Ekosistem Perlawanan Perempuan di Bara-Barayya
Peran perempuan dalam konflik seperti merawat aspek-aspek yang menopang sebuah ekosistem perlawanan: sosial, gizi, hingga psikologi. Bukan soal nalar saja, tapi ada hal-hal di luar dari itu yang perlu dilakukan agar tetap ‘waras’. Di Bara-Barayya, Makassar, lokasi yang sempat terancam penggusuran (dan baru-baru ini dinyatakan menang dalam sengketa lahan di Jalan Abubakar Lambogo), beberapa perempuan mengambil peran tersebut. Tugas mereka bahkan bertambah. Kewajiban sebagai ibu di rumah dibawanya keluar untuk merawat ekosistem yang lebih besar dari skala keluarga.
Ibu Yuli, ibu beranak dua, satu dari delapan belas warga yang digugat tanahnya oleh Nurdin Daeng Nombong dan Kodam XIV Hasanuddin. Ia berperan penting sebagai perawat ekosistem perlawanan di permukiman itu. Walaupun ketika awal saya datangi untuk berbincang, ia merasa tidak berbuat apa-apa. Pikir saya, begitulah seorang ibu. Ia berlaku romantis dengan cara memberi tanpa berharap ia akan dibalas setimpal. Walaupun dalam konteks Bara-Barayya, rumahnya sedang terancam digusur.
[caption id="attachment_3515" align="aligncenter" width="711"] Foto Rafsanjani
Militansi bagi saya adalah akumulasi dari pengalaman-pengalaman sulit dari sebuah konflik internal dan eksternal satu individu,yang berujung pada cara melawan. Ia mengakui sempat berpikir ‘gila’ pada fase ketika kemungkinan penggusuran menuntunnya menuju rasa takut yang lebih.
“Bagaimana tidak gila. Ka dipikir mi, masak ki air panas, baru disiram ki. Atau cari ki’ bensin, baru dibuangkan korek. Terbakar mi itu tentara, terbakar maki’ juga di dalam. Yang penting sama-sama ki’ mati,” aku Ibu Yuli.
Cara berpikir Ibu Yuli berlandaskan dari apa yang ia alami selama konflik. Selama fase itu, ia mengaku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Tekanan yang dialaminya sebagai ancaman yang nyata. Bagaimana tidak, ketika ada kabar tentang munculnya tentara, ia segera membopong anaknya untuk memastikan kebenaran berita itu. Tapi ketika sampai ke tempat yang dimaksud, tak ada tentara yang terlihat. Ini tidak dialami sekali-dua kali saja; melainkan berkali-kali dalam intensitas yang berbeda.
Dari pengakuan Ibu Yuli, salah satu fase paling berat yang dilalui warga adalah ketika warga di belakang asrama tentara sudah digusur pada 13 Desember 2017. Tidur mereka jadi terganggu karena penggusuran di belakang itu terjadi pada subuh hari. Cara menggusur yang dilakukan oleh tentara, menurut Ibu Yuli, membuat warga tersudut dan tidak bisa melawan karena tiap rumah dijaga oleh tiga puluhan tentara. Akhirnya warga di belakang dipaksa menyerahkan rumahnya untuk digusur. Penggusuran di belakang itu membuat warga gusar.
Motif mempertahankan rumah jelas tidak terlepas dari persoalan ekonomis. Uang kerohiman yang dijanjikan oleh Nurdin Daeng Nombong dan Kodam XIV Hasanuddin, selaku penggugat, hanya sebesar empat puluh juta. Bagi Ibu Yuli, ini merugikan. Ia mempunyai delapan saudara. Jika empat puluh juta dibagi delapan, hasilnya adalah lima juta. Untuk pindah rumah dengan uang sebesar itu palingan hanya bertahan berapa bulan untuk indekos. Itu sebabnya, Ibu Yuli memilih bertahan. Apalagi ia tidak gentar karena memiliki surat-surat berupa akta jual beli.
Selain perempuan, anak-anak juga menjadi bagian penting dari ekosistem perlawanan di Bara-Barayya. Dua anak ibu Yuli tidak sekolah selama dua bulan.
“Bagaimana mau sekolah, kalau na bilang ada tentara. Siapa mau urus ki di sekolah? Diliburkan memang itu sekolah. Dua bulan itu, na bantu ka’ bikin kopi. Kubilang, lebih baik begitu ko. Bikinkan kopi untuk mahasiswa. Itu mami dikerja kasihan. Masak juga,” kata Ibu Yuli.
Pendidikan di daerah konflik kemudian menjadi hal yang penting untuk kita lihat bersama. Dari situ, kita bisa melihat bagaimana anak-anak belajar bertanggung jawab atas sesuatu. Ini bisa dilihat sebagai pendidikan yang kontekstual. Bagaimana anak-anak belajar sesuatu karena memang didasari kebutuhan. Ini diakui oleh Ketua RT 06, Pak Basri, seorang yang ikut digugat. Menurutnya, semua warga, dari yang kecil hingga dewasa, mulai sadar hukum. Selama tujuh belas bulan prosesnya, mereka menghadapi persoalan yang berhubungan dengan dunia hukum.
Bahan makanan yang diolah oleh Ibu Yuli, tidak ditanggung sendirian. Atas nama solidaritas, warga yang rumahnya tidak digugat pun turut membantu di bagian makanan. Ada beberapa nama yang berperan penting merawat ekosistem perlawanan di Bara-Barayya. Ibu Yuli menyebut nama Ibu Aminah dan Tante Bannah ikut ambil bagian. Biasanya, Ibu Aminah memasak air, lalu kopi dibuat oleh Ibu Yuli. Bukan hanya pagi, kopi bahkan ia siapkan untuk siang dan malam. Seperti perawat pada umumnya, Ibu Yuli seringkali bolak-balik dari rumahnya menuju posko, tempat mahasiswa dan beberapa orang yang terlibat dalam kasus ini, untuk memastikan bahwa mereka yang berada di posko sudah selesai dalam urusan perut. Ketika baru bangun dan ingin tidur, hal-hal mengenai gizi dari orang-orang dalam ekosistem perlawanan itu selalu ia pastikan terpenuhi.
Ibu Yuli adalah potret bagaimana perempuan berperan penting dalam ekosistem perlawanan. Jika ia lebih banyak mengurusi soal gizi, Ibu Aminah selalu berusaha optimis.
“Panglima tentara bilang, ‘bulan empat di sini sudah rata’. Terus kutanya mi anak-anak, ‘siewa ki’ kalau datang tentara sebentar subuh’,” kata Ibu Aminah.Dugaan Ibu Aminah tepat. Keesokan harinya, tidak ada tentara yang datang. Ia juga mengatakan bahwa ia tidak pernah percaya pada isu kekalahan warga. Ini yang mendorong ia tetap merenovasi rumahnya, meski di tengah situasi yang tidak pasti. Ia tidak percaya jika rumahnya akan digusur oleh para penggugat. Ibu Aminah adalah tetangga Ibu Yuli. Mereka berdua yang paling sering urunan daya dan dana untuk mengurus gizi.
Ibu Aminah dan Ibu Yuli tidak gentar menghadapi tentara. Bahkan Ibu Yuli mengaku pernah merobek dan melempar surat edaran pada tentara ketika diberikan pada mereka. Ibu Aminah mengatakan, jika ada tentara, tiang listrik selalu dibunyikan sebagai pertanda. Hal ini kemudian membuat tentara harus memakai jasa hantaran Pos Indonesia untuk mengirimkan Surat Peringatan kedua dan ketiga.
Sekarang mereka berdua sudah bisa bernafas lega. Ketika mendengar bahwa gugatan atas mereka ditolak pada Selasa, 24 Juli 2018, sekitar pukul 11.00 Wita, Ibu Yuli berlari keluar dari gedung pengadilan dan mengangkat kedua tinjunya, sembari berteriak, “gugatan ditolak!”. Bahkan di depan saya, ekspresi bahagianya sangat terasa, saat mengulang-ulang gerakannya ketika mengatakan itu. Kata Ibu Yuli dan Ibu Aminah, tidur mereka pun sudah nyenyak saat ini.
Lain halnya dengan Margareta, yang akrab disapa Eta. Ia memperjuangkan tanah ibunya, Andriana Rante Bassi, yang seringkali dipanggil akrab dengan sebutan Omah. Omah adalah warga Bara-Barayya RT 06 yang menjadi saksi hidup bagaimana ia membeli tanah langsung dari ahli warisnya, Daniah Daeng Ngai. Omah membeli tanah yang kini ditinggalinya seharga Rp 151.875 (seratus lima puluh satu ribu delapan ratus tujuh puluh lima) pada 1968.
Eta adalah salah seorang perempuan dalam ekosistem perlawanan Bara-Barayya yang sangat aktif. Ia mengaku, pernah berkunjung ke Panglima TNI, Mabes TNI Angkatan Darat, Kuspomat, Kemenkopulhukam, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Pangdam XIV Hasanuddin, Kapolda Sulsel, Polrestabes, Koramil, Gubernur, juga Walikota. Kunjungan itu bermaksud mempertanyakan kejelasan tanah yang digugatkan kepada delapan belas kepala keluarga di RT 06.
Di Komnas Perempuan, ia bercerita tentang penggusuran di belakang asrama tentara. Ia mengaku menangis saat menceritakan rangkaian peristiwa itu karena takut kejadiannya juga akan menimpa rumah ibunya. Segala macam cara ia coba. Bahkan ia sempat ke Jakarta untuk melakukan aksi di depan Istana Negara.
Foto Rafsanjani
“Bayangkan, saya ke Jakarta ikut demo, dan hampir mati di sana. Waktu itu ribut mi orang. Lama sekali orasi terus tidak ditanggapi. Pas sudah rusuh, saya di depan pegang-pegang spanduk. Karena kebetulan dua orang ja’ warga yang dari sini. Pas rusuh, pergi ma’ lari. Sempat diinjak, karena masuk ka’ di bawah-bawahnya orang untuk kabur. Deh, besar-besarnya itu polisi Jakarta. Siapa tidak takut,” kenangnya. Ia berangkat naik pesawat ke Jakarta bersama tiga orang mahasiswa, bermaksud ingin menemui presiden di Istana Negara.
Berhadapan dengan tentara tidak membuat Eta gentar. Ia punya pegangan Delapan Wajib TNI yang berisi: (1) Bersikap ramah tamah terhadap rakyat; (2) Bersikap sopan santun terhadap rakyat; (3) Menjunjung tinggi kehormatan wanita; (4) Menjaga kehormatan diri dari muka umum; (5) Senantiasa menjadi contoh dalam sikap dan kesederhanaannya; (6) Tidak sekali-kali merugikan rakyat; (7) Tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat; (8) Menjadi contoh dan mempelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya. Yang pada akhirnya gugur dengan indikator Kodam menjadi mafia tanah yang ingin mengambil tanah sah milik warga Bara-Barayya. Tapi Eta masih percaya pada itu. Ia juga yakin, bahwa sebagai perempuan, tidak akan mengalami kekerasan oleh tentara karena itu.
”Karena sama perempuan beng, ndak mungkin mi lakukan kekerasan. Karena ada delapan wajib TNI,” jelas Eta. Misalnya, pernah dua sampai tiga bulan situasi mencekam karena isu bahwa militer akan masuk untuk menggusur. Jadwal ronda segera dibuat. Bukan saja melibatkan mahasiswa, tetapi semua warga. “Sampai kakakku sakit sekarang gara-gara ronda. Fisiknya memang lemah.”
Ronda dijadwalkan mulai dari jam dua subuh. Eta yang berbadan langsing itu mengaku kurang nafsu makan, bahkan baru pulang ke rumah pukul setengah enam pagi. Ia pernah menghadapi tentara. Ketika pulang dari PTUN, ada kabar bahwa mobil tentara terparkir di ujung jalan Veteran. Ia segera menuju lokasi itu. Sampai di sana, dengan jengkel, ia berkata kesalah seorang tentara, “Eh, Pak, kenapa kita tidak masuk sekalian? Masuk mi, Pak. Jangan ma ki’ takut sama warga. Kasihan itu sana anak-anak, ibu-ibu, nenek-nenek.” Ia mengatakan bahwa sembarang kata dan kalimat terlontar dari mulutnya. Tapi tentara itu diam saja. Tidak melawan. Menurutnya, itu karena Delapan Wajib TNI tadi.
Represi dari konflik di Bara-Barayya meninggalkan trauma-trauma. Omah, dari keterangan Eta, pernah hampir diculik. Ketika itu pukul sembilan malam. Lalu datang seseorang entah siapa, mengajak Omah untuk berjalan-jalan. Tapi untuk ketika itu Omah sadar dan tidak mau ikut. Trauma ini kemudian menjadi beban domestik bagi para perempuan, setelah mereka menjadi perawat dalam sebuah ekosistem perlawanan yang lebih besar. Ekosistem selalu terhubung antara satu sama lain. Ketika saya sedang duduk di pos ronda Bara-Barayya, seseorang di belakang saya yang berjarak hampir sepuluh meter berkata, ”Ndak jadi mati lombokku. Ka ndak jadi ki’ digusur.” Ia memang baru-baru ini menanam cabai di rumahnya.
Pembacaan terhadap perempuan yang menjadi korban di Bara-Barayya dilakukan oleh Muhammad Heri, salah seorang warga yang juga mengalami gugatan. Menurutnya, ibu-ibu menjadi perawat ekosistem perlawanan karena naluri bertahan, dan mempertahankan tempat tinggal yang kemudian berproses di dalam diri mereka. Maksud Heri, selama ini mereka berproses melalui momen-momen yang membuat mereka makin lama makin yakin, kemudian sadar diri untuk mempertahankan tanahnya dan merawat ekosistem perlawanan. Proses ini adalah akumulasi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi selama konflik, lalu menjadi titik balik yang makin meyakinkan mereka.
Pada dasarmya ekosistem perlawanan di daerah konflik seperti Bara-Barayya, dirawat oleh perempuan dengan cara menuggu dan melihat. Menurut Heri, pada dasarnya mereka tahu apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan, tetapi ada realita dan proses kalangan bapak yang berbeda dari para ibu-ibu. Dan mereka tidak mau campuri itu. Kalaupun proses dari bapak-bapaknya ternyata berbeda, mereka ikut arus perlawanan saja. Kata Heri, hal ini yang menyebabkan mereka butuh orang yang memahami realita mereka, dan membantu menyalurkan aspirasinya.
“Karena begitu sosial budaya ta'. Makanya mereka hanya berusaha menangkap peristiwa hingga paham, atau bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Soal metode, ya, urusan pria,” jelas Heri, mengenai para ibu yang secara naluriah mengikuti metode para bapak. Dalam konflik Bara-Barayya, para ibu, misalnya, pergi mencari dukungan di kampus. Ini dilakukan untuk mengajak mahasiswa kembali masuk ke Bara-Barayya setelah kecewa karena poskonya sempat dijadikan posko Pilkada. Para ibu juga siap pasang badan di depan kalau ada aparat yang mau menangkap mahasiswa. Kata Heri, mereka sudah pikirkan cara bertarung dengan aparat ala ibu-ibu.
“Karena metode itu riskan. Salah metode, akan jadi salah, meski maksudnya benar,” lanjut Heri.
Perlawanan ala ibu-ibu yang dimaksud Heri, seperti militansi yang diperlihatkan oleh Ibu Yuli. Ia berani merobek surat edaran di depan tentara, lalu berani berkata bahwa jika tentara datang, ia akan menyiramnya dengan bensin, lalu membakarnya. Meskipun akhirnya tentara dan Ibu Yuli itu sama-sama terbakar. Ini, menurut Heri, terpengaruh dari lingkungan, ketiadaan pilihan tempat tinggal, dan keyakinan akan hak.[]
:: Fauzan Al Ayyuby, belajar dan bekerja di Tanahindie.