Kisah Penjaga Gua Prasejarah di Pangkep

Makassarnolkm.id

Hamparan sawah di Kampung Belae yang berdinding julangan karst sore itu, (17/4) menyisakan pemandangan lapang sejauh mata memandang. Panen padi musim hujan begitu cepat selesai karena para petani tidak lagi berjibaku dengan metode lama, menggunakan sabit dan alat perontok padi. Kini semuanya diserahkan pada mobil pemotong padi yang menyisakan gilasan roda bak mobil tank.

Berkunjung ke Belae selalu menimbulkan pertanyaan klise, yang meski sudah memperoleh jawaban, akan tetapi tetap saja selalu senang mengajukan pertanyaan serupa; perihal riwayat julangan karst dan, tentu saja, mengenai tinggalan gambar purba yang tersimpan di beberapa gua.

Dokumentasi Saenal K

Lanskap Kampung Belae - Dokumentasi Saenal K

Terkesima dengan Kampung Belae bermula dari perjumpaan dengan Ady Supriadi (39) yang saya kenal sejak 2010. Lewat dia, saya mengenal lebih luas kawasan gua di Kampung Belae yang menyimpan artefak lukisan purba berusia ribuan tahun (deep time). Interaksi dengannya membawa lebih dalam mengenal para juru pelihara yang ditugaskan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan (BPCB Sulsel) yang pada tahun 2023 lalu berganti menjadi Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX (BPK XIX Sulsel).

Geosite Belae

Kampung Belae terletak di Kelurahan Biraeng, Kecamatan Minasatene, Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Di kawasan ini terdapat 27 sebaran situs prasejarah yang tersebar di gususan karst. Keduapuluh tujuh situs tersebut memiliki tinggalan arkeologi yang variatif seperti gambar tangan, fauna dan ikan, figur manusia, geometris, alat batu, fragmen tulang, moluska, sampah dapur, dan fragmen gerabah.

Di papan informasi dituliskan ke-27 situs tersebut mencakup Leang Tuka 1, Tuka 2, Tuka 3, Tuka 4, Tuka 5, Tasepe, Lessang, Bubbuka, Caddia, Lambuto, Tinggia, Lompoa, Kassi, Kajuara, Pattennung, Jempang, Tanarajae, Sakapao, Bawie, Buluribba, Cammingkana, Bujung, Carawali, Ujung, Sassang, Batanglamara, dan Leang Sapiria, serta situs terbuka pelataran mata air Je’netaesa.

Geosite mengacu pada penyingkapan lapisan atau fenomena geologi. Rustan SS, menerangkan lebih lanjut kalau konteks peristilahannya dalam taman bumi (geopark) mengacu pada tinggalan yang terkandung dalam kawasan situs.

“Situs-situs arkeologi atau situs cagar budaya sebagian termasuk sebagai salah satu geosite dalam Geopark Maros-Pangkep seperti Taman Arkeologi Leang-Leang di Maros, Taman Prasejarah Sumpang Bita dan Kompleks Belae yang ada di Pangkep,” tuturnya.[1]

Namun, semua situs yang telah ditetapkan tidak seluruhnya memiliki juru pelihara, hal itu berkaitan dengan analisis kebutuhan. Rustan mengatakan, jika sejauh ini seorang juru pelihara bertanggung jawab lebih dari situs. “Tergantung ukuran dan bentuk pengelolaannya,” ucapnya.

Ambo Nai (51)[2] dulu bertugas merawat dan menjaga tiga area situs, yakni Leang Caddia, Leang Sakapao, dan Leang Lambuto. Sore itu, sesuai petunjuk Ady, saya bertandang ke Rumah Informasi, sebutan untuk kantor perwakilan BPK XIX Sulsel di Kampung Belae yang menjadi kantor para penjaga situs. Rumah panggung itu juga kerap dipakai oleh komunitas atau mahasiswa menggelar kegiatan, termasuk perhelatan MB Pangkep pada 1-10 Oktober 2023.

Ambo Nai sedang bersihkan Leang Caddi - Dokumentasi Saenal K

Ambo langsung mengenali begitu saya memarkir sepeda motor di depan pos Rumah Informasi. Seperti biasa, pada Senin hingga Jumat, ia menginap di Rumah Informasi. Baginya cukup membantu ketimbang harus pulang pergi dari rumahnya di Kampung Tagari, Desa Lanne, Kecamatan Tondong Tallasa yang berjarak sekitar 35 km.

Pilihan Ambo Nai ini sudah mendapat persetujuan dari kepala kantor BPK XIX Sulsel dan juga didukung keluarganya. Dulu ia bertugas menjaga situs gua di kampungnya yang dimulai pada 1998. Tahun awal ketika ia menerima tawaran pihak BPK XIX Sulsel untuk menjaga situs gua prasejarah dengan status pegawai honorer.

“Warga di kampung banyak yang mencibir karena saya mau menerima pekerjaan menjaga dan membersihkan area gua,” kenangnya.

Sembari menggarap sawah layaknya warga di kampung, Ambo Nai mulai menyibukkan diri membabat tumbuhan rambat. Ia mengingat kalau tahun-tahun awal bekerja terasa sulit karena dikerjakannya sendiri. Selintas tidak ada yang berbeda dengan aktivivas warga yang lain, menyandang status pegawai honorer tak membuatnya harus selalu berseragam layaknya pegawai instansi pemerintah.

Ambo Nai juga mengenang adanya silang pendapat yang kerap datang dari warga yang hendak menebang pohon di hutan di sekitaran gua. Sebagai penjaga situs, Ambo mengingatkan agar tidak sembarangan menebang pohon, yang lantas menimbulkan perdebatan dengan warga. “Saya sampaikan ke warga kalau hal itu dilarang oleh pemerintah dan saya ini ditugaskan menjaga area situs gua Tagari,” begitu ucapannya yang sering ia lontarkan.

Warga yang terbiasa mengambil kayu di hutan, khususnya di sekitaran area situs seiring waktu dapat memahami dan bergeser ke kawasan lain yang jauh dari situs. “Saat itu tidak ada warga yang sampai memukul karena saya sering mengingatkan. Lagi pula kita semua sudah saling kenal karena sama-sama berasal dari kampung yang sama.”

Ambo Nai mendapatkan SK pengangkatan sebagai Aparat Sipil Negara (ASN) pada 2007. Ia lalu dimutasi bertugas di kawasan gua prasejarah di Kampung Belae. “Saya bertugas di Kampung Belae ini sekitar empat tahun lalu,” terangnya sore itu di Rumah Informasi.

Karena menginap di Rumah Informasi selama hari kerja, Ambo memilih tidur di pos ketimbang di Rumah Informasi yang besar itu. Menurutnya tidur di pos lebih tenang karena sempit. Ia juga memasak sendiri menggunakan rice cooker dan lauknya ia beli di warung.

“Biasa juga anak saya bawakan lauk, tetapi tidak tiap hari, mungkin kalau merasa kasihan ia akan disuruh emaknya,” ucapnya tersenyum.

Bercengkerama di Rumah Informasi

Jika berkunjung di Rumah Informasi awal pagi, kita masih mendapati para penjaga gua sedang bercengkerama sebelum menuju ke lokasi gua masing-masing. Amir (50), juru pelihara Bulu Sipong masih mengingat wajah saya setelah dulu pada tahun 2021 berkunjung di Bulu Sipong 4 bersama tim kerja Makassar Biennale dan Dahri Dahlan, seniman dari Samarinda, Kalimantan Timur, yang sedang menjalani residensi tahun itu.

Melalui percakapan yang melebar ke mana-mana, karena saat itu hadir juga beberapa juru pelihara situs yang lain, Amir menyampaikan jika ke Bulu Sipong 4 berlumpur karena hujan malam sebelumnya. Ia menyarankan berkunjung ke sana jika cuaca mendukung.

Pak Amir sedang duduk di gazebo depan Bulu Sipong 4 - Dokumentasi Saenal K

Wilayah kerja Amir sudah di luar kawasan Geosite Belae. Situs Bulu Sipong masuk dalam wilayah konsesi PT Semen Tonasa di Desa Biringere, Bungoro sehingga akses ke sana perlu mendapat izin dari pengelola. Amir menceritakan jika akses jalan yang dulunya masih tanah kini mulai dicor beton.

“Pengerjaan jalannya dimulai dari ujung dekat kantor PT Semen Tonasa, area yang belum dicor akan berlumpur setelah hujan yang berada pas di depan Bulu Sipong 4,” jelas Amir.

Informasi tambahan dari Rustan bahwa perjanjian kerjasama telah disepakati antara Kemendikbud dan PT Semen Tonasa pada tahun 2018. Area bukit kapur di mana Bulu Sipong dan tujuh situs gua lainnya dikelola oleh PT Semen Tonasa sebagai bagian dari rehabilitasi lingkungan bekas tambang melalui Taman Kehati.

“BPK XIX Sulsel bertugas untuk mendampingi pengelolaan Bulu Sipong agar tetap sesuai dengan prinsip pelestarian dan tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya undang-undang cagar budaya,” paparnya.

Baik Amir dan Ambo dan juga penjaga situs yang lain sepakat kalau kondisi cuaca yang tidak menentu terkadang mengganggu jadwal melakukan perawatan situs. “Ini kita tidak tahu apakah sudah musim kemarau atau tidak karena terkadang hujan masih turun,” celetuk Ambo.

Jalan yang becek saat musim hujan juga menjadi tantangan bagi Ambo Nai bila ingin ke Leang Sakapao yang melewati area persawahan warga. Ia mengisahkan pernah tergelincir di pematang. Dari tiga situs yang dijaganya, Ambo Nai merasa kalau Leang Sakapao-lah yang menantang karena terbilang jauh. Jaraknya sekitar 10 km dari Rumah Informasi. Ambo Nai mengendarai sepeda motor sampai di tepi jalan lalu berjalan sekitar 20 menit untuk sampai di Leang Sakapao dengan ketinggian 50 meter.

Gambar Figuratif Perburuan Tertua di Dunia

“Saya mulai bertugas di situs Bulu Sipong sekitar 2018, kalau tidak salah, karena sudah lima tahun bertugas di situ,” ujar Amir mencoba mengingat.

Aktivitasnya dimulai dengan berangkat pagi hari dari rumahnya di Desa Tabo-Tabo, Bungoro, ke Rumah Informasi di Kampung Belae yang berjarak sekitar 20 km untuk melakukan absensi, aktivitas yang juga dilakukan para penjaga situs yang lain. Setelah bercengkerama sejenak dan bertukar informasi yang dirasa perlu, mereka lalu ke lokasi tugas masing-masing. Lalu, menjelang sore kembali lagi di Rumah Informasi untuk mengisi absensi pulang.

Karena cuaca mendung dan terkadang gerimis lalu kemudian hujan mengguyur, pagi itu para juru pelihara memilih bercengkerama lebih lama dari biasanya. Amir lalu menceritakan kariernya sebagai tenaga honorer penjaga situs yang dimulai pada akhir 2004 dengan menjaga Leang Kappara, Leang Takeppung, dan Leang Tabboroe yang terletak di Kelurahan Bontoa, Minasatene. Setelah terangkat ASN pada 2008, ia dimutasi di Desa Biringere untuk menjaga situs Leang Andi Mappe dan Leang Biringere, sebelum dipindah lagi ke situs Bulu Sipong.

Amir menyampaikan jika cuaca sudah mendukung sisa menelepon saja jika ingin berkunjung. Setelah perjumpaan di Rumah Informasi di akhir pekan kedua Mei 2023, barulah pada Jumat, 19 Mei 2023 saya mengontaknya, di ujung telepon terdengar suara Pak Amir kalau ia sudah berada di lokasi.

Sebuah gazebo berukuran sekitar 4x4 m menjadi kantornya di depan Leang Bulu Sipong 4, di leang ini terdapat temuan yang menggegerkan dunia arkeologi berupa penemuan gambar cadas figuratif perburuan tertua di dunia yang ditemukan pada 2017. Dikutip dari laman Pusat Penelitian Arkeologi Nasional hasil temuan tersebut merupakan kolaborasi Balitbang, Kemendikbud, Griffith University, Australia, dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional itu sendiri atas dukungan Balai Arkeologi Makassar dan Balai Pelestarian Cagar Budaya.

Penelitian yang telah terbit di Jurnal Nature tersebut menggambarkan aktivitas perburuan para pemburu dengan tampakan setengah manusia dan setengah hewan (therianthropes). Gambar itu oleh peneliti diperkirakan berusia 44 ribu tahun berdasarkan pengukuran peluruhan radio aktif dari uranium dari pembentukan mineral yang berlangsung di Bulu Sipong 4. Selain tertua, kedahsyatannya juga terletak dari detail dalam menarasikan secara visual proses perburuan di mana selama ini seni cadas pertama ditemukan di Eropa yang menampilkan simbol abstrak.

“Lukisan therianthropes di gua Leang Bulu Sipong 4 memberikan pengetahuan bahwa tidak ada evolusi seni dari yang simpel menjadi kompleks pada 35 ribu tahun yang lalu, paling tidak di Asia Tenggara,” tukas Profesor Aubert.[3]       

Namun, hingga kini akses melihat gambar itu secara langsung belum dibolehkan.

“Hingga saat ini Leang Bulu Sipong 4, khususnya ruang gua yang menyimpan gambar figuratif tertua di dunia, masih tertutup untuk umum karena gambar tersebut dalam kondisi rusak parah dan rentan terjadinya peningkatan laju kerusakan. Selain itu, bukti sebagai gambar tertua di dunia harus benar-benar dilindungi dan menjadi sampel yang secara terus-menerus kami pantau perkembangan kerusakannya,” terang Rustan.

“Sebagai orang diamanahkan menjaga situs, saya tidak bisa memberikan izin untuk melihat gambar, saya sendiri tidak berani naik ke atas kalau tidak ada izin dari kantor,” tukas Amir.

Ruang gua di mana gambar figuratif itu berada memang tidak ramah diakses. Sangat berbeda dengan lokasi gambar cadas seperti di Leang Kassi atau Sakapao sebab diperlukan tangga setinggi 10 m yang dipasang di mulut gua. Menurut Amir, memasang tangga juga tidak bisa seorang diri, dibutuhkan tenaga setidaknya tiga orang untuk menahan. “Kalau hanya ingin melihat tinggalan sampah dapur itu mudah saja karena sebarannya ada di lantai bawah gua,” lanjut Amir.

Di satu gugusan Bulu Sipong sudah ditetapkan tujuh situs di mana Amir seorang diri bertanggung jawab sebagai juru pelihara. Ketujuh leang tersebut mengitari gugusan Bulu Sipong yang jaraknya lumayan berjauhan.  

“Tadi pagi saya membersihkan Bulu Sipong 4 dan setelah istirahat siang saya akan ke Bulu Sipong 2 dan 3,” ucapnya. Untuk sampai di area dua situs, ia memutar arah melalui jalur lain dengan sepeda motor.

“Sebenarnya bisa juga berjalan kaki dari Bulu Sipong 4, tetapi kalau sendiri saya merasa agak bagaimana, karena tidak enak juga menyusuri lereng gunung seorang diri nanti ada apa-apa,” bebernya.

“Di sini juga satwa liar seperti ular sawa masih ada. Saya biasa melihat jejaknya di bawah danau buatan itu,” lanjutnya sambil menujukkan bekas galian C PT Semen Tonasa yang berada pas di situs Bulu Sipong 4.

Sendirian di area gua tentu melahirkan banyak pengalaman termasuk mengalami situasi mistik, Amir kerap mengalaminya apalagi di hari Jumat. “Biasa itu setelah membersihkan sampah berupa daun yang berjatuhan di area leang, saya rehat sambil duduk, di situlah terkadang saya mencium aroma dupa atau bau anyir,” akunya.

Berdasarkan pengalaman dan warisan pengetahuan lokal mengenai hal mistik, Pak Amir menerangkan kalau bau dupa berarti hal baik, berbeda jika bau anyir. “Jadi, kalau bau anyir sudah meruap di gua seketika saya permisi dan turun ka gazebo menyulut rokok,” lanjutnya.

Pernah juga Amir mendapat pengakuan seorang warga sekitar yang mengembalakan sapinya di area situs. Katanya orang itu pernah mencari sapinya yang biasa meminum air di danau bekas galian dan ia melihat sosok besar setinggi pohon kelapa berkepala kuda. Mendengar itu, Amir menanggapinya dengan imbauan agar jangan ke area gua seorang diri.

“Setelah kejadian itu, orang itu tidak pernah lagi muncul. Mungkin ia mengembalakan sapinya di tempat lain,” sambung Amir.

Masa Depan Situs dan Generasi Juru Pelihara

“Bulan Desember tahun 2023 saya sudah pensiun,” ungkap Haeruddin (59). Saya menemuinya di dangau yang sejak beberapa tahun terakhir jadi tempatnya meluangkan waktu di malam hari. Ady Supriadi, anak sulungnya, memang menyampaikan kalau bapaknya lebih banyak menginap di dangau untuk menjaga padi yang sedang tumbuh dari babi hutan.

“Bulan Agustus nanti sudah panen, setelah itu lahan akan ditanami jagung,” ucapnya sembari menujukkan bentangan lahannya. Dari beberapa penjaga situs di Pangkep, Haeruddin-lah yang paling sering menemani wisatawan atau peneliti bila ke Belae. Pertama, ia termasuk juru pelihara senior yang mulai mengabdikan diri sejak 1982. Kedua, ia juga tinggal di Kampung Belae dan termasuk tokoh masyarakat di kampung itu.

Tugas yang kini ia emban tak lepas dari bapaknya, Ambo Kebo, yang semasa hidupnya juga juru pelihara situs. Sejak kecil Haeruddin sudah sering keluar masuk gua menemani bapaknya dan berjumpa dengan banyak orang, baik itu peneliti dari luar atau dalam negeri.

Masa jeda sebagai tenaga honorer pernah ia alami pada tahun 1985 karena adanya kebijakan dari pusat yang tidak lagi mengakomodasi honorer. Fase itu dijalani beberapa tahun hingga pintu tenaga honorer kembali dibuka pada 1993. Terhitung dari masa kembali itu, ia kemudian terangkat sebagai ASN pada 2006.

Sebelum bertugas menjaga Leang Kassi dan Leang Kajuara, Haeruddin semula mewarisi tiga leang yang dulu dijaga bapaknya, yakni Leang Batang Lamara, Leang Sassang, dan Leang Sapiria. Kesemua leang tersebut berada di kawasan Geosite Belae.

Sebagai juru pelihara, baik Ambo, Amir, dan Haeruddin memahami dengan baik tata cara pemeliharaan area situs. Sampah berupa guguran daun yang berserakan hanya disapu lalu dikumpulkan dan tak boleh dibakar di tempat karena asapnya mengandung senyawa kimia yang dapat merusak ketahanan gambar yang melekat di dinding leang. Amir sendiri membiarkan tumpukan daun hingga membusuk dan komposnya ia jadikan pupuk untuk tanaman botani yang ditanamnya di area Bulu Sipong 4.

Kini usia sang juru pelihara sudah memasuki masa menjelang pensiun. Menanggapi soal ini, Rustan berharap ada kebijakan dari pusat untuk mengakomodasi tenaga honorer yang sejauh ini belum ada kepastian.

“Di wilayah Maros-Pangkep, BPK XIX Sulsel menempatkan 5 polisi khusus cagar budaya, 1 orang teknisi, 31 orang juru pelihara PNS, dan 52 orang juru pelihara Non-PNS. Namun, hingga saat ini kebijakan pemerintah tidak membuka peluang untuk merencanakan penambahan tenaga Non-PNS sehingga kami juga kebingungan untuk mempertahankan kehadiran BPK XIX Sulsel di kawasan ini,” papar Rustan.

“Saya ini memang sudah tua dan pensiun. Akan tetapi kalau masih diminta kesediaan membantu menjaga situs tentu saya sanggupi,” ucap Haeruddin.

Haeruddin mengungkapkan tantangan yang dihadapi di lapangan, apalagi situs yang dijaganya bisa diakses mudah karena berada di pinggiran jalan yang setiap hari dilintasi warga. Haeruddin memiliki cara tersendiri dengan membangun dialog dan tidak boleh langsung melarang apalagi memarahi bila kebetulan ada orang di area situs tanpa izin.

Ia mencontohkan area Leang Kassi. Di depan gua terdapat kolam dan mesin air PDAM yang mengalirkan pasokan air ke pemukiman warga di kota. Saban pagi hingga sore banyak warga dari Belae atau dari luar datang ke sana untuk mandi-mandi. Tak jauh dari kolam, warga sekitar membangun warung tenda yang menyediakan penganan berupa gorengan dan kopi, keberadaan warung tenda itu oleh Haeruddin pernah dipertanyakan dari kantor BPK XIX Sulsel karena terlalu dekat dengan area situs.

Pak Haeruddin di Leang Kassi - Dokumentasi Saenal K

“Saya bisa saja menyampaikan kepada pemilik warung agar memindahkan warungnya, tetapi hak kita apa karena lahan yang ditempati bukan lahan BPK XIX Sulsel,” ungkapnya.

Kekhawatiran pihak BPK XIX Sulsel menyangkut akses warga yang dapat merangsek masuk ke area situs dan membuat vandal. Haeruddin menunjukkan tindakan vandal yang mencoreti dan menulisi gazebo dengan spidol atau cairan penghapus tinta pulpen (Tipp-Ex).

“Dulu memang pagar tidak dikunci dan orang bebas masuk ke area situs. Malah area ini kerap dijadikan tempat minum alkohol oleh sejumlah pemuda. Jadi penjaga situs bagi saya jangan terlalu keras dan jangan juga terlalu lama,” lanjutnya.

Amir juga merasakan bagaimana harus bersikap di lapangan. Tantangan yang dihadapinya selain ternak warga masih bebas di area situs karena belum ada pagar khusus, juga debu bila musim kemarau dari lalu lalang armada PT Semen Tonasa yang melintas.

Sebelum Bulu Sipong ditetapkan sebagai situs, area gua bagian bawah sudah menjadi lokasi singgah warga untuk rihat bila mengembalakan ternaknya, hal itu bisa dilihat dari banyaknya vandal dan bekas pembakaran berupa bercak hitam yang melekat di dinding dan langit gua.

“Di sini kalau musim kemarau debu beterbangan masuk ke area gua. Nanti dilihat kalau jalannya sudah dicor semua, semoga tidak berdebu lagi,” harap Amir.

Dalam pandangan Rustan menerangkan meski BPK XIX Sulsel belum menemukan bukti aktivitas tambang yang secara langsung merusak situs, namun ia menduga aktivitas tambang dan industri tersebut bisa berdampak buruk terhadap kelestarian, atau secara tidak langsung merusak cagar budaya di kawasan tersebut.

“Tantangan terberat menurut saya adalah meyakinkan pihak-pihak terkait, termasuk pihak tambang, industri, dan pemerintah daerah untuk berkomitmen menerapkan pengeloaan lingkungan secara bertanggungjawab,” paparnya.

Bagi Rustan ia mengajukan dugaan bahwa pengelolaan lingkungan yang tidak maksimal di kawasan tambang dan industri menjadi penyebab terjadinya kerusakan terhadap situs-situs di kawasan tersebut.

“Kerusakan pada gambar gua, misalnya, sangat dipengaruhi oleh tingkat kerusakan lingkungan di sekitar kawasan,” urainya.

 

[1] Ketika wawancara dilakukan pada tahun 2023 ia masih menjabat Koordinator Unit Pelestarian Cagar Budaya Maros-Pangkep BPK XIX Sulsel.

[2] Wawancara pada Mei 2023, sebelum Ambo Nai wafat pada Agustus 2023.

[3] https://arkenas.kemdikbud.go.id/contents/read/news/oaxl7d_1576065978/gambar-figuratif-perburuan-tertua-pada-gambar-cadas-di-nusantara#gsc.tab=0, diakses pada Minggu, 21 Mei 2023, 11.28 Wita.