitalisme.
“Perkembangan ruang (halaman) sejalan dengan perkembangan kapitalisme. Untuk melihat atau menginterogasi perkembangan kapitalisme, kita bisa lacak dari perkembangan ruang itu sendiri. Halaman yang perlahan-lahan tidak tampak lagi wujud aslinya menjadi ruang komoditas. Sebagai contoh kehadiran warung-warung kopi, kafe, dan sejenisnya yang tersebar di berbagai tempat telah mengubah fungsi halaman rumah yang awalnya bersifat kultural,” jelas Andi Faisal, yang sedang meneliti untuk disertasinya tentang Kajian Budaya di Universitas Indonesia.
Bagi Andi Faisal, ruang atau halaman rumah merupakan sesuatu yang tidak bebas nilai. Karena itu ruang menjadi suatu produk sosial yang berisi berbagai macam kepentingan atau muatan yang saling tumpang tindih di dalamnya, sehingga memungkinkan terjadinya suatu proses dominasi atau sebaliknya sebagai proses resistensi dan negosiasi.
Secara teoretik, dengan mengutip Production of Space karya Henri Levebre, Andi Faisal mengatakan bahwa ruang sebagai produk—diproduksi sebagai alat berpikir, bertindak, mengontrol, sekaligus alat untuk mendominasi atau melegitimasi kekuasaan. “Semisal, elite-elite politik memanfaatkan warung-warung kopi sebagai ruang untuk memproduksi atau mereproduksi kepentingan-kepentinganya,” ungkap dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin ini.
Andi Faisal membincangkan secara teoretik hubungan ruang atau halaman dengan perkembangan kapitalisme itu saat memantik diskusi seri III buku Halaman Rumah / Yard (Tanahindie Press, Oktober 2017) atas kerja sama Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin – Forum kajian Ilmu Ilmu Budaya – Jurnal Lensa Budaya – Komunitas Lingkar - Tanahindie - Stichting Doen – Arts Collaboratory di Ruang Dosen FIB Universitas Hasanuddin. Pada kesempatan ini, hadir juga Anwar ‘Jimpe’ Rachman (Tanahindie) dan Dias Pradadimara (dosen Jurusan Sejarah Unhas) yang berperan sebagai moderator, serta sejumlah dosen dan mahasiswa dari berbagai kampus di Makassar.
Diskusi ini menjadi acara pertama dari rangkaian bincang kajian kebudayaan yang digelar oleh Forum Kajian Ilmu-ilmu Budaya yang akan diselenggarakan rutin setiap bulan untuk sivitas akademika Ilmu Budaya maupun kalangan pecinta ilmu pengetahuan.
“Berawal dari keresahan para dosen dengan iklim akademik; kuliah, mengajar, dan hal administratif lainnya kemudian melahirkan gagasan untuk mengadakan diskusi buku dengan tema kajian-kajian budaya,” jelas Pak Andi Akhmar, Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Budaya Unhas, saat membuka diskusi.
Dias Pradadimara dalam kesempatannya memaparkan bahwa semakin besarnya tuntutan akan tanah, semakin banyaknya keturunan yang harus diberi rumah maka pekarangan atau halaman segera dikavling-kavling untuk mendirikan rumah, akibatnya pekarangan hilang, halaman rumah hilang.
Padahal, jelas Pak Dias, pekarangan atau halaman merupakan ruang bagi anak laki-laki untuk tumbuh dan bermain di halaman rumah. “Ketika halaman rumah sebagai arena bermain bagi anak laki-laki telah hilang, maka mereka akan ‘tumpah’ ke jalanan atau di ruang publik untuk mencari bentuk yang lain, kemudian menjadi sekumpulan anak muda ‘yang tidak jelas’, biasanya kita beri label begal atau sejenisnya.”
Hal lain misalnya, kata Pak Dias, bahwa orang-orang di Makassar seperti ‘bermusuhan’ dengan pekarangan atau halamannya. Katakanlah ketika mendapat sedikit rezeki, yang ‘dibabat’ duluan adalah halamannya. “Misalnya, pohon yang tumbuh di halaman kemudian ditebang dan tanahnya disemen sehingga halaman ini hilang diganti dengan garasi untuk tempat mobil atau produk komoditas lain.”
“Hilangnya halaman rumah sebagai realitas yang diterima dengan begitu cepat. Melalui diskusi buku Halaman Rumah / Yard menunjukkan begitu banyak kita kehilangan dari hilangnya halaman rumah, seperti hilangnya ruang sosial, kultural, bahkan ruang-ruang dengan fungsi yang beragam telah hilang tanpa kita sadari, sampai kita diingatkan dengan hadirnya buku Halaman Rumah / Yard,” ungkap lelaki langsing ini.
Pak Dias juga menambahkan, Halaman Rumah / Yard merupakan buku ketiga yang dijadikannya sebagai referensi dalam tugasnya sebagai dosen di Jurusan Sejarah Unhas. Sebelumnya buku Makassar Nol Kilometer (Ininnawa, 2005) dan Jurnalisme Plat Kuning (Tanahindie Press, Oktober 2014).
“Terbitnya buku Halaman Rumah / Yard saya manfaatkan sebagai sumber rujukan dalam beberapa mata kuliah untuk melihat lebih dekat kehidupan perkotaan dan mengenal wajah Makassar yang lain,” akunya.
Menurut Pak Dias, sebagian besar yang dipotret dalam ketiga buku terbitan Tanahindie dan Ininnawa ini merupakan potret dunia-dunia yang nyaris hilang. “Misalnya keberadaan pete-pete sekarang ini mulai berkurang. Di sisi lain, buku Halaman Rumah / Yard merupakan buku yang penting dengan menceritakan kampung-kampung di perkotaan yang akan berubah wajah beberapa tahun ke depan,” terangnya.
Pak Dias menuturkan, usai membaca Halaman Rumah / Yard, ia teringat dengan tulisan antropolog Saya Shiraishi berjudul “Silakan Masuk, Silakan Duduk”, yang memotret fenomena orang-orang yang awalnya berstatus sebagai orang ‘asing’ setelah diberi kode ‘silakan masuk, silakan duduk!’ maka statusnya berubah menjadi orang yang sudah dikenal. Dalam hal ini, paparnya, terjadi suatu proses transisi di halaman rumah dari space, ruang yang sifatnya netral menjadi place, penempatan secara sosial dalam posisi tertentu, dan ini terjadi di ruang antara yang privat dan publik, yaitu halaman rumah.
Pak Faisal memberi penegasan dalam pengertian secara luas bahwa halaman atau ruang yang bersifat publik kadang-kadang juga bersifat privat (ruang heterotopis) dalam konteks tertentu untuk mengaksesnya diperlukan ‘perlakuan-perlakuan khusus’. “Seperti halnya restoran atau tempat-tempat wisata sebagai ruang publik di waktu-waktu tertentu hanya dapat ‘diakses’ oleh orang-orang tertentu pula,” cetusnya.
Bicara tentang halaman rumah, Anwar Jimpe Rachman dalam gilirannya menambahkan, halaman rumah telah menjadi sebuah simbol kemewahan tersendiri, hanya berperan sebagai fungsi sosial atau fungsi kepemilikan, tidak difungsikan sebagai ruang ekologis.
“Misalnya ketika pejabat-pejabat berdesakan membuat kebijakan untuk membangun dengan cara menimbun rawa-rawa (baca: perairan), dilakukan dengan cara pandang ‘orang darat’, yang tidak sadar bahwa rawa-rawa ini berdampak ketika ditimbun. Pola dari sudut pandang ini kelihatannya bagi kami ada hubungannya dari rumah sebagai arena berpraktik. Ketika cara berpraktik tidak beres di rumah maka ‘tumpahnya’ ke hal-hal yang lebih besar di kota,” lanjutnya.
“Maka dari hal ini, kami menyadari bahwa rumah atau halaman rumah merupakan hulu dari segala macam persoalan kota yang muncul, sedangkan kota adalah hilirnya. Dalam artian kota merupakan sebuah panggung tempat menampilkan persoalan yang ada di rumah,” terang Kak Jimpe.
Kak Jimpe dalam diskusi ini kemudian menyampaikan keheranannya, ketika pemerintah membangun taman di kota menjadi sangat formal. “Kita dilarang menginjakkan kaki di rumput, padahal taman atau halaman sebagai representasi miniatur alam semesta, mestinya kita nikmati bersama tanpa ada larangan untuk berpijak di atas rumput,” cetusnya.
Seorang dosen Fakultas Ilmu Budaya Unhas, Pak Bahar A. Teng, yang menjadi salah satu peserta diskusi kemudian menambahkan bahwa orang-orang dulunya, katakanlah seorang pengusaha atau diplomat, memanfaatkan pekarangan atau halaman sebagai ruang untuk menghilangkan stres. Akan tetapi fungsi halaman sebagai penghilang stres itu sudah hilang.
Menurut Pak Faisal, semakin lama ruang-ruang ini menjadi semakin abstrak oleh para pemegang kekuasaan, pemerintah, bahkan arsitek karena ruang masih dilihat dalam bentuk komoditas atau untuk dikonsumsi, seperti halnya di Tana Toraja, fungsi ruang sudah mengarah sebagai ruang pertunjukan untuk dikonsumsi. Dari sini kemudian pentingnya untuk merebut ruang itu kembali dengan tindakan seperti praktik-praktik graffiti atau menjadikan halaman rumah sebagai basis gerakan dengan mendirikan komunitas.
Terbitnya buku Halaman Rumah / Yard, tambah Andi Faisal, dapat memberikan sumbangsih penting bagi para pengambil kebijakan dalam merespon perkembangan-perkembangan kota, khususnya Kota makassar.
“Dari halaman rumah bisa kita lihat bahwa ada ruang-ruang yang sebenaranya dapat menjadi ruang alternatif dalam kehidupan kita, ketika ruang-ruang publik kita semakin lama semakin ‘kejam’ maka kita kembali saja ke halaman rumah,” sambungnya.
Namun, suatu hal yang penting dalam konteks masa kini, menurut Andi Faisal, adalah ruang sebagai sebuah produk, sesuatu yang hidup, subjektif, bahkan sesuatu yang ideologis. “Maka dari itu, ruang halaman sebagai basis gerakan dalam memperjuangkan berbagai macam belenggu yang membebaskan kita dari berbagai macam yang sifatnya material maupun politis,” tutupnya.
:: Rafsanjani, belajar dan bekerja di Tanahindie.