Jalan-Jalan ke Bangunan Tua Kota Makassar bersama Anak-Anak Kampung Kara’ba’
Betapa wajah Kota Makassar dewasa ini sungguh terkesan metropolitan. Namun, mungkin tidak akan ada yang mengira jika di salah satu sudut Kota Makassar yang berkilau dengan kehidupan elitenya tersebut, terdapat perkampungan-kota tradisional yang jauh dari kemegahan. Perkampungan itu bernama Kampung Kara’ba’, Kecamatan Tallo.
Kampung Kara’ba’ terletak tidak jauh dari Kompleks Makam Raja-Raja Tallo. Berada di pesisir pantai, kampung ini sangatlah unik, rumah warga yang terletak di atas laut yang berarsitektur kayu dan bambu, begitu menampakkan nuansa alami sebuah perkampungan tradisional. Di Kampung Kara’ba’, kita masih dapat menyaksikan rumah-rumah panggung tradisional seperti rumah kayu beserta perahu, para nelayan, dan aroma ombak laut Selat Makassar beserta hembusan angin pantai.
Foto: Komunitas Lilin
Suasana Kampung Kara’ba Makassar
Pada Minggu, 16 September 2018, Komunitas Lilin mengadakan kegiatan wisata sejarah dengan mengunjungi sejumlah bangunan tua di Kota Makassar. Dalam kegiatan tersebut, kami mengajak anak-anak Kampung Kara’ba’, karena acara tersebut masih merupakan bagian rangkaian kegiatan edukasi yang dilaksanakan bersama mereka di kampung itu selama beberapa pekan lalu. Namun, yang terpenting, melibatkan anak-anak Kampung Kara’ba’ sebagai sebentuk pembelajaran alternatif sejarah Kota Makassar melalui kunjungan ke bangunan-bangunan tua cagar budaya.
Mereka adalah anak-anak kampung-kota di pinggiran Makassar yang masih awam akan sejarah daerahnya sendiri, sehingga perlu dikenalkan secara dini mengenai pelajaran sejarah dengan metode yang menyenangkan sesuai usia dan mentalnya. Meskipun begitu, tidak hanya dari kalangan anak-anak Kara’ba saja yang antusias. Berbagai kalangan pun ikut pula berpartisipasi meramaikan kegiatan jalan-jalan ke bangunan tua di Kota Makassar, seperti mahasiswa baru Universitas Negeri Makassar, beberapa anggota komunitas budaya, serta mahasiswa Fakultas Kedokteran Unhas, dan masih banyak lagi yang merasa tertarik mengikuti.
Foto: Komunitas Lilin
Di depan Museum Kota Makassar bersama Kepala Museum dan Para Peserta
Jalan-Jalan menelusuri bangunan-bangunan tua pada pagi hari sehingga udara segar masih terasa sejuk di badan. Situs pertama yang dikunjungi adalah Benteng Rotterdam yang menjadi salah satu ikon sejarah Kota Makassar.
Foto: Komunitas Lilin
Suasana Dalam Benteng Rotterdam
Di Benteng Rotterdam, kami mengajak anak-anak Kampung Kara’ba’ dan partisipan lainnya untuk mengelilingi seluruh areal yang ada di dalam benteng. Bastion-bastion di Benteng Rotterdam, seperti Bone, Ambon, Bacan, dan Mandarsyah dan juga ruang pengasingan Pangeran RM. Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro pun tidak luput dari perhatian kami. Di sini kami menjelaskan mengenai sejarah pendirian benteng sejak masa Kerajaan Gowa-Tallo tahun 1545, berbagai perubahan fisik benteng dari berbagai periode dari VOC-Belanda sampai Jepang, hingga pengasingan Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa, dari Kesultanan Yogyakarta di Pulau Jawa ke Manado, lalu Makassar hingga akhir hayatnya (1855). Anak-anak Kampung Kara’ba’ begitu senang dan antusias ketika menelusuri sekitaran benteng. Mereka mengelilingi benteng tersebut dengan semangat, tidak ada rasa lelah yang terlihat. Setelah puas berkeliling kami pun beristirahat sejenak di taman-taman benteng yang merupakan warisan kolonial di Makassar itu.
Selanjutnya, ialah mengunjungi bangunan Radio Republik Indonesia (RRI) di Jalan Ribura’ne. Di sini, kami berdiri di depan gedung dan menjelaskan sejarah singkatnya, di mana sebelumnya bahwa tempat tersebut merupakan bekas Taman Wilhelmina (Wilhelmina Park) dan Terminal Angkutan Kota. Kami hanya singgah sejenak di bagian depan gedung RRI. Sesudah dari tempat tersebut, kami berjalan kaki melanjutkan perjalanan menuju ke Klenteng Ibu Agung Bahari atau Thian Ho Kong yang merupakan klenteng tertua di Kota Makassar.
Klenteng yang dibangun tahun 1737 oleh para perantau awal Cina dari zaman Dinasti Qing-Manchu ini, di samping berfungsi sebagai tempat ibadah Buddha sekte Mahayana, juga menjadi salah satu objek wisata yang dilindungi oleh Suaka Kepurbakalaan. Pendirian klenteng ini dipersembahkan pada Dewi Ma Co. Pembangunan awalnya dipimpin oleh Kapitan Cina Lie Lu Tjang. Di dalam klenteng ini terdapat berbagai patung dewa-dewi yang disucikan, di antaranya ialah Dewi Kwam Im Pauw Sat dan Lo Cia. Dewi Ma Co dianggap sebagai pemberi berkah dan keselamatan bagi orang-orang Cina yang menyeberang lautan. Pada tahun 1805 telah dilakukan renovasi pertama.
Klenteng ini sempat terbakar sewaktu terjadi kerusuhan anti Cina di Makassar tahun 1997. Peristiwa hanya menyisakan sedikit dari pintu gerbang depan klenteng berusia ratusan tahun tersebut yang selamat dari pembakaran oleh massa. Kini, bangunan klenteng telah mengalami pembangunan kembali seperti sedia kala dan berharap agar konflik bernuansa SARA yang terjadi tahun 1997 tersebut tidak terulang kembali (lih. Yudhistira Sukatanya & Goenawan Monoharto (editor), “Makassar Doeloe Makassar Kini Makassar Nanti“, Yayasan Losari Makassar, 2000.)
Doc Komunitas Lilin
Depan Klenteng Ibu Agung Bahari
Sesudah dari Klenteng Ibu Agung Bahari, kami bergegas menuju ke Gedung Kesenian. Dahulu gedung bernama Societeit de Harmonie ini merupakan gedung pertemuan para pejabat pemerintah kolonial di Makassar yang dibangun tahun 1896. Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini menjadi Balai Pertemuan Masyarakat. Kini gedung tersebut berstatus sebagai aset peninggalan bersejarah Pemprov Sulsel. Sambil beristirahat di depan gedung tersebut, dari jauh terdengar teriakan pemandu, “Masih semangat menelusuri jejak bangunan tua?”. Adik-adik pun menjawab, “Semangat, kakak!” dengan suasana riang gembira.
Foto: Komunitas Lilin
Berjalan Menuju Museum Kota
Sesudah dari gedung kesenian, rombongan kembali melakukan perjalanan sejarah ke Museum Kota Makassar, di mana kami disambut dengan hangat oleh Kepala Museum, yakni Ibu Nurul Chamsiany. Di depan pintu masuk museum, kami berkumpul dan Ibu Nurul Chamsiany menyampaikan beberapa hal seperti sejarah museum yang dulunya merupakan Kantor Walikota Makassar, yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada awal abad ke-20. Ibu Nunu, sapaan akrabnya, mengajak para mahasiswa, komunitas untuk saling bersinergi agar museum terus dilestarikan. Selain itu, Ibu Nunu menyampaikan bahwa di museum terdapat ruangan yang bisa digunakan untuk nonton film bersama, dan terdapat pula ruangan penyimpanan sejumlah karya seni.
[caption id="attachment_3586" align="alignnone" width="1151"] Foto: Komunitas Lilin
Salah satu ruangan di Museum Kota Makassar
Tujuan kegiatan ini adalah memperkenalkan sejarah Kota Makassar kepada anak-anak sejak dini sehingga menjadi memori kolektif ke depannya yang bisa diceritakan kepada anak-anak mereka khususnya dan umumnya untuk penerus bangsa Indonesia ke depan. Ingatan tersebut agar bisa memberikan pemahaman kepada mereka, bahwa Kota Makassar merupakan kota multikulturalisme, tidak hanya Bugis-Makassar, tetapi juga ada orang-orang Tionghoa, India, Arab, dan suku yang lain. Dengan begitu, Kota Makassar adalah kota yang beragam penduduknya dengan hidup rukun dan damai. Selain itu, mempelajari sejarah sangat penting bagi anak-anak usia dini karena mereka dapat mengetahui banyak hal yang telah terjadi di masa lampau ketika mereka belum lahir, khususnya di daerah mereka sendiri. Objek–objek sejarah merupakan salah satu bukti peninggalan sejarah yang memiliki ceritanya tersendiri. Semangat Sejarah untuk Perubahan![]