Melampaui Partisipasi

Makassarnolkm.id

 

Di desa saya, Kabba, Minasatene, Pangkep, ada daerah persawahan warga yang selalu direndam banjir. Kejadian itu berulang yang, kira-kira, dalam petak ingatan saya sudah berlangsung sejak 30 tahun. Jika meminjam ingatan warga desa yang lebih tua, jangkanya bisa lebih jauh ke belakang.

Wilayah itu dibelah jalan poros beraspal yang dulu menjadi jalur transportasi armada perusahaan Semen Tonasa ketika pabrik masih beroperasi di Kelurahan Tonasa (kini lokasi pabrik pindah di Desa Biringere, Bungoro). Berdasarkan keterangan warga, jalan itu memang dibangun oleh perusahaan dengan melakukan pembebasan lahan yang dibangun bertahap pada dekade 1960. Guna memudahkan pembacaan lokasi, lokus persawahan tadah hujan itu berada di sisi utara dan selatan jalan. Meski di bagian utara membentang saluran irigasi dan di sebelah selatan terdapat anak sungai.

Banjir berulang itu justru terjadi ketika petani sudah menanami sawahnya. Debit air melimpah akibat hujan berangsur mengubah persawahan layaknya lautan tanpa tepi. Apakah petani mengeluhkan kejadian itu. Ya, tentu saja. Namun, keluhan itu tak juga membuat petani mengubah atau menggeser jadwal tanam. Padahal, siklusnya sudah diakrabi. Pada pekan akhir Desember, biasanya menjelang Natal dan Tahun Baru, curah hujan tinggi. Hujan bisa berlangsung selama satu minggu tanpa henti. Pada waktu seperti itulah peristiwa banjir terjadi, di mana dua atau sepekan sebelumnya petani sudah menyelesaikan tanam padi.

Apakah para petani tidak pernah membicarakan hal tersebut? Tentu saja pernah. Pembicaraannya lebih banyak jadi pembicaraan selingan saja. Pemetaan masalah hingga solusi sudah diketahui. Petani menghendaki adanya irigasi yang membelah area persawahan di bagian selatan karena menganggap air mengalir dari seberang jalan di sisi utara. Aliran air kemudian tidak tertampung di anak sungai yang akhirnya meluber ke persawahan. Begitulah siklusnya dan terus berlangsung hingga sekarang, bahkan ketika saluran irigasi yang diinginkan petani sudah ada, dikeruk alat berat di satu musim kemarau.

Penggambaran di atas sesungguhnya, menurut saya, bukan pada posisi terjadinya konflik perebutan air. Malah sebaliknya, air menjadi polusi ketika terus datang dan tidak dibutuhkan. Tentu saja, mekanisme yang tidak berjalan terletak pada tata kelola air. Seingat saya tidak pernah berlangsung rembuk petani membicarakan solusi. Kehadiran alat berat yang mengeruk irigasi hanyalah tatapan solusi sepihak dari pemerintah desa yang memiliki koneksi pengusaha tambang yang memiliki alat berat.

Saya tidak akan melanjutkan petak situasi di desa saya di atas karena membutuhkan ruang dan perspektif lain menguraikannya lebih lanjut. Cuilan peristiwanya yang saya gunakan sebagai pengantar singkat sebagai bekal menunjukkan adanya persamaan gejala yang kerap dihadapi kelompok masyarakat di pedesaan terkait tata kelola air. Sedikit banyaknya melalui kasus yang disajikan saya temukan pendekatan yang bisa diterapkan.

Metode penyelesaian konflik tata kelola air yang menyandarkan pada dialog dikupas mendalam di buku Pengelolaan Daerah Aliran Sungai-Sebuah Pendekatan Negosiasi, yang merupakan struktur narasi dari laporan Both ENDS dan Gomukh kaitannya dengan proses program yang telah dilakukan lembaga mitra.

Konsep umum tata kelola air dalam masyarakat strukturalis yang dimulai pada permulaan abad 20 telah mengalami fase berulang dan melahirkan krisis air berujung konflik. Secara rinci studi kasus seperti perebutan ruang pembangunan bendungan, misalnya, menunjukkan kalau pendekatan tekno ekonomi yang terus diupayakan hingga paruh akhir abad ke-20 telah melengserkan penduduk dengan habitatnya di sejumlah wilayah dunia. Tekno ekonomi merupakan peta dasar yang menjadi semangat pemerintah dan menggerakkan insinyur merancang model penampungan air yang akrab disebut bendungan atau waduk.

Metode tekno ekonomi ini memang menjawab kebutuhan air warga dunia ketiga mengingat landasan proyeksinya menyandarkan pada semakin meningkatnya jumlah penduduk di masa akan datang. Itu kisah baiknya. Kisah sebaliknya dalam jangka panjang dalam laporan penelitian menunjukkan kerugian lingkungan dan manusia. Salah satunya relokasi warga ke tempat yang baru dan merelakan lahan berupa area persawahan atau kebun terendam selamanya di dasar waduk.

Selanjutnya dikembangkan konsep pengelolaan daerah air sungai secara terpadu: IRBM (Integrated River Basin Management). Metode ini mengintegrasikan kinerja lintas-pemangku kepentingan yang mencakup pemerintahan, akademisi, swasta, dan petani. Hanya saja, cara ini mengacu pada siklus kekuatan pengaruh yang bermain. Tentulah pihak pemerintah berada di posisi paling kuat. Kontrol dari atas (top-down) kembali mengingatkan pada konsep tekno ekonomi.

Bentuk baru dari IRBM yang konvensional ialah mengedepankan negosiasi sebagai pengakuan atas pengetahuan budaya yang telah berkelindan dalam kehidupan warga yang mendiami wilayah sumber air. Upaya ini sekaligus memotong hierarki kontrol dalam siklus top-down agar menjadi bottom-up.

Pada 2003 di Kyoto, Jepang. World Water Actions memulai langkah pendokumentasian lebih dari 3000 prakarsa tata kelola air untuk Forum Air Dunia Ketiga. Hanya saja, hasil kerja dari proses yang telah dikumpulkan itu masih dianggap kerja terpisah dan diragukan bisa menjadi model baru yang bisa diterapkan di sejumlah wilayah.

 

Studi Negosiasi

Secara rinci, buku ini mengupas lebih lanjut prakarsa di tujuh DAS di tiga benua seperti Amerika yang diwakili Peru dan Bolivia; studi di Asia menempatkan Thailand, Vietnam-Kamboja, Bangladesh, dan India; sedangkan di Afrika ada Afrika Selatan.

Ketujuh wilayah DAS yang menjadi ulasan tentang bagaimana negosiasi menjadi nyawa pengelolaan air sebenarnya memiliki kompleksitasnya masing-masing, mulai dari situasi sosial-politik, kultur, dan metode pertanian. Keberagaman tersebut menemukan tujuan bersama dalam memandang bahwa di manapun DAS itu berada. Sekompleks bagaimanapun situasi yang melingkari tetap saja ada tujuan bersama untuk keberlanjutan dan pemanfaatan sumber daya air secara adil. Kata kuncinya menjaga keberlangsungan ekosistem DAS. Sentuhan proyeksi hanya dimungkinkan terjadi bila proses penataan air tidak membuat hasil jangka pendek.

Cotahuasi, Peru yang berada diketinggian 2.600 meter di atas permukaan air laut, di dalam jurang-jurang yang dalam terdapat DAS Ocona. Secara berangsur usai gejolak sosial politik di dekade 1980 yang membawa masyarakat terjerembab dan diliput kemiskinan dan buta huruf. Lokasi yang terpencil menjadi dalih sulitnya sentuhan negara. Prakarsa untuk bangkit dilakukan swadaya masyarakat dengan bertumpu pada pengetahuan budaya dalam meningkatkan hasil pertanian seperti jagung, gandum, dan jenis kacang-kacangan.

Tantangan di pelupuk mata merujuk pada perbedaan kelas dan suku yang berdampak pada akses air. AEDES, organisasi relawan yang bekerja di wilayah ini, mengenalkan konsep negosiasi yang disebut mesas. Hasilnya lahir proposal bersama berisi kesepakatan dan larangan. Pada 18 Mei 2015 pemerintah Peru mendeklarasikan anak DAS Cotahuasi di pegunungan Andes sebagai Tanah Cadangan yang dilindungi.

Ringkasnya, ada kombinasi kerja lembaga sosial, pemerintah, dan penghormatan atas pengetahuan budaya masyarakat. Hal demikian ditempuh pula oleh ASIRITIC (Associacion de Sistemas de Riego de Tiqui payay Colcapirhua) di lembah Cochabamba di Bolivia. Lalu ada SSPN (Se San Protection Network) yang membantu masyarakat di perbatasan timur laut Kamboja dengan Bendungan Yali di Vietnam. Pembangunan bendungan di Sungai Se San yang merupakan anak Sungai Mekong, Vietnam berlangsung pada 1993 dan baru diketahui oleh tetangganya, para nelayan tradisional di Kamboja pada tahun 2000 melalui serangkaian banjir yang tidak biasa dan berkurangnya tangkapan ikan. Situasinya tentulah lebih kompleks karena melibatkan dua wilayah negara berdaulat.

SSPN tidak sendiri, dalam prosesnya membangun kerja jaringan dengan AMRC (Australian  Mekong Research Centre). Hingga laporan dalam buku ini disajikan SSPN dan AMRC masih menunggu pengakuan agar dapat membangun perundingan dengan Komisi Nasional Sungai Mekong.

Di Thailand Utara, tepatnya di Provinsi Nan, dampak buruk dari pengelolaan DAS oleh pemerintah menjadi acuan NCSCC (Nan Civil Society Co-ordination Centre) dalam melakukan penelitian yang dilakukan menunjukkan benih perpecahan. Hasil kompensai dari pembangunan bendungan yang menguntungkan bagi pemilik lahan kemudian menukar lahan mereka kepada mereka yang dirugikan. NCSCC menilai, cara itu justru dapat memicu konflik antara yang mayoritas dengan minoritas. Jika harus memilih, tidak ada warga yang menghendaki lahannya jadi tumbal bendungan, meski mendapat kompensasi tinggi karena setelahnya warga yang mendiami wilayah tersebut akan mencari lahan penghidupan baru di tempat lain. Beberapa lembaga masyarakat membangun kerja sama dengan NCSCC untuk mendorong penggunaan teknologi pengelolaan air tepat guna yang didasarkan pada cara tradisi yang telah dilakukan lapisan generasi.

DAS Bima di India bukti lain dari tidak bergunanya waduk sebagai pusat kontrol air untuk menjangkau kebutuhan masyarakat secara merata. Sungai Bima merupakan anak sungai Krisna yang melintasi dua negara bagian. Wujud tidak meratanya alokasi air dari waduk lebih besar ke ladang tebu sepanjang tahun ketimbang mengaliri ratusan desa di musim kemarau. Di India, sungai lebih daripada aliran air. Sungai, oleh warga Hindu India adalah simbol kesucian. Gomukh membaca itu dan mendukung praktik warga tradisi warga memelihara ceruk sungai tertentu di daerah lembah Kolwan.

Di Afrika Selatan kita melihat kerangka berbeda yang dijalankan pemerintah. Pengelolaan sumber air dari Sungai Sand untuk penduduk desa yang dulu menjadi wahana koloni penduduk kulit hitam di rezim apartheid seiring waktu berubah menjadi bencana ekologis. Kepadatan penduduk dan tidak terkontrolnya pembukaan lahan untuk perkebunan yang mengubah lanskap hutan alam telah merusak eksositem sungai.

Di sini kita melihat kebalikan peran pemerintah. Pendekatan top-down malah menjadi jembatan mengembalikan fungsi air sungai untuk kepentingan bersama. Namun, perlu diingat, sentuhan dari atas itu bukan berupa pembangunan DAS yang dikelola terpusat oleh departemen pemerintah. Kebijakannya terletak melalui regulasi yang mendukung kerja partisapatif sehingga terjadi desentralisasi pengelolaan air.

AWARD (Association for Water and Rural Develepment) yang mendapat dukungan dari lembaga pemerintah, DWAF (Departemens of Water Affairs and Forestry) dan DALA, Departemen Pertanian menjadi pionir dalam mengonsolidasikan tata kelola air. Kini, model yang dikembangkan disebut Spiral berupa metode pembelajaran reflektif yang menyesuaikan dengan konteks politik telah menjadi rujukan utama untuk kelola terpadu DAS di Afrika Selatan.

Studi negosiasi terakhir berada di Khulna-Jessore, Bangladesh. Wilayah ini subur dengan kepadatan penduduk berprofesi petani, perikanan, dan tambak udang. Dalam sejarahnya, pada medio 1960-an ada upaya rekayasa kontur alam dengan membangun sungai buatan berukuran kecil dan bantaran. Sirkulasi sungai-sungai itu saling terhubung sebagai antisipasi masuknya air laut. Lambat laun, endapan yang dibawa air tidak dapat masuk dalam tanggul dan perlahan menyumbat sungai-sungai. Jelas itu sebagai ancaman kehidupan warga dan lahan garapan.

Dampak buruk dari pendekatan konvensional yang sudah di depan mata itu direspons kembali dengan pendekatan konvensional yang lain. Kini lebih canggih dengan memasang regulator raksasa guna membendung air pasang dan diharapkan pula mengurangi endapan di dasar sungai. Hasilnya menakjubkan karena dapat mengatasi langganan banjir. Tetapi, sekali lagi, dalam perjalanannya, kehadiran regulator tersebut menjumpai kelemahan akibat minimnya perawatan. Di sisi lain, terjadi konflik antar stakeholder tentang siapa yang harus bertanggung jawab. Lagi-lagi menunjukkan kelemahan sistem pengelolaan yang berpusat dan menempatkan penerima manfaat sebagai subyek pasif.

 

Setelah Partisipasi

Sejumlah lembaga yang bekerja di balik prakarsa tata kelola air menempatkan warga di posisi setara yang bukan dalam situasi partisipasi semata. Sebaliknya kerja lembaga bersama masyarakat menantang pengertian partisipasi itu sendiri. Partisipasi tetaplah bagian metode dari tekno ekonomi.

Sederhananya begini, pembangunan dalam konsep pemerintah selalu bertumpu pada kepentingan oligarki tentang siapa yang akan memperoleh untung dari pelaksanaan sebuah proyek. Ambil contoh, misalnya, pembangunan bendungan yang menjadi saluran air terpusat yang mudah dikontrol. Di awal sebelum pembangunan katakanlah telah dilakukan studi dampak lingkungan, di Indonesia akrab disebut AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang melibatkan warga dalam prosesnya. Bukankan itu sebentuk partisipasi juga sebagaimana bila ada warga melakukan petisi menolak pembangunan bendungan di wilayah pemukiman mereka.

Partisipasi tak pernah dilihat mengandung kelemahan. Slogan seperti pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat menjadi hijab yang menutupi beragam kemungkinan yang bisa dilihat bersama di balik muatan pembangunan. Tentu sulit dimungkiri jika skema dalam sebuah proyek pembangunan mengandung kepentingan berbeda yang bisa menyasar di internal stakeholder pemerintahan itu sendiri.

Temuan dari penelitian kembali menunjukkan kisah klise betapa biaya proyek pembangunan sering mengalami pembebanan anggaran ke pemerintah daerah. Bila situasi demikian sudah terjadi maka mata rantai partisipasi yang dibangun sejak mula sudah terputus. Asumsinya ialah: bagaimana jika pemerintah daerah kekurangan anggaran atau menganggap pembangunan tersebut bukanlah prioritas sehingga menyepelekan kelanjutan pembangunan.

Sebaliknya negosiasi menyiratkan keterbukaan sejak awal. Dalam kerangka ini semua pihak sudah selesai di awal sebelum menyepakati apakah dibutuhkan pembangunan seperti bendungan atau waduk dalam tata kelola air. Contoh yang telah disebutkan dalam studi di DAS Khulna-Jessore, Bangladesh, pada akhirnya mengembalikan tata kelola pada pengetahuan budaya masyarakat. Pada dasarnya teknologi tidak ditolak, tetapi jika itu tidak tepat guna apalagi menjauhkan jangkauan warga dalam praktik pengelolaan maka hasilnya bisa berulang.

Keuntungan lain dari negosiasi melihat konflik sebagai peluang terjadinya rembuk bersama guna menghasilkan kesepakatan yang berguna dalam proses kerja tata kelola air. Kasus di perbatasan Vietnam dan Kamboja menjadi keampuhan dari pendekatan negosiasi.

Namun, sesungguhnya, seperti apa wujud negosiasi itu. Bagaimana penerapannya. Apakah memiliki perangkat khusus baru melebihi kandungan PAR (Participatory Action Research) yang menjadi kerangka kerja banyak CSO? Secara eksplisit tidak dinarasikan mendetail dalam buku, mungkin karena buku ini lebih pada pendekatan kisah laporan dan bukan metodologi terapan.

Saya kembali teringat banjir berulang di akhir tahun di desa saya yang menimpa satu persawahan tadah hujan. Perluasan saluran irigasi yang dikeruk alat berat gagal menjadi solusi. Sependek yang saya ingat, petani yang memiliki lahan di wilayah itu tidak pernah terlibat dalam rembuk bersama. Bahkan, ketika masih berjalan program PNPM di era pemerintahan SBY, pengerukan dan pembangunan ulang jalur irigasi juga tidak menjadi solusi. Malah, justru ironis karena pembangunan irigasi dengan sentuhan semen itu dilakukan di bagian barat area persawahan yang menempati posisi tinggi.

_

Data Buku

Judul       : Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Sebuah Pendekatan Negosiasi

Penulis    : Tim Both ENDS dan Gomukh (Penyusun)

Penerbit   : Insist Press

Ukuran    : 13x19 cm

Halaman  : x+150 Hal

ISBN       : 979-3457-77-5

Cetakan   : Kedua, November 2008