Melacak Rupa-rupa Beppa dalam Irama Kecapi
Onde-onde labbu topa,
Pejja-pejja labbu topa,
Lana-lana labbu topa,
Putu pesse labbu topa,
Putu cangkuli labbu topa,
Suwelleng labbu topa,
Balaboddi labbu topa,
Toli-toli labbu topa,
Sanggara labbu topa,doko-doko labbu topa, eee… labbu maneng pa najaji….
Artinya:
(onde-onde juga dari tepung beras)
(pejja-pejja juga dari tepung beras)
(lana-lana juga dari tepung beras)
(putu pesse juga dari tepung beras)
(putu cangkuli juga dari tepung beras)
(suwelleng/suwella juga dari tepung beras)
(balaboddi juga dari tepung beras)
(toli-toli juga dari tepung beras)
(pisang goreng juga dari tepung beras)
(doko-doko juga dari tepung beras)
(eeee, semua hanya bisa terjadi jika ada tepung beras)
Penggalan lantunan dari Grup Kecapi Empat Sekawan di atas adalah satu, dari puluhan playlist keluarga saya sejak kecil. Melalui kaset bajakan yang dibeli dari pasar, dawai kecapi puluhan menit itu menjadikan suasana pagi yang sunyi jadi semarak.
Cuplikan Video Grup Kecapi Empat Sekawan (Sumber_ Akun Lodda Kecil di Youtube)
Saya begitu kagum, betapa kreatifnya sekelompok bapak-bapak berkumis dari wilayah Ajatappareng itu mengurai nama-nama beppa (kue), mengelompokkannya berdasarkan bahan dasar, membumbuinya dengan jokes-jokes lokal, lalu melantunkannya dengan penuh kejenakaan bermodalkan iringan alat petik dua senar bernama kecapi.
Lantunan puluhan menit itu terasa begitu dekat, karena sebagian kata dalam liriknya pernah saya makan, sebagian lagi nama-namanya terasa lucu. Ada penggalan “... Toli-toli, labbu topa, Gorontalo labbu topa…” yang menggabungkan Toli-toli sebagai nama kue yang terbuat dari tepung beras, gula merah dan taburan wijen dalam konteks ini, dan ingin menjebak pendengarnya yang kadung terbawa suasana dengan menyebut Gorontalo sebagai salah satu kue yang jelas-jelas adalah nama provinsi baru ketika itu. Mereka sempat-sempatnya menyembunyikan punchline ini dalam lantunan berimanya.
Kekaguman dan perasaan dekat dengan apa yang dibahas dalam penggalan lirik di atas barangkali memang sesuai dengan esensi dari pertunjukan kecapi. Ia adalah alat musik yang disebut R. Anderson Sutton, penulis buku Pakkuru Sumange sebagai ‘alat musik rakyat’ di Sulawesi Selatan. Jika Sinrilik acapkali disebut formal dan lebih politis, kecapi atau Kecapi (Bugis dan Mandar), Kacaping (Makassar) dan Katapi (Toraja) konon lebih informal dan penuh improvisasi. Lirik-liriknya berisi keseharian warga pedesaan dan juga sering berisi humor. Tidak heran kalau rupa-rupa beppa pun masuk jadi salah satu kontennya.
Melangkah ke beberapa hari lalu, saya kembali mendengarkan mereka via Youtube. Saya belum tahu pasti apa judulnya, mungkin juga memang tidak ada judulnya. Saya coba menuliskan Onde-onde Labbu Topa dan munculah aneka video rekaman serupa dengan judul video berbeda, dua di antaranya Onde-Onde dan Kecapi Bugis Modern 1. Kali ini, saya mendengarnya dengan tujuan untuk mengingat nama-nama beppa yang dulu sering saya nikmati ketika kecil dan kini sudah jarang saya temukan atau juga bahan dan rasanya sudah berubah.
Proses pembuatan putu Soppa S di salah di Rappang, Sulawesi Selatan (foto oleh Fitriani A Dalay)
Bagian yang menarik perhatian saya kemudian adalah penggalan lirik “...labbu maneng pa na jaji (semua hanya bisa dibikin jika ada tepung beras)” bagian ini menggugah ditelusuri. Mengapa labbu (tepung beras) yang menjadi bahan kunci dalam aneka beppa itu? Sejak kapan kiranya jennang di Bugis mulai memakai labbu sebagai bahan dasar untuk beppa-beppa-nya? Mari kita coba menjawab ini, melalui pelacakan wujud dasar labbu, yakni beras.
Beras adalah hasil dari tumbuhan padi yang punya konteks sejarah dan geografis yang melekat dengan kehidupan masyarakat di semenanjung Bugis. Konon, Ajatappareng, wilayah yang berada di sebelah barat Danau Tempe, yang secara historis meliputi lima kerajaan: Sidenreng, Suppa, Rappang, dan Sawitto dan Alitta, tumbuh dan berkembang dari surplus beras. Bahkan sampai sekarang Sidenreng dan Rappang dikenal sebagai lumbung beras di Sulawesi Selatan.
Kenyataan lain menyangkut lekatnya beras dengan kehidupan di Sulawesi Selatan tertuang dalam epos I Lagaligo. Dalam The Bugis karya monumental Pelras, ia menuliskan beberapa versi berkaitan dengan asal muasal padi. Salah satu versi yang paling banyak dikenal adalah tentang Sangiang Serri, si dewi padi. Ia adalah anak pertama Batara Guru, nama aslinya We Oddang Nriwu’. Konon, ia meninggal tidak lama setelah dilahirkan. Peristiwa ini dipercaya sebagai kematian pertama di muka bumi.
Persembahan Sang Dewi_ Karya Cukil Seniman Muhlis Lugis (Sumber foto Tim Artefact.id)
Beberapa hari setelah dimakamkan, saat Batara Guru mengunjungi makam anak pertamanya itu, di atas liangnya telah tumbuh rerumputan yang kemudian dikenal sebagai padi sekarang ini. Jenis padi itulah yang membulirkan beras yang dimakan oleh penghuni bumi saat itu hingga sekarang.
Entahlah apakah ketika itu, adik-adik Sangiang Serri Oddang Nriwu’ dan dayang-dayangnya sudah mulai mengolah beras menjadi beppa selain nanre (nasi) atau belum. Mungkinkah ketika Batara Lattuq (adek We Oddang Nriwu’) dan We Tenriabeng menikah, sudah ada bosara berisi balaboddi dan doko-doko utti? dan sudah ada juga kolombus (kelompok pembungkus kue-kue pulang) seperti pada pernikahan bugis kiwari? Masih jadi enigma.
Lantunan kecapi Empat Sekawan tidak hanya berhenti di rangkaian beppa yang digubah jadi labbu, tapi juga berlanjut ke otti, (pisang) berbunyi:
….
Burongko otti topa,
Bandang-bandang otti topa,
Sanggara otti topa,
Pala butung otti topa,
Pisang epe otti topa,
Pisang molen otti topa,
Tunu loka otti topa,
Loka panasa otti topa,
Loka batu otti topa, … Otti maneng pa na jaji…
Artinya:
(burongko juga pisang),
(bandang-bandang juga pisang),
(sanggara juga pisang),
(pala butung juga pisang),
(pisang epe juga pisang),
(pisang molen juga pisang),
(pisang bakar juga pisang),
(pisang raja juga pisang),
(pisang batu juga pisang),
(semua hanya bisa tersaji jika itu pisang).
Tidak jauh beda dengan labbu, mereka menyajikan bahwa begitu beragam hasil olahan kue yang dihasilkan dengan menggunakan bahan dasar otti/loka.
Lirik ini memberikan kepada kita gambaran bahwa jauh sebelum ada pisang goreng nugget bertabur green tea plus mozarella, masyarakat Bugis sudah mengolah otti jadi aneka panganan yang berupa-rupa namun tetap berbahan utama satu jua.
Salah satu yang paling populer dan harus jadi aset negeri adalah burongko. Pisang yang berpadu dengan gula dan telur dibungkus dengan daun pisang ini jadi contoh konkret don’t judge a food by it’s cover karena ia adalah tipe kue yang tidak pretend to be dengan tambahan pewarna buatan. Jika dilihat sekilas dari warnanya, ia memang tidak menjanjikan, tapi ketika sesendok burongko menyentuh lidahmu, rasa manis dan lembut bersatu padu bikin kau tidak kuasa berhenti menikmatinya, kecuali kau sadar kalau di kota ini sudah sulit cari daun pisang gratis yang sisa dijolo/dikadang karena semua harus dibeli.
Burungko, Sikaporo dan Palita (Foto oleh Aziziah Diah Aprlya)
Sebetulnya, menarik jauh ke belakang, otti memang tanaman asli Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, Sulawesi Selatan bersama Jawa Barat dan Jawa Timur adalah penghasil pisang terbesar. Kenyataan ini menambahkan kepada kita gambaran betapa otti punya posisi penting. Bahkan, keberlimpahannya bukan hanya habis terolah jadi kudapan, lebih dari itu, ada juga kelompok/komunitas masyarakat yang menjadikannya simbol yang mengikat kepercayaan mereka terhadap leluhur.
Cerekang, desa yang berada dekat dengan berbagai situs suci bekas Kerajaan Luwu ini salah satunya. Di sana, ada pantangan mengonsumsi loka manurung (pisang kepok). Ini berkaitan erat dengan kepercayaan orang Cerekang bahwa cikal bakal manusia pertama yang turun ke muka bumi/dunia tengah berkaitan erat dengan loka manurung.
Orang Cerekang yang saat ini tersebar ke berbagai wilayah, salah satunya di kampung saya yang berada di wilayah administrasi Luwu Timur percaya bahwa mereka tidak boleh makan pisang ini, nanti perutnya bengkak (mabusung) karena telah melanggar pantangan adatnya.
Labbu dan otti/loka adalah dua contoh yang menggambarkan betapa kaya khasanah kuliner masyarakat di Sulawesi Selatan. Itu baru dua, masih banyak penganan lain yang menarik untuk digeledah dan diceritakan. Meskipun tentu saja, pengetahuan atau resep olahan-olahan tersebut tidak otentik milik masyarakat Bugis saja, karena apa sih otentik itu? Jika semua bahan dan resep penganan di dunia tengah ini tidak ada yang benar-benar baru.
Meskipun saat ini, bahan dasar labbu sudah lebih sering diganti tepung terigu, gula merah diganti gula pasir, atau santan yang tergantikan bubuk krimer, saya merasa perlu berterima kasih kepada Grup Kecapi Empat Sekawan yang telah mengarsipkan nama-nama beppa yang pernah dan masih bisa saya jumpai di sekitar. Penganan yang mungkin kelak tertulis juga di belakang truk lintas kota dengan kalimat: Lupa rasanya, ingat namanya.
Referensi Lebih Lanjut:
-
Buku selengkapnya tulisan S. Anderson Sutton dalam Pakkuru Sumange:Musik, Tari dan Politik Kebudayaan di Sulawesi Selatan (2013)
-
Baca selengkapnya tulisan Christian Pelras, bagian Sangiang Serri, Dewi Padi Aneka Versi dalam Manusia Bugis (2021)
-
Baca selengkapnya tulisan Nurhady Sirimorok dalam Yang Hilang Ditelan Kuasa (2022)
-
Tonton selengkapnya lantutan Grup Kecapi Empat Sekawan dalam https://www.youtube.com/watch?v=775T_XEUjFM (diakses sepanjang Juni 2022)
-
Baca lebih lanjut dalam Sawerigading dari Nama Pangeran di La Galigo hingga Pagi oleh Louie Buana dalam https://lontaraproject.com/2021/04/14/sawerigading-dari-nama-pangeran-di-la-galigo-hingga-padi/ (diakses sepanjang Juni 2022)
-
Baca lebih lanjut dalam Es Pisang Ijo, Sesuap Sejarah Es Pisang Ijo dalam https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/es-pisang-ijo/ (diakses sepanjang Juni 2022)
-
Baca lebih lanjut penelitian berjudul Loka Manurung pada masyarakat Cerekang Di Desa Manurung Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur (Kajian Pamali Lokal) http://eprints.unm.ac.id/10138/ (diakses sepanjang Juni 2022)