Ingatan Baru tentang Hubungan Awal Indonesia-Australia

Makassarnolkm.id

Pukul 10 pagi, saya sudah berada di Benteng Fort Rotterdam Makassar pada Selasa (21/2/2017). Di tempat bersejarah ini, akan digelar peluncuran buku karya Charles Campbell Macknight berjudul The Voyage To Marege’: Para Pencari Teripang dari Makassar di Australia. Buku ini merupakan karya yang mulai dikerjakan Penerbit Ininnawa pada 2006 dan terbit pada 2017, dengan menerjemahkannya dari edisi bahasa Inggris yang terbit pada 1976.

Beberapa orang berbaju dinas dan seorang pria bule mengenakan jas, berbadan kurus, agak bungkuk, berambut putih gondrong, dengan diselingi tawa, sedang berkerumun di depan rak yang menjual buku-buku Ininnawa. Sedangkan di pinggir kiri lapakan buku, berkumpul beberapa pria yang sedang membicarakan buku, termasuk karya C.C. Macknight. Ada juga yang sekadar mengenang masa lalunya bersama kawannya, mungkin karena acara peluncuran buku ini menjadi tempat mereka bertemu.

Di sisi kiri Benteng Fort Rotterdam, dekat bekas penjara Diponegoro, beberapa pengunjung Fort Rotterdam sedang asyik berfoto ria. Mungkin mereka sedang mengoptimalkan benteng ini sebagai tempat wisata. Cuaca hari ini cerah, berawan, tidak terlalu panas dan tidak juga mendung. Cocok untuk berjalan-jalan, apalagi di daerah pantai yang biasanya panas berlebihan.

Kegiatan peluncuran buku ini juga menjadi pra-event Makassar Biennale, ajang seni rupa berskala internasional yang akan digelar tahun 2017. Tim MB menyiapkan beberapa foto yang diambil dari The Voyage To Marege’ yang dipamerkan dalam ruangan acara. Beberapa orang dengan saksama menyaksikan dan mencoba mendalami lebih jauh apa yang ditampilkan pada gambar. Saya pun tak ketinggalan. Berkeliling ruangan yang luasnya cukup menampung 100-an orang.

Saya melihat sebuah sketsa gambar berwarna hitam dengan latar kuning yang agak sedikit buram. Di bawah sketsa itu, tertulis ‘Perahu Orang Makassar’ yang dibuat oleh William Westall, 1830. Kapal yang tidak cukup besar seperti yang biasa saya tumpangi dari Nabire, Papua, menuju ke Makassar. Perahu itu mengandalkan angin sebagai penggerak, terlihat dari layarnya yang mengembang dalam sketsa.

Saya lalu mengenang saat berada di tengah laut dalam perjalanan menggunakan kapal, dua tahun lalu menuju ke Makassar. Ketika berada di Laut Banda, hanya lautan luas tanpa melihat daratan selamanya dua hari. Banyak orang yang muntah—sebab gelombang yang berlebihan.

Apa yang dirasakan oleh orang-orang itu pada saat berlayar? Apakah sama dengan saya dan kebanyakan orang rasakan saat berlayar? Apalagi dengan skala kapal yang lebih kecil dari yang saya naiki, ditambah dengan tidak tentunya waktu tiba di Marege’ atau Australia Utara—tempat orang-orang Makassar mencari teripang. Sebenarnya saya tidak terlalu merasakan mabuk laut saat berlayar, sebab saya selalu mengunyah pinang sebagai penenang. Saya tidak pernah tahu, apakah pinang berpengaruh pada mabuk yang ditumbalkan gelombang laut atau tidak, yang pasti saya merasa agak baikan ketika mengunyah pinang.

Acara dimulai pukul 11.01 WITA, dengan dibuka dan dipandu oleh Richard Mathews dari Konsulat Jendral Australia di Makassar, ia memulai dengan menjelaskan tentang pentingnya sejarah sebagai media mengenal identitas diri, “Sejarah itu penting, melihat pengalaman orang yang benar dan salah, tapi sejarah harus benar, bukan sekadar opini,” ungkapnya mengawali acara peluncuran buku ini.

Ia melanjutkan tentang sejarah sebagai pengetahuan untuk anak-anak tentang masa lampau. “Empat puluh tahun lalu, ada sebuah buku yang menjelaskan tentang pencarian teripang yang dilakukan orang-orang Makassar yang dimulai dari pelabuhan sebelah timur Benteng Fort Rotterdam menuju Marege’ di sebelah utara Australia,” jelasnya sembari mengenalkan C.C. Macknight selaku penulis buku ini.

“Buku ini begitu penting bagi orang-orang yang mempelajari tentang sosiologi, sejarah, arkeologi, dan lainnya,” lanjut Richard Mathews.

Setelah menjelaskan sejarah singkat dari isi The Voyage To Marege dan sejarah buku ini diterbitkan, pembincang yang kedua, C.C. Macknight mengambil alih pandangan forum dengan kejenakaannya. Walau awalnya saya tidak mengerti sebab ia menggunakan Bahasa Inggris, saya hanya mengerti, ada yang lucu dengan yang ia bicarakan. Itu ditunjukkan dengan tawa dari para audiens yang mengerti Bahasa Inggris karena rata-rata yang menghadiri peluncuran buku ini adalah para peneliti, dosen-dosen, sampai media. Sebenarnya saya juga tertawa, entah kenapa. Mungkin penelitian yang dilakukan oleh Shopie Scott itu benar, bahwa tertawa bisa menular.

“Bersahaja orangnya, kelihatan sekali. Tadi waktu banyak orang ketawa, awalnya saya tidak mengerti. Saya penasaran, waktu didengar dengan saksama, ternyata orang-orang ketawa karena dia tidak tahu bukunya dikategorikan apa. Banyak sekali dibahas di dalam, mulai dari sejarah, budaya, sosiologi, arkeologi, dan lainnya,” jelas Fitirani A Dalay dalam satu obrolan malam setelah peluncuran buku.

Anwar Jimpe Rachman, sebagai perwakilan Penerbit Inninawa, menjelaskan tentang perjalanan hingga buku ini bisa diterbitkan. “Buku ini adalah salah satu sumber untuk melihat hubungan penting Indonesia-Australia dalam bentuk paling awal, sehingga kami merasa perlu untuk menerbitkan buku ini,” ungkapnya.

Ia melanjutkan tentang bagaimana 11 tahun penantian, dan buku paling lama yang dikerjakan oleh Penerbit Ininnawa. Ia juga menyinggung sedikit tentang Makassar Biennale yang tahun ini mengangkat tema maritim, sebagaimana yang dibahas dalam buku karya C.C. Macknight.

Setelahnya, Horst H Liebner melanjutkan perbincangan dengan menampilkan slide yang sudah ia atur setelah berbincang dengan C.C. Macknight. Ia menjelaskan tentang beberapa kapal yang digunakan untuk menyeberang ke Australia oleh pelaut asal Makassar untuk mencari teripang. Beberapa gambar ia tampilkan dengan penjelasan yang detail tentang kapal dengan layar segi empat: “padewakang, paduwakang” (Sulawesi) dan “paduwang” (Madura). Mempunyai akar kata wa, wangka, waga, wangga, dan bangka dari Bahasa Austronesia. Istilah tersebut diasosiasikan pada “perahu bercadik atau perahu kecil” (Adrian Horridge, The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia, 1985).

Lebih jauh, Horst menceritakan tentang mudahnya teripang yang ditemukan di laut Australia. Ia menunjukkan dua gambar tentang perbedaan itu. Yang pertama seorang pencari teripang yang hanya memegang dua buah teripang setelah mencari selama berjam-jam. Sedangkan gambar yang satunya menunjukkan seorang wanita berambut keriting memegang beberapa teripang setelah beberapa jam saja mencari di laut. Tidak lupa ia menampilkan gambar-gambar teripang, ada yang sudah diolah, dan ada yang belum. Ia pun menampilkan sebuah data yang menunjukkan jijiknya teripang, “Semua sumber sepakat, bahwa teripang itu menjijikkan,” ungkapnya sembari membaca slide yang ditampilkannya.

“Kapal-kapal dari China adalah pembeli utama teripang. Hanya saja, baru pada abad ke-18, mereka baru mengunjungi Makassar,” jelas Horst H Liebner. Horst adalah peneliti maritim yang sudah malang-melintang di kawasan Indonesia Timur, menurut pengakuan Richard Mathews pada awal ketika memperkenalkan para pembincang. Dalam slide-nya, data-data ditampilkan, salah satunya adalah data tentang teripang yang menjadi ekspor utama untuk China yang tiap tahunnya mencapai 300 ton.

Acara ditutup dengan apik oleh slide Horst H Liebner, Pengunjung berhamburan, ada yang mendatangi C.C. Macknight untuk sekadar berfoto, ada yang mengambil makanan dan minuman yang telah disiapkan oleh Consulate General Australia, dan beberapa orang yang turun ke bawah untuk membeli buku ‘The Voyage To Marege’. Setelah membeli, mereka naik kembali untuk berfoto dan meminta tanda tangan C.C. Macknight, hal lazim yang biasa kita temui dalam acara peluncuran buku.

Saya sudah berada di bawah, tempat Penerbit Inninawa menjual bukunya. Banyak yang masih membicarakan bukunya, tentang C.C. Macknight sebagai penulis buku The Voyage To Marege’, tawaran-tawaran yang tertera pada brosur yang diberikan pada pengunjung oleh Consulate General Australia, dan ada juga yang menebak-nebak bagaimana cara pelaut Makassar dulu berlayar mencari teripang.

Saya masih teringat tentang perjalanan laut saya ketika pulang dari Nabire ke Makassar, atau sebaliknya. Saya punya pengalaman yang cukup menegangkan di laut, kapal yang saya tumpangi pernah tidak bisa sandar di Pelabuhan Sorong, sebab ada perang yang terjadi di daratan. Dari pukul satu malam, hingga pukul setengah lima, saya baru bisa merasakan daratan. Belakangan saya tahu, perang yang terjadi disebabkan oleh ketidakberterimahan orang-orang lokal pada pendatang yang membunuh salah satu saudaranya. Saya berpikir liar, bagaimana tanggapan orang-orang lokal pada pelaut Makassar kala itu?[]

(Fauzan Al Ayyuby, belajar dan bekerja di Tanahindie)