Mahasiswa yang Mengawal Kasus Bara-Barayya
Tak mudah bagi kelompok mahasiswa yang terlibat dalam pengawalan warga Bara-Barayya yang terancam digusur. Mereka mesti melakukan sejumlah cara mengubah model pengawalan sebelumnya yang eksklusif nan hirarkis. Mereka mencari “pintu masuk” membuat gerakan baru dalam proses pengawalan.
Februari 2017, setelah surat edaran kedua dilayangkan pihak Kodam XIV Hasanuddin (dulunya Kodam VII Wirabuana) yang berisi rencana penertiban tanah okupasi yang dihuni sekitar 28 KK yang berada di luar lokasi Asrama TNI-AD Bara-Barayya, Kota Makassar, sekelompok mahasiswa berkumpul. Mereka adalah gabungan berbagai lintas kampus di Kota Makassar (UNIFA, UNIBOS, UNHAS, UNM, UIN Alauddin, dan UMI) juga jaringan dari organisasi luar kampus seperti FMN Makassar, FMK Makassar, dan lain-lain. Mereka membincangkan kemungkinan terlibat pengawalan kasus rencana penggusuran ini. Mereka datang ke posko warga untuk mencari tahu kronologi versi warga. Namun mereka terhadang rasa curiga warga.
Penyebab utamanya, menurut Shany, salah seorang mahasiswa yang ikut mengawal kasus ini,mengatakan bahwa sebenarnya berawal dari salah seorang mahasiswa yang lebih dulu terlibat pengawalan penggusuran Asrama TNI Bara-Barayya dan warga yang terancam digusur di luar lokasi asrama.Ia berusaha mengonstruksi warga untuk tidak terbuka dengan mahasiswa.
“Ketika kami meminta untuk diceritakan kronologi rencana penggusuran ini, warga tak mau menjelaskan kepada kami. Dari situ, teman-teman mulai merasa cemas dengan beranggapan bahwa ada oknum yang mendoktrinasi warga untuk tidak terbuka dengan mahasiswa,” jelas Andre, mahasiswa lain yang juga aktif mengawal kasus ini.
Berselang seminggu setelah kedatangan pertama sekelompok mahasiswa ini ke Bara-Barayya, mereka mengadakan pertemuan di acara bazar dengan mengundang seorang temannya, mahasiswa yang sudah lebih dulu terlibat mengawal kasus penggusuran Asrama-TNI yang kemudian merembes hingga ke wilayah luar asrama. Mahasiswa itu menceritakan soal pengawalan yang dilakukan cenderung eksklusif (beberapa informasi perkembangan kasus ditutupi), yang dipimpin oleh seorang mahasiswa yang merupakan temannya.
Berangkat dari itu, karena sebagian besar kelompok mahasiswa sudah merasa cemas setelah mendengar cerita mahasiswa tersebuttentangmodel pengawalan yang didominasi oleh satu orang saja,mereka kemudian mengatur siasat untuk masuk “ke dalam” secara perlahan dengan berupaya mengubah model pengawalan sebelumnya.
Dalam proses pengambilan keputusan, model pengawalan sebelumnya didominasi oleh satu orang saja.Suara mayoritas (tidak melibatkan sebagian besar anggota mahasiswa) tidak diberlakukan dalam forum rapat. Hal ini yang ingin diubah. Mereka mulai mengatur siasat dengan mengobrolkannya secara bersama. Bergaul dengan pemuda setempat adalah langkah pertama yang ditempuh sebagai pintu masuk.
Menurut Shany, pengawalan sebelumnya dilakukan kebanyakan hanya aksi demonstrasi, tidak memanfaatkan media sosial sebagai media pergerakan berbagi informasi untuk menggalang dukungan publik. “Hal lain, misalnya soal kronologi dalam kasus ini awalnya tidak dibuat dan beberapa informasi dirahasiakan dan tidak bisa diakses. Kemarin itu, posisinya teman-teman dibatasi ruangnya untuk bergaul, dalam rapat hanya mengizinkan satu perwakilan dari mahasiswa. Jadi rapat dilakukan secara terpisah, mahasiswa rapat sendiri begitu pun dengan Tim Dua Satu hanya diwakili satu orang dari mahasiswa,” jelas Shany.
Aksi boikot untuk tidak ke posko untuk sementara waktu sempat mereka lakukan. Hal ini menurut Andre mengatakan, “Melihat kondisi teman-teman waktu itu, kami sempat merasa mau cabut, karena apa pun yang kami lakukan itu dianggap jelek sama Tim Dua Satu,” ungkapnya. Namun, obrolan soal langkah-langkah yang akan dilakukan selanjutnya mereka bicarakan bersama di suatu kampus.
Tim Dua Satu (21)
Ada istilah Tim Dua Satu, yang dibentuk oleh warga atas usulan salah seorang mahasiswa yang dikenal sebagai si Jenderal Lapangan. Tim ini terbentuk setelah Asrama TNIBara-Barayya dieksekusi yang kemudian kasusnya merembes hingga ke luar lokasi asrama, yang membuat 28 KK terancam tergusur.
Terbentuknya Tim Dua Satu menjadi tantangan tersendiri buat sebagian besar kelompok mahasiswa. Tim membuat semacam ruang eksklusif, tidak terbuka, di mana orang-orang yang “tidak berkepentingan” tidak dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Kata Shany, tantangannya adalah bagaimana menyatukan warga soal perspektif, tidak memakai tim lagi dalam membicarakan masalah dan hak hidup bersama. “Perjalanan untuk menghilangkan dominasi tim secara menyeluruh membutuhkan waktu yang panjang,” lanjut Shany.
Menurut Shany, istilah Tim Dua Satu diambil karena di dalamnya berisi 21 orang. Dalam proses perjalanan tim ini muncul perbedaan pendapat dalam anggota tim yang memicu beberapa anggotanya memilih untuk keluar. Berawal dari penentuan kuasa hukum sebelumnya, ada beberapa warga yang tidak setuju. Warga menjadi terbagi dua atas kuasa hukum yang dipilih. Pertama, warga yang terdampak rencana penggusuran sebanyak 8 KK didampingi oleh kuasa hukum dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Makassar, dan kedua adalah warga yang terdampak rencana penggusuran sebanyak 20 KK didampingi oleh kuasa hukum Abduh dan Jibra.
Sekelompok mahasiswa ini sempat bergesekan dengan kuasa hukum warga yang dipegang oleh kuasa hukum sebelumnya. Karena saat itu, warga yang menggugat ke PN Makassar berdasarkan gugatan Nurdin Daeng Nombong dan Kodam XIV Hasanuddin yang mengklaim tanah warga setempat. Sedangkan pandangan sekelompok mahasiswa ini, katanya warga ini kuasa objek yang sebenarnya di mata persidangan yang menguasai objek yang menunggu digugat. Bukankah jika kita menggugat, kita yang mengumpulkan bukti?
Menurut Margareta, akrab disapa Eta, seorang perempuan warga Bara-Barayya RT 06 yang aktif mengawal kasus ini, yang diceritakan ulang oleh Shany, bahwa persoalan objek gugatan yang memberitahu warga adalah hakim. Gugatannya masih dirangkaikan dengan Asrama Bara-Barayya. Warga tidak mau disamakan dengan asrama karena wilayah mereka memang terpisah dari Asrama Bara-Barayya yang merupakan aset TNI. Ketika tahu bahwa jika mereka sebagai kuasa objek tidak perlu menggugat, warga kemudian mencabut hak kuasa dan gugatannya. Saat warga mau mencabut hak kuasanya, sempat mau digugat oleh kuasa hukumnya. Akhirnya warga pindah ke LBH Makassar sebagai kuasa hukumnya.
Tahap-tahap Pengawalan
Tahap demi tahap dilakukan pelan-pelan oleh sekelompok mahasiswa, mulai dari saling mengabari jaringan pertemanan yang sudah lama terbangun dari beberapa aksi-aksi yang pernah dilakukan sebelumnya (seperti Aksi Tolak Penggusuran Pandang Raya dan Aksi Tolak Reklamasi Pantai Losari), meretas pola kerja Tim Dua Satu, dan menghilangkan sistem komando dalam pengawalan kasus.
Terlibat secara langsung dalam rapat bersama warga menjadi sebuah momentum tersendiri bagi sekelompok mahasiswa (dalam hal ini Tim Dua Satu sudah tidak difungsikan lagi). Si Jenderal Lapangan, yang mengawal aksi-aksi sebelumnya, tidak lagi terlibat. Kata Andre, ia beralasan ditelepon sama tentara yang membuat ia pulang bersama para pengikutnya dan tidak kembali lagi. Hal ini mereka jadikan kesempatan untuk “masuk” membuat kesepakatan bersama warga dengan melibatkan semua mahasiswa dalam rapat. Dalam mengadakan rapat, biasanya mahasiswa yang mengurus teknis,sedang warga yang menyediakan konsumsi.
Salah satu bentuk kampanye yang juga mereka lakukan adalah dengan memanfaatkan media sosial seperti membuat Fanpage Facebook dan Instagram sebagai media pergerakan berbagi informasi untuk menggalang dukungan publik. Selain itu, karena kebetulan salah seorang dari mereka ada yang bekerja di media,ketika akan melakukan aksi, mereka mengirim siaran persnya untuk dimuat di media. Selain itu, mereka juga menyablon baju dan menjual stiker sebagai salah satu bentuk dukungan kepada warga.
Maret 2017, aksi long march keliling Bara-Barayya untuk mengampanyekan isu menjadi aksi pertama yang digelar atas inisiatif sekelompok mahasiswa yang berkordinasi dengan warga. Besoknya, mereka kemudian mengadakan aksi di Flyover, di Jalan Urip Sumoharjo, dirangkaikan dengan menggelar mimbar demokrasi di depan Posko di Bara-Barayya. Aksi long march dan mimbar demokrasi dijadikan sebagai basis menggalang massa untuk terlibat dalam aksi tiga titik.
Dokumentasi Fanspage Bara-Baraya Bersatu
Kata Shany, lewat aksi mimbar demokrasi terlihat beberapa “organ-organ” mulai bergabung, ramai sekali karena kasusnya waktu itu masih hangat. “Di sisi lain, teman-teman dan warga mulai terbuka, karena awalnya warga merasa curiga dengan mahasiswa yang baru bergabung dikiranya intel tentara atau penyusup,” ungkap Shany.
Aksi tiga titik merupakan aksi lanjutan yang dilakukan. Menurut Andre, saat itu kurang lebih 2.500 massa tergabung dalam aksi ini.“Mulai dari Flyover di Jalan Urip Sumoharjo untuk kampanye isu, menuju Kantor Gubernur Sulawesi Selatan untuk meminta pertanggungjawaban atas rencana penggusuran yang ingin dilakukan pihak Kodam, kemudian ke Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kota Makassar untuk mempertanyakan sertifikat nomor IV yang katanya hilang dan muncul kembali di tahun 2015.”
Rapat dengar pendapat di DPRD Provinsi Sulawesi Selatan menjadi tahap lanjutan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa ini. Dengan menghadirkan perwakilan Kodam, perwakilan warga Bara-Barayya, dan anggota DPR, tetapi itu tidak menghasilkan apa-apa.
Keluarnya Surat Peringatan ketiga (SP-3) yang dikirim oleh pihak Kodam dengan memakai jasa hantaran Pos Indonesia, membuat warga panik karena tidak adanya kuasa hukum waktu itu, ditambah pula beredar isu kalau tentara akan masuk. Ketika lonceng dari tiang listrik dibunyikan, semua warga keluar dari rumahnya. Bunyi tiang listrik dilakukan secara berantai menjadi semacam alarm bagi warga, pertanda ada masalah. Hal ini sudah menjadi kebiasaan sejak lama di Bara-Barayya.
Sejak saat itu, karena isu bahwa tentara akan masuk menggusur,ronda mulai dijadwalkan dari jam dua dini hari hingga pukul enam pagi, yang bukan hanya melibatkan mahasiswa melainkan semua warga juga ikut meronda, termasuk kalangan ibu rumah tangga. Mereka berpencar, berpatroli ke titik-titik pintu masuk Jalan Abu Bakar Lambogo untuk berjaga-jaga. Mereka bercermin dari penggusuran Asrama TNI yang dieksekusi sekisar jam tiga dini hari, di mana saat itu setiap rumah dijaga tiga puluhan tentara. Hal ini menguras fisik mereka selama dua bulan.
Tantangan lain yang dirasakan sebagian mahasiswa yang sempat menjadi koordinator lapangan adalah saat mereka diteror oleh para intel. Dari cerita Shany mengatakan bahwa, awalnya mereka membuat selebaran yang mencantumkan narahubung. Intel mengambil semua kontak yang tercantum dalam selebaran itu, kemudian mengirim pesan untuk bertemu secara tatap muka. “Ada beberapa teman didatangi kampusnya oleh Intel dan diminta oleh wakil rektor dan wakil dekannya untuk tidak terlibat lagi,” ungkap Shany.[]
:: Rafsanjani, mahasiswa Antropologi Universitas Negeri Makassar dan meneliti di Tanahindie.