Laoting: Penangkal Petir Jadi Kampung

Makassarnolkm.id

Di Desa Taraweang, Labakkang, Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), terdapat permukiman yang berjarak sekisar 5 km dari pusat desa yang dihuni sekisar 70 jiwa. Sejak kecil saya selalu penasaran dengan kampung ini yang tampaknya terpisah dari kehidupan desa. Rumah-rumah warga berjarak lumayan jauh dari satu rumah ke rumah yang lain.

Dari sejumlah cerita-cerita yang yang saya dengar, di kampung ini menyimpan kisah yang mendorong saya untuk mengunjunginya dan mencatat ingatan warga mengenai muasal kampung, mitos, dan sumur komunal warga.

Berikut jalinan kisahnya dalam dua fragmen:

 

Fragmen #1: Asal-Usul Nama Kampung

Mak Tami, sekisar 70-an tahun, menuturkan ingatannya mengenai asal-usul Kampung Laotinge yang diambil dari tumbuhan berbunga (termasuk dalam klasifikasi Colubrina asiatica), oleh warga disebut laoting. Tumbuhan ini memiliki bunga warna longko lame (Bugis: merah jambu) dan ada juga berwarna ungu. Warga mengidentifikasinya serupa sakura yang yang bermekaran di musim hujan.

Awal mula warga membangun permukiman di sini dikarenakan lahan yang ditempati sebelumnya bermasalah. Dahulu, hanya ada lima orang mulai membuka lahan dan membangun rumah. Bentang alamnya yang berbukit menjadi alasan bagi warga yang ingin tinggal perlu memilih lahan yang memudahkannya untuk diolah. Orang yang membuka lahan kadang menghabiskan lima cangkul untuk meratakan kontur tanah yang berbatu.

Mak Sitti, sekisar 80-an tahun, mengatakan bila musim hujan tiba, gemuruh petir menghantui warga karena pernah ada rumah yang tersambar. Namun, ada satu rumah yang di sekitarnya banyak ditumbuhi laoting dan aman dari kilatan petir. Sejak itulah warga mulai meyakini keampuhan tumbuhan laoting sebagai penangkal petir. Jika musim hujan tiba, warga mengambil tangkai laoting yang sudah berbunga lalu disimpan di atas daun pintu atau di sudut tertentu dalam rumah sebagai azimat penangkal petir.

Di Kampung Laotinge ada batasan wilayah yang dinamakan laleng kawa’ (di dalam kawat) yang didiami oleh warga Kampung Balla Sibatua, sedangkan saliweng kawa’ (di luar kawat) ditinggali warga Kampung Laotinge. Hal itu merupakan penanda batas wilayah perkampungan Laotinge dengan Balla Sibatua milik tuan tanah bernama Puang Wawo hingga sekarang.

Berbeda dengan penuturan Mak Tami dan Mak Sitti. Mak Bondeng, juga sekisar 80-an tahun, justru merawat ingatannya dengan nostalgia makanan. Ia menceritakan getirnya hidup di masa itu, sekitar tahun 1940-an. Orang-orang hanya mengolah makanan yang disebut pule kenrang (semacam biji-bijian yang dicampur sedikit beras) dan pule lame (umbi-umbian yang dicampur sedikit beras). Bahkan, hingga sekarang Mak Bondeng masih memakan gesara (jagung yang ditumbuk) sebagai pengganti nasi.

Namun, Mak Bondeng mensyukuri apa yang bisa dimakan kala itu karena merasakan betapa susahnya padi tumbuh. “Sipongmi tuo (sebatang saja) yang tumbuh dan tidak beranak pinak seperti sekarang,” lirihnya.

Proses mengolah gabah menjadi beras harus dinampu (ditumbuk). Meskipun sudah ada pabrik pengolah, akan tetapi jaraknya lumayan jauh. Terkadang Mak’ Bondeng memikul gabah menempuh jarak sejauh 3 km dengan berjalan kaki memotong gunung menuju Desa Tabo-Tabo, Bungoro, lokasi penggilingan gabah.

Selain bercerita mengenai makanan, Mak Bondeng juga mengisahkan pengobatan warga mengguakan daun seperti daung salo, daung tanging-tanging (jarak), dan calamate. Daun jarak sendiri digunakan sebagai simbol duka ketika ada orang yang meninggal. Daunnya dipakai untuk membungkus uang yang dibawa ke rumah duka.

 

Fragmen #2: Sumur

Bujung Cenna

Mak Bondeng antusias menceritakan mengenai bujung atau sumur tua yang saat ini masih digunakan warga, yakni bujungcenna. Sumur ini sendiri tidak diketahui persis kapan mulai dibuat. Mulanya hanya berupa mata air dan airnya meluber ke permukaan.

Dari penuturan Mak Bondeng dan Mak Tami, dahulu bentuk dan posisi bujung cenna berada di antara aju cenna dan tumbuhan bunga laoting yang mengelilingi sumur. Air dari bujung cenna selain dikonsumsi warga, juga digunakan untuk kebutuhan minum ternak serta mengaliri tanaman. Warga membuat membuat irigasi kecil yang menyalurkan air dari sumur ke kebun atau ke sawah.

Disebut bujung cenna karena dahulu tumbuh pohon yang disebut aju cenna yang harfiahnya pohon cenna (Colamossanbincencis) di sekitar mata air dan dikelilingi tumbuhan laoting. Sejak pertama kali orang bermukim di tempat itu, mata air sudah ada dan menjadi air kehidupan bagi makhluk hidup yang ada, termasuk hewan liar seperti monyet dan babi yang kala itu habitatnya masih banyak.

Bujung cenna disakralkan oleh warga dan mempercayai sosok penghuni aju cenna yang konon menyerupai ular dan kakek tua berpeci putih. Warga meritualkan dengan membawa sesajen berupa olahan hasil bumi seperti sokko atau ketan, ayam, daun ota (sirih), dan pisang.

Di Kampung Laotinge pernah hidup calalai, sosok perempuan berpenampilan lelaki bernama Wa’ Sanira. Dialah yang menjadi juru kunci kampung. Ia mengingatkan warga agar tidak ke bujung cenna di waktu tertentu seperti subuh, tengah hari (zuhur), dan magrib.

Pernah satu peristiwa sekitar sepuluh tahun yang lalu, cucu Mak Sitti bernama Risal mengalami demam tinggi selama tiga hari yang menyebabkannya wafat. Rupanya Risal ini sehabis pulang dari sawah singgah di bujung cenna untuk membersihkan diri dan, waktu itu sudah memasuki magrib, waktu yang dipantangkan untuk ke sumur. Keluarganya kemudian ke sanro (dukun) untuk mencari tahu. Dari situlah kemudian diketahui kalau Risal telah ditegur oleh penunggu bujung cenna.

Toleransi antar warga juga terbangun di bujung cenna. Memori itu masih melekat di ingatan Mak Bondeng dan Mak Sitti. Terdapat tiga lapis anyaman bambu mengelilingi sumur, anyaman itu membentuk sekat untuk mandi dan mencuci. Kaum perempuan dipersilakan lebih dulu beraktivitas sebelum lelaki.

Bujung cenna di masa lalu juga merupakan ruang perjumpaan sosial. Di sumur itulah warga berbincang segala persoalan yang menyelimuti, seperti mengatur strategi untuk lari atau bersembunyi bila pasukan tentara datang.

Terlepas dari cerita masa lampau yang diceritakan di atas, ketika berkunjung ke bujung cenna, saya melihat tidak ada lagi aju cenna dan laoting karena belum musimnya. Di area sumur kini tumbuh pohon mangga dan di seberang jalan berjejer pohon mahoni.

 

Bujung Bila

Bujung bila terletak di atas perbukitan sejauh 800-an meter dari permukiman warga. Ibu Muna, sekisar 56 tahun, menggunakan air dari sumur itu yang dulunya diambil langsung menggunakan ember atau jeriken. Kini, ia menggunakan tenaga mesin dinamo untuk mengalirkan air melalui selang untuk mengisi wadah yang telah disediakan di rumahnya.

Bujung bila ini diperkirakan telah ada sejak 70 tahunan lalu ketika mertuanya mendiami satu lokus di Kampung Laotinge. Ibu Muna mengatakan air sumur tak pernah kering bila hanya dia saja yang mengambil airnya.

Untuk mencapai lokasi bujung bila ditempuh dengan berjalan kaki mengikuti jalur selang air sekitar 1 km dari rumahnya. Dalam perjalanan itu kita bisa melihat aktivitas penambangan tanah untuk dijadikan timbunan.

Ibu Muna bercerita kalau dahulu ia tinggal tidak jauh dari sumur, akan tetapi lahan di sana sudah mereka jual kepada pengusaha penyedia timbunan. Hasilnya ia pakai kembali membeli sebidang tanah di bagian bawah (daratan landai) dan membangun kembali rumahnya.

Bujung bila ini hanya berkedalaman sekitar 50 cm dan sepertinya hanya untuk menampung tetesan air dari cerukan bebatuan. Terdapat seng bekas yang dipasang untuk menghalangi jatuhnya daun ke dalam sumur.

Penamaan bujung bila merujuk pada pohon bila atau maja (Aegle marmelos) karena dulunya banyak tumbuh di area sumur. Namun, sekarang pohon itu tidak ada lagi, sekarang jenis pohon yang tumbuh berupa mahoni, lontar, dan pandan wangi. Hingga sekarang Ibu Muna masih memperoleh ketersedian air dari bujung bila untuk dikonsumsi. Bila musim kemarau tiba, ia berbagi air dengan tetangganya.

 

Bujung Dao

Butuh berjalan kaki mendaki bukit sekitar 1 km untuk menjumpai sumur ini. Di sepanjang jalan akan disaksikan jejeran pohon sukun tidak jauh dari kolam besar bekas penampungan air dari sumur.

Ibu Murni, sekisar 50-an tahun, mengatakan kalau di sekitar pohon sukun itu pernah ada sumur yang kemudian ditimbun setelah warga yang membangun rumah di situ memilih pindah. Di lokasi bujung dao terdapat dua sumur berjarak sekitar dua meter. Di area ini tumbuh beragam jenis pohon, salah satunya pohon bitti.

Bentuk bujung dao serupa bujung bila. Penamaannya juga berakar pada pohon dao (Drancotomelon dao) karena di area sumur pohon ini tumbuh. Cerukan tanah sedalam 60 cm berfungsi menampung rembesan air dari celah bebatuan dan dipasangi tenda untuk menghalangi daun yang jatuh.

Sepanjang jalur terhampar selang panjang sebesar telunjuk yang berakhir di mulut sumur. Dari selang itulah air mengalir ke rumah warga. Saat ini hanya dua keluarga yang mengambil air dari bujung dao.

 

Bujung Palla

Dikatakan bujung palla karena dulunya berupa hutan lebat yang di tengah-tengahnya terdapat sumber air. Sumur ini tidak digunakan lagi karena lahan-lahan di sekitar sumur sudah dibeli oleh warga dari luar Kampung Laotinge.

Walau tetap mendaki perbukitan, perjalanan menuju ke sumur ini terbilang cukup mudah ketimbang ketiga sumur sebelumnya. Dalam perjalanan akan disaksikan petak kolam beton yang digunakan Dinas Lingkungan Hidup Pemda Pangkep dalam melakukan filtrasi bekas air limbah sampah yang menguarkan bau busuk.

Sesampai di lokasi rupanya terdapat tiga cerukan sumur, dua di antarnya sudah mengering dan cerukan satunya masih menjadi sumber air yang diperuntukkan bagi ternak warga. Ibu Murni menjelaskan kalau ternak langsung minum di sumur karena hanya sedalam 40 atau 70 cm saja.

Warga tak lagi mengandalkan air dari sumur ini karena debit airnya mulai berkurang dan pertimbangan jarak serta kendala tersumbatnya aliran air karena sudah tidak terawat sehingga memilih mencari air dari sumur yang lain.

*

Vera Febrianti, peserta Lokakarya Bakka Makassar Biennale 2024.

Catatan: Tulisan ini juga merupakan hasil proses penelitian awal yang dilakukan Vera selama lokakarya Bakkā yang diselenggarakan Tanahindie – Makassar Biennale, Agustus 2024.