Gajah di Pantai Losari
Tiga mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) membagi pengalaman masa kanak-kanak mereka sehubungan dengan Pantai Losari. Sabrianti Amiruddin secara khusus mengirim foto koleksi keluarga dan keterangan seputar foto tersebut; sementara Ayu Pratiwi dan Nurul Fadhilah melengkapinya dengan catatan pelengkap yang reflektif.
“Tampak Mama mengenakan dress berwarna hijau dengan tas selempang, bergaya vintage dengan rambut keriting. Ayah berkemeja putih. Gayanya necis ala model tahun 80-an. Dan kakak saya, satu-satunya, bernama Adin mengenakan kemeja merah dan rambut yang sangat rapi, dan aku berkepala botak dalam gendongan Mama.
Patung binatang-binatang itu berada di Taman Safari—yang sekarang dikenal dengan Laguna, Pantai Losari. Terlihat di sudut kanan bawah foto, gambar itu diambil tanggal 1 Januari 1993, ketika aku masih 2 tahun 1 minggu.
Taman Safari merupakan tempat wisata favorit Ayah bahkan sebelum aku lahir. Hampir setiap Minggu Ayah mengajakku ke sana. Katanya, aku sering merengek minta dinaikkan ke punggung gajah—sampai-sampai tak mau pulang jika belum memegang gading gajah itu. Hingga Akhirnya Ayah harus mengalah dan memopongku agar dapat mencapai gading gajah tersebut, meski tak pernah berhasil. Namun, hal itu membuatku terbahak dan puas.“
Begitu Sabrianti Amiruddin menuliskan catatan tentang dua foto di atas.
Ayu Pratiwi juga menuliskan ingatannya tentang Taman Safari, yang di lokasinya kini berdiri Laguna Café. Sesekali, kata Ayu, Atta (panggilan untuk Bapak) mengajaknya ke sana. Tamannya panjang. Di dalam ada patung gajah, luncuran, dan anek permainan.
“Hanya sebuah patung gajah biasa yang berukuran sangat besar. Mungkin karena patung gajahlah yang paling besar di taman itu, atau mungkin karena dengan menaiki patung gajah, orangtua akan menggendong kita (meski tidak akan pernah sampai),” kata Ayu.
Masih sekisaran Losari, terdapat Fort Rotterdam. “Pertama kali saya diajak masuk ke bangunan peninggalan Belanda itu sekitar tahun 2000-2001. Sekadar menemani adiknya Atta mengikuti kelas English Club. Memang dia mengikuti kelas itu setiap Sabtu dan Minggu sore. Depan Fort Rotterdam juga cukup ramai. Tenda dan meja berjejeran. Asap mulai mengepul saat malam. Sari laut depan Fort Rotterdam memang terkenal saat itu. Di sana tempat sari laut pertama saya. Setahu saya, warung sari laut pertama ada di sana. Barulah setelah perubahan tata kota, beberapa sari laut bergeser dan membuka lapaknya di tempat lain dan mulai memasuki kota,” jelas Ayu.
Jika ditanya hal-hal apa saja yang saya ingat tentang Pantai Losari, saya pasti akan menjawab, “Tidak banyak.” Ya, begitulah, saya paling susah dalam hal mengingat sesuatu. Entah itu nama jalan, tempat, nama orang, bahkan momen penting. Maka, ketika saya ‘harus’ mengingat momen-momen bersama Pantai Losari, membutuhkan beberapa saat untuk mengumpulkan keping-keping ingatan saya tentang salah satu pantai kebanggaan kota Makassar itu.
Nurul Fadhilah mengingat masa-masa ketika bulan Ramadan tiba. Sambil menunggu waktu berbuka puasa, ibunya kerap mengajaknya berbuka di Pantai Losari.
“Waktu itu, di kawasan Losari belum ada anjungan seperti sekarang, menikmati parade warung makan dan kafe-kafe di sepanjang Jalan Penghibur, menikmati pisang epe’ di antara lagu-lagu yang keluar dari bibir para pengamen Losari,” tulis Nurul.
“Losari sekarang memang tidak sekumuh dulu. Tidak seberantakan yang dulu. Saya cukup suka dengan perubahan itu. Tapi sekarang, ada anjungan yang siap kapan saja mewadahi konser dari penyanyi-penyanyi top—yang juga setahu saya, di seberang jalan ada bangunan yang bernama rumah sakit. Pandangan subjektif saya, reklamasi, revitalisasi atau apalah namanya, atas Losari telah menjadikan kenangan masa kecil saya sebagai tumbal. Satu-satu menghilang,” kenang Nurul.
Nah, pertanyaannya sekarang, kata Nurul, masihkah kenangan itu milik kita?
“Sudah berpindah ke tangan-tangan bisnis? Public space or business space? Saya bukan ahli yang mengerti tentang ada apa sebenarnya di balik berubahnya wajah Losari dari tahun ke tahun. Saya bukan ahli yang tahu dampak negatif atau positif dari pembangunan tiang-tiang pancang itu. Saya bukan ahli yang bisa mengukur seberapa tercemarnya air atau perbandingan ekosistem laut yang dulu dengan sekarang. Saya hanya mencoba memutar kenangan masa kecil saya melalui hal-hal yang masih tersisa di sana. Mencoba menemukan perbedaan senja ketika umur saya delapan tahun dengan senja saat umur saya menginjak dua puluh tahun,” begitu Nurul menulis catatannya yang dikirim via surat elektronik. []