Mau Jadi Apa Losari?
Pada 08 September 2012, perbincangan hangat berbagai kalangan berlangsung di Ruang Suki 52 Makassar Golden Hotel (MGH), Jalan Penghibur, Makassar. Berikut sari catatan pertama pertemuan itu, yang akan diturunkan Makassar Nol Kilometer secara berseri.
Pertemuan itu pertemuan yang istimewa. Will Ferial, penyiar senior Makassar, membagi ceritanya tentang Pantai Losari dari kurun waktu 60 tahun terakhir. Lelaki bernama-udara Opa yang lahir awal 1940-an ini menyaksikan banyak hal di sekitaran Losari. Ia memulai cerita dari lokasi Makassar Golden Hotel (MGH), tempat diskusi itu berlangsung.
MGH, kata Opa, awalnya tempat pelelangan ikan. Nelayan melaut pada malam hari dan kembali pukul 15:00-16:00 di musim tertentu.
“Menarik bagi anak seusia saya kalau kapal balolang berbondong-bondong masuk ke pantai. Kami songsong dan menawarkan jasa menurunkan ikan atau membersihkan perahu dengan diupah ikan,” kata Opa.
Ia menyebut bahwa merasa kehilangan kecintaan pada Makassar ketika pelelangan ikan berubah hotel. Pantai Losari dulu biasa-biasa saja. Jarang orang berjalan di sepanjang pantai, kecuali untuk kepentingan tertentu, seperti buang ‘hajat besar’ atau ‘hajat kecil’ dan menikmati sunset yang katanya terindah di dunia.
“Pimpinan kota melihat kebutuhan masyarakat akan buang hajat, maka di depan rumah walikota dibangun jembatan untuk kebutuhan khusus ini. Di depan RS Stella Maris juga ada anjungan besar dan kecil. Beberapa kali ada mobil tinja yang parkir di sana dan entah melakukan apa,” terang Opa, disambut tawa hadirin.
Tiga puluhan orang menghadiri diskusi Losari itu. Mereka dari berbagai kalangan semacam arsitek, akademikus, pekerja media elektronik, pekerja LSM, pemerhati lingkungan hidup, peneliti pesisir, mahasiswa, dan lainnya.
Pantai Losari pada dasawarsa 1950-1960 ditandai banyaknya orang memancing. Demikian juga dengan banyaknya bagang, sebutan untuk rumah bambu/kayu di tengah laut yang dipakai menangkap ikan. Di kawasan pantai, ketika kebutuhan warga Makassar akan pasar siang dan malam, maka muncullah Pasar Senggol di sepanjang Jalan Bau Massepe sampai rumah sakit. Para pedagang menempati pedestrian. Di sini kirinya belum semua bangunan permanen; masih tenda penjual makanan.
Dasawarsa berikut, 1960-1970, muncul klab malam di bagian kiri. Pasar Senggol pun harus pindah ke belakang Stadion Mattoanging, lantaran dianggap mengganggu. Begitu Senggol pindah, Pantai Losari dibenahi. Bermunculan pula pedagang kaki lima dan sempat diberi disebut ‘restoran terpanjang di dunia’.
Pada dekade 1980-1990, Walikota menganggap PK5 menganggu arus lalu lintas. Mereka (pada 2000an awal) dipindahkan ke Laguna Beach demi melancarkan lalu lintas. Bahkan kabarnya diadakan sayembara untuk menata Losari. Rancangan itulah yang dikerjakan sekarang.
“Losari itu dulu batasnya dari MGH sampai di Taman Safari. Di sebelahnya dulu gedung RRI, lalu dipindahkan. Pantai sebelah sana,” terang Opa, seraya menunjuk ke arah Fort Rotterdam, “sering dimuat di koran. Namanya Pantai Biring Kassi, depan benteng Rotterdam sampai ke Tugu Pahlawan. Kini dikenal sebagai Pantai Jambatang Polong,” sambungnya.
Kini kawasan itu berubah. Dias Pradadimara, dosen Jurusan Sejarah Universitas Hasanuddin, menyambung penjelasan Will ‘Opa’ Ferial, mengatakan, Losari kini berfungsi sebagai tempat pariwisata.
“Terjadi pergeseran fungsi. Ini merupakan ide modern. Turis banyak yang mengagumi indah sunset Losari. Tapi di malam hari, banyaknya orang yang datang justru membelakangi pantai. Jadi, agaknya, pantai hanya space (ruang) yang kebetulan terbuka. Pemandangan Losari justru diabaikan. Kemacetan terjadi. Orang-orang saling sapa dari atas kendaraan dan warga yang berpelesir menimbulkan kemacetan,” terang Pak Dias.
Pencetus ide pengembangan Losari sebagai titik pariwisata adalah Walikota Patompo. Ide modernisme itu, kata Dias, menjadikan Losari seperti Pantai Waikiki di Hawaii. Rencananya adalah seperti sekarang, penuh beton. Mengubah fungsi space.
“Losari hanya dilihat sebagai open space (ruang terbuka) yang siap dikavling-kavling menjadi gedung dan sebagainya. View tidak diperhitungkan. Ada pergeseran konsepsi pantai dari fungsional jadi resepsional,” kata Dias.
Dias mengatakan ini lantaran berdasarkan data peta tahun 1800-an, kawasan Losari sampai Jalan Bali merupakan permukiman nelayan, kemudian masuk ke periode tempat buang hajat, lalu menjadi tempat menikmati sunset di kurun waktu terakhir.
Dias dalam diskusi itu menyampaikan keheranannya atas pemindahan para pedagang Losari. “Mengapa mereka dipindahkan ke Laguna? Kita tahu, kalau yang ditawarkan ketika makan pisang epe adalah pemandangan lautnya. Tapi di Laguna, tanggul dibangun sampai yang dilihat bukan lagi pantai, tapi pasir. Saya merasa, penjual di Pantai Laguna dizalimi,” cetus Dias.
Memandang isu lingkungan hidup perlu menyeluruh dan pada banyak segi. Dampak buruk pembangunan tanpa memerhatikan segi lingkungan bisa merunyamkan banyak hal. Karena itu, Ketua Ikatan Sarjana Kelautan Unhas (ISLA) Kamaruddin Azis menyebut, memperhatikan Losari tidak semata di kawasan ‘Losari ke dalam’, tapi juga perlu melihat kesebelas pulau yang ada di sekitar Losari, mulai Barrang Caddi sampai Lanjukang.
“Salah satu yang bergeser pun adalah akses warga pulau. Pelabuhan kecil yang dulunya digunakan dari Losari, pindah ke Kayu Bangkoa. Dan dulu, di sekitar Popsa, banyak yang menambatkan perahu, sekarang sudah sedikit. Mungkin sekarang tersisa dua saja, Kayu Bangkoa dan Paotere. Saya pernah berkunjung ke TPI, luas tempat masuk jolloro hanya sekisar 10 meter saja. Perhatian kita mesti dilebarkan ke pulau-pulau beranda Makassar,” kata Kamaruddin.
Losari kerap menjadi lokasi riset kelautan. Menurut Kamaruddin, mahasiswa banyak mengidentifikasi seberapa melimpah/berkurang spesies kerang-kerangan, lamun, dan terumbu karang. Secara keseluruhan, kondisi kelautan sepanjang Losari sudah tidak sehat. Mestinya, kata Kamaruddin, kita merevitalisasi fungsi ekologi pantai, melakukan upaya diskursus ekosistem laut sekitar Losari.
“Pemerintah selalu bilang susah karena terumbu karang sudah tidak ada. Mungkin dengan disuki ini, saya menekankan upaya revitalisasi ekosistem laut sekitar Losari,” kata lelaki yang akrab dipanggil Daeng Nuntung ini.
Yulianti Tanyadji menyebut, diskusi ini berlangsung setelah melihat tiang pancang yang baru dipasang di Center Point of Indonesia (CPI) yang tersiar di Twitter dan mendapat tanggapan dari penghuni dunia microblogging itu.
Yulianti, yang berprofesi perencana kota ini menginformasikan bahwa pada tahun 2010, ia sempat membawa sejumlah mahasiswa Universitas Pelita Harapan (UPH) ke Makassar untuk studi lapangan tentang Pantai Losari. Mahasiswa itu menghitung secara kasar: luas CPI berkisar 1.000 hektar. “Luasan itu bisa kurang bisa lebih karena kita tidak tahu pasti batasnya sampai di mana,” kata Yuli.
Jika demikian, maka pertanyaan selanjutnya yang layak diajukan adalah bagaimana dampak perencanaan ini terhadap muka laut yang langsung bertemu dengan Losari? Dulunya ini laut yang langsung ke daerah dalam. Kondisi sekarang akan menjadi laguna (danau). Akankan kita masih memperoleh kualitas air yang sama seperti kita miliki sekarang?
“Kami masih optimis gambar (CPI) bukan gambar terakhir; jadi masih ada harapan. Laporan final rencana kota, menurut info, belum ketok palu. Namun dari gambar kita bisa lihat kawasan CPI sudah termasuk rencana tata ruang tahun 2030. Sesuatu yang sangat dekat. Ini yang perlu diperhatikan. Badan air yang tadinya cukup besar akan tertutup daratan. Perlu dibincangkan lebih berapa banyak dari kita yang tahu rencana ini,” begitu kata Yulianti.