Cerita Tiga Dapur Keluarga

Makassarnolkm.id

 

Ada tiga fase tempat tinggal yang selama ini saya alami dan berperan sangat penting dalam proses tumbuh kembang saya sejauh ini. Fase pertama saya sebut sebagai Rumah Pertama (rumah Nenek dari pihak Bapak), fase kedua sebagai Rumah Kedua (rumah orang tua), dan fase ketiga sebagai Rumah Ketiga (rumah semi indekos milik keluarga). Ketiganya memiliki dinamikanya sendiri lantaran saya mengalaminya selama bertahun-tahun.

Sejak tahun 2001-2009 Ibu dan Bapak memboyong kami sekeluarga menumpang di Rumah Pertama. Selama delapan tahun itu, kami melewati masa-masa penyesuaian diri sebagai keluarga penumpang. Hidup menumpang meski dengan keluarga sendiri, sering kali memunculkan perasaan tak enak. Sejak awal kami mesti memahami bagaimana cara ‘menempatkan posisi’ dan berperilaku terhadap keluarga yang ditumpangi, terutama pengambilan peran dalam pekerjaan rumah tangga.

Di Rumah Pertama, kami tinggal sebanyak sembilan orang. Dua di antaranya merupakan pemilik dan pewaris rumah ini yakni Nenek dan saudari bapak (Tante). Sisanya adalah saya, Bapak, Ibu, dan keempat saudara saya.

Ketika masih tinggal di Rumah Pertama, usia saya masih kanak-kanak hingga duduk di bangku SMP. Selama rentang usia itu, saya sudah mulai akrab dengan aktivitas sehari-hari di dalam rumah. Dalam hal ini pekerjaan rumah. Hampir semua pekerjaan itu dikerjakan oleh Ibu dan ketiga saudari saya, antara lain membersihkan area rumah (menyapu, mengepel, dan adakalanya mengelap perabot), serta yang paling utama berkenan dengan wilayah dapur (mengolah, memasak, dan menghidangkan makanan).

Sebagaimana pekerjaan rumah biasanya, aktivitas memasak di Rumah Pertama dikerjakan oleh Ibu. Boleh dikatakan Ibulah yang bertanggung jawab mengolah dan menghidangkan makanan untuk semua anggota keluarga. Begitu pun jika hari pasar, Ibulah yang bertugas berbelanja ke pasar. Sementara Nenek atau Tante biasanya hanya menitip uang belanja dan pesanan mereka berdua.

Di Dapur Rumah Pertama juga kadang digunakan secara bergantian antara Ibu, Nenek, dan Tante. Namun, itu hanya berlangsung sesekali, hanya jika Nenek atau Tante ingin mencoba membuat masakan yang diminatinya seperti nanre gore (nasi goreng dengan bumbu ulekan garam, merica, bawang putih, dan bawang merah), remme’ terung (tumis terong), atau tunu bale bete (ikan bakar bete-bete). Demikian saya mengingatnya.

Menjelang akhir 2009 kami kemudian pindah ke Rumah Kedua, rumah milik pribadi, yang hanya berjarak sepelempar batu dari Rumah Pertama. Momentum kepindahan itu menciptakan kesan tersendiri bagi saya, terutama terkait dengan gambaran dan pengalaman dapur di kedua rumah itu.

Pada dasarnya bangunan Rumah Pertama dan Rumah Kedua cenderung serupa, keduanya terdiri dari material batu bata dan memiliki dua lantai. Demikian pula dengan letak area dapur keduanya, sama-sama berada di bagian belakang dalam denah rumah. Sementara perbedaannya, salah satunya, pada ukuran bangunannya. Rumah Pertama ukurannya lebih luas demikian dapurnya.

Perbedaan lainnya juga terlihat dari tipe dan nuansa dapurnya. Area dapur Rumah Pertama terdiri dari dua petak. Memasuki petak pertama, dominasi warna abu-abu dan biru gelap seolah menyelimuti ruangan ini, tak mengenal siang dan malam, ruangan ini terasa menenggelamkan cahaya lampu putih dan pantulan matahari dari atap transparan. Petak ini selain dimanfaatkan sebagai ruang masak dan bersantap, juga jadi tempat penyimpanan koleksi barang-barang pecah belah (piring, gelas, mangkuk, dll), yang biasanya hanya digunakan pada acara-acara tertentu. Aneka perabot seperti meja makan, kulkas, kompor gas, lemari makan, dan lemari barang-barang lainnya juga terdapat di ruangan ini.

Petak pertama dapur Rumah Pertama setelah direnovasi dan berganti pemilik. Foto: Muliana Sudirman

Sementara itu di petak kedua, selain letaknya di bagian paling belakang rumah, ukurannya juga dua kali lebih kecil dari petak pertama. Cahaya lampunya pun lebih terang. Di petak ini, selain dijadikan sebagai ruang masak dan dapur basah, juga kamar mandi sekaligus toilet. Di dalamnya terdiri dari perabot kompor minyak tanah, aneka peralatan dan bumbu dapur, serta rak barang pecah belah yang digunakan sehari-hari.

Lain halnya di dapur Rumah Kedua, modelnya menyatu dalam satu petak berukuran 5 x 4 meter. Di dalamnya setidaknya terdiri dari empat bagian: tempat masak, bersantap, dapur basah, dan toilet. Aneka perabot seperti kulkas, kompor gas, lemari makanan, rak barang pecah belah sehari-hari, wadah beras, bahkan mesin cuci turut menghiasi ruangan ini.

Kedua rumah (dapur) yang diceritakan di atas berlokasi di kampung halaman saya, Donri-Donri, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan (sekitar 180 kilometer dari Makassar). Sementara dapur rumah terakhir yang saya akan gambarkan selanjutnya berada di perkotaan, yakni Kota Makassar. Dapur Rumah Ketiga.

Sebagai pengantar memasuki pengalaman Dapur Rumah Ketiga, saya ceritakan dahulu cikal bakal saya ke Makassar dan tinggal ‘di rumah ini’. Pada pertengahan 2013, tak lama setelah lulus SMA, saya mulai mengikuti ujian penerimaan masuk universitas di Kota Makassar. Dua hari masa persiapan ujian penerimaan itu, saya menebeng di salah satu rumah keluarga (sepupu) di bilangan Jalan Pelita Raya, Makassar. Sepupu saya ini adalah seorang wanita paruh baya yang bekerja sebagai pegawai tata usaha di salah satu universitas di Kota Makassar. Selama bertahun-tahun sejak awal kuliah hingga tahun 2020 saya menumpang di rumahnya, yang kemudian saya sebut sebagai Rumah Ketiga.

Gambaran bangunan Rumah Ketiga terdiri dari dua lantai. Modelnya boleh dikatakan semi rumah batu. Lantai pertama menggunakan tegel sebagai lantainya dan diperuntukkan untuk area tinggal pribadi. Sementara lantai dua berbahan dasar kayu (papan) dan beratapkan seng, terdiri dari 7 kamar—dimanfaatkan sebagai indekos berbayar. Di lantai inilah saya tinggal selama kurang lebih tujuh tahun dan digratiskan.

Seperti halnya status tinggal saat di Rumah Pertama sebagai penumpang, demikian juga di Rumah Ketiga saya menumpang hidup selama bertahun-tahun. Bedanya ketika di Rumah Pertama saya bersama keluarga inti, sementara di Rumah Ketiga hanya saya seorang diri. Berbagai dinamika telah saya alami di rumah ini, terutama bagaimana saya selama ini menyesuaikan diri di lingkungan keluarga ini.

Hidup menumpang di rumah orang, tentu ada batas yang sebenarnya berlaku di masing-masing tempat. Baik itu telah dinyatakan langsung oleh si pemilik rumah, atau secara tidak langsung kita sendirilah yang menyadarinya seiring proses adaptasi yang kita alami. Misalnya ada beberapa ruang yang sebetulnya tidak boleh diakses tanpa seizin tuan rumah, salah satunya kamar tidur. Atau contoh lain, pemakaian peralatan atau makanan-makanan tertentu di dalam rumah, tidak semuanya boleh kita pakai atau makan secara langsung, semau-maunya. Seperti kebiasaan ketika berada di rumah orang tua.

Saat masa-masa awal tinggal di Rumah Ketiga, kebiasaan makan saya bisa dikatakan bergantung dengan si pemilik rumah. Saya makan ketika ada panggilan dari keluarga dari lantai bawah. Bahkan saat makan bersama, masih saja sering muncul perasaan tak enak (bukan karena makanannya tidak enak), melainkan ketidakenakan itu muncul misalnya ketika ingin mengambil atau menambah lauk.

Sementara di waktu-waktu tertentu, ketika saya ingin menggunakan dapur, karena sering merasa sungkan, maka saya biasanya mesti menunggu orang-orang di rumah ini beristirahat di kamarnya masing-masing, barulah saya turun ke lantai bawah menggunakan dapur. Memasak air, membuat mi, menggoreng telur, sekaligus makan di meja makan.

Lantaran Rumah Ketiga ini semi indekos dan hanya memiliki satu dapur, maka dapurnya digunakan secara bergantian. Awal pagi, biasanya, dapur digunakan oleh si pemilik rumah sebelum berangkat bekerja ke kantor. Sementara penghuni indekos lainnya menggunakannya saat menjelang siang.

***

DAHULU saya adalah seorang lelaki yang “jauh” dari dapur. Jauh dalam hal ini saya andaikan sebagai sesuatu yang tidak penting untuk saya alami. Hanya menganggapnya sekadar sebagai ruang memasak—teritorial perempuan. Singkatnya, urusan dapur urusan perempuan. Anggapan itu saya pelihara hingga umur 23 tahun.

Di umur 23 tahun itu adalah masa tahun ketiga sepeninggal Ibu, tahun 2018. Selama tiga tahun itu, suasana rumah kami terasa sangat berbeda. Salah seorang yang berperan sangat penting di rumah telah pergi. Kepergiannya turut mengubah tampilan dan nuansa di dalam rumah, khususnya wilayah dapur.

Di keluarga kami, dapur adalah simbol ‘kantor utama’ Ibu yang sehari-hari bekerja mengolah dan menyiapkan makanan demi kelangsungan hidup keluarga. Kepiawaiannya dalam mengolah dan menyajikan makanan menciptakan sederet pengalaman sentimental melekat padanya, seiring dengan fungsi lain dapur sebagai ruang bersama.

Ketika Ibu masih hidup, kami masih sering berkumpul di Rumah Kedua, meski pada saat itu ketiga saudari saya sudah bekerja dan memiliki rumah pribadi. Di Rumah Kedua, kami tinggal setidaknya sebanyak tiga belas orang jika semua anggota keluarga berkumpul.

Sepeninggal Ibu, keadaan dapur keluarga kami perlahan mulai berubah. Baik dari segi tampilan, peralatan dapur, menu dan cita rasa makanan, hingga kebiasaan makan bersama pelan-pelan bergeser. Perubahan itu terjadi salah satunya karena adanya pergantian peran anggota keluarga yang bekerja di dapur. Dalam hal ini, kedua saudari saya secara bergantian menggantikan posisi Ibu di dapur selama beberapa tahun belakangan.

Tampak sisi kiri dapur Rumah Kedua. Foto: Rafsanjani

Selama proses peralihan peran itu berlangsung, kedua saudari saya tidak hanya sekadar mengisi dapur untuk memasak, tetapi juga turut mengubah tampilan dapur. Sejauh yang bisa saya ingat dan amati selama ini perubahan itu antara lain posisi lemari makanan yang dulunya berhadapan dengan kulkas—sekarang sudah memunggungi kulkas; wadah air minum yang dulunya berbahan plastik, sekarang sudah diganti dengan wadah besi; dan panci dandang yang dulunya diperuntukkan untuk mengukus nasi—sekarang sudah digunakan untuk memasak air, seiring dengan kehadiran rice cooker di rumah kami, juga perabot tambahan lainnya seperti mesin cuci turut hadir di dapur.

Kedua perabot tambahan yang disebutkan sebelumnya dihadirkan oleh kedua saudari saya dengan alasan kepraktisan di tengah kesibukannya bekerja sebagai guru sekolah. Sebelumnya, ketika Ibu masih hidup dan bekerja di dapur—kami masih menggunakan wajan dan panci untuk memasak nasi. Meski Ibu pernah ditawari oleh kedua saudari saya untuk membeli rice cooker, namun ia menolak. Begitu pun dengan mesin cuci, Ibu menolak dengan alasan ia masih kuat mencuci.

Memasak dan Mencuci di Akhir Pekan

Ibarat paket, memasak dan mencuci merupakan dua aktivitas tetap yang dilakoni Ibu. Memasak dilakukan hampir saban hari (kecuali saat ia lagi keluar daerah berdagang benang sutera [2003-2014], biasanya berangkat dua minggu sekali), sementara mencuci dilakukan setiap akhir pekan. Hampir semua pakaian kotor di dalam rumah dulunya dicuci oleh Ibu, tak terkecuali pakaian kedua cucunya yang ketika itu masih bayi. Beberapa tetangga sekaligus keluarga kami bahkan mengakui Ibu sebagai orang yang kuat mencuci, dilihat dari barisan jemurannya di samping rumah.  

Pada 2011-2013 ketika saya masih duduk di bangku SMA, jika akhir pekan, sekisar jam sembilan pagi atau menjelang siang jam sepuluh biasanya Ibu sudah sibuk memasak di dapur—menyiapkan makan siang untuk keluarga. Setelah makanan selesai dihidangkan, barulah Ibu berangkat mencuci ke sumur tetangga samping rumah.

Di waktu-waktu tertentu, jika pakaian kotor lebih banyak dari biasanya atau tiba saatnya seprai dan kain gorden akan dicuci, maka Ibu akan memutuskan mencucinya ke sungai kampung yang berjarak kira-kira dua ratus meter dari rumah. Di momen ini, saat saya masih sekolah dasar dan tinggal di Rumah Pertama (2001-2006), saya masih sering ikut ke sungai membantu Ibu mengangkat cucian atau sekadar mandi dan menikmati akhir pekan di sana.

Pada momen lain, sepulang dari mencuci dan menjemur pakaian di samping rumah lahan milik tetangga, Ibu biasanya baru makan siang di dapur. Sementara yang lainnya, saya, Bapak dan saudara saya biasanya makan lebih awal sepulang bekerja dari sawah. Begitu pun dengan kedua saudari saya yang biasanya bertugas membersihkan rumah (menyapu, mengepel, atau mengelap perabot rumah), mereka biasanya makan lebih awal.

Aktivitas pembagian kerja dalam keluarga kami saya golongkan dalam konsep sibaliparriq, yang tidak hanya terbatas atau dimaknai sebagai konsep kerja sama antara suami dengan istri. Melainkan, dalam konteks ini, konsep sibaliparriq  merentang hingga ke hubungan kerja sama antaranggota keluarga di dalamnya. Secara harfiah, sibaliparriq terdiri dari dua kata, yaitu: sibali (menghadapi) dan parriq (kesusahan, permasalahan).[1]

Kebiasaan mencuci di sungai saat masih tinggal di Rumah Pertama sampai berpindah ke Rumah Kedua masih terus dilakukan Ibu hingga kemudian ia jatuh sakit dan meninggal menjelang akhir tahun 2015. Sejak saat itu, pasca Ibu meninggal, kedua saudari saya kemudian memutuskan untuk menghadirkan mesin cuci di rumah. Sementara sumur tetangga di samping rumah sudah ditimbun—dibanguni rumah baru di atasnya, juga tidak ada lagi dari kami yang pergi mencuci ke sungai.

Pekerjaan Ibu di Luar Rumah

Selain bekerja di dalam rumah, Ibu juga dikenal sebagai pedagang sabbe’ (benang sutera) sejak 2003-2014. Selama kurang lebih sebelas tahun, setidaknya tiap dua minggu sekali Ibu berangkat ke Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat, berjualan benang sutera. Selama di sana, Ibu menginap di salah satu rumah warga di Desa Pambusuang.[2]

Sebelum berangkat ke Polman, jauh-jauh hari Ibu mesti berkeliling mendatangi rumah-rumah pemelihara ulat sutera atau pemintal benang langganannya di Kecamatan Donri-Donri, Soppeng. Setiap rumah yang didatanginya, umumnya, memiliki 1-3 kilogram benang sutera yang diambil oleh Ibu. Sekitar tahun 2009-2011 harga pasaran benang sutera per kilogram dikisaran Rp250 ribu - Rp300 ribu. Ibu biasanya membawa 8-15 kilogram benang sutera ke Polman untuk dijual. Sementara pembayaran ke langganannya dilunasi sepulang dari berjualan.

Pada rentang tahun 2003-2009, usaha sutera alam, khususnya penanaman murbei, pemeliharaan ulat sutera, dan produksi benang sutera di Kabupaten Soppeng masih cukup banyak diminati, khususnya di Kecamatan Donri-Donri. Berdasarkan data Balai Persuteraan Alam Sulawesi Selatan dalam Selayang Pandang Balai Persuteraan Alam menunjukkan bahwa, Kabupaten Soppeng sebagai kabupaten kedua terluas tanaman murbeinya dan kedua terbanyak jumlah petaninya setelah Kabupaten Enrekang (2005-2009).[3] 

 “... Petani sutera Soppeng berperan sebagai pemasok bahan baku benang sutera untuk pemintalan kain sutera yang tumbuh baik di wilayah Wajo (Sengkang), sementara Bone merupakan salah satu area konsumen penting...”[4]

Pekerjaan Ibu dalam berdagang sutera selama bertahun-tahun turut menyokong biaya konsumsi rumah tangga dan pendidikan sekolah keluarga kami, selain dari pendapatan utama keluarga dari hasil sawah yang dikerjakan oleh Bapak.

Makan Bersama, Makanan Sisa, dan Ternak Ayam

Di keluarga kami, makan bersama adalah kebiasaan yang telah berlangsung sejak lama. Setidaknya ketika saya masih kanak-kanak dan tinggal di rumah pertama, kami selalu makan bersama, terutama pada waktu makan malam. Demikian halnya di Rumah Kedua, makan bersama menjadi satu momen intim keluarga tersendiri. Berbagai kabar, pesan, dan persoalan kerap dibicarakan dan dikonfirmasi saat makan bersama. Mulai dari kondisi keuangan keluarga, pekerjaan, pendidikan sekolah, petuah, hingga harga lauk-pauk di pasar.

Pengalaman obrolan saat makan bersama di Rumah Pertama, sejauh yang bisa saya ingat, lebih bersifat ‘umum’ atau hanya mengonfirmasi kejadian di hari-hari tertentu. Misalnya jika hari pasar, biasanya, percakapan itu seperti:

Tante:“Siagana ellina onnang bale’e nila’e ku pasa’e? (Berapa harga ikan nila tadi di pasar?)

Ibu: “Masempo si mbo onnang bale’e nile’e. Seppulomi lima sebbu na lima, mallebba’ topa!” (Ikan nila di pasar tadi murah. Cuma sepuluh ribu dapat lima, apalagi ikannya lebar!).

Selain percakapan, ketika masih tinggal di Rumah Pertama, ada juga kebiasaan saat momen makan bersama seperti makanan yang tersaji di meja makan tidak semua boleh disentuh atau diambil tanpa mendahulukan Tante. Perintah itu dulunya datang dari Ibu. Mungkin karena memang ‘kami’ mesti sadar posisi. Dalam hal ini, status kami di rumah itu sebagai penumpang. Namun, biasanya kami juga ditawari oleh Tante untuk mengambil atau mencicipi makanannya.

Berbeda halnya di Rumah Kedua, semua menu yang tersaji di atas baki bebas untuk dinikmati siapa saja, tanpa ada kebiasaan seperti harus mendahulukan salah satu orang tua mencicipinya baru kemudian anggota keluarga lainnya boleh menyentuhnya. Atau di waktu-waktu tertentu misalnya, ketika ada salah satu anggota keluarga belum makan, maka sebisa mungkin makanan akan kami pisahkan sebagian dan disimpan dalam lemari makanan.

Tampaknya di keluarga kami urusan berbagi lauk sesama keluarga berlangsung secara organik. Dalam hal ini, masing-masing dari kami sudah menyadari langsung lauk-pauk yang tersaji cukup untuk semua anggota keluarga. Terlepas dari peran tangan dingin seorang Ibu dalam memperkirakan hitungan lauk mencukupi untuk semua anggota keluarga. Atau di waktu-waktu tertentu misalnya, ketika ada salah satu anggota keluarga belum makan, maka sebisa mungkin makanan akan kami pisahkan sebagian dan disimpan dalam lemari.

Usai makan bersama, aneka peralatan makan dan dapur mulai menumpuk di dapur basah (tempat cuci piring). Maka selanjutnya terbitlah cuci piring. Di bagian ini, biasanya dikerjakan oleh dua kakak perempuan saya, yang kadang bergantian tanpa ada jadwal khusus yang sengaja untuk dibuat. Piring-piring kotor yang menumpuk, beberapa di antaranya biasanya menyisakan sedikit banyak bekas makanan. Sisa-sisa makanan itu tidak dibuang percuma, atau berakhir di tempat sampah, melainkan dipisahkan dan dikumpulkan dalam satu wadah tetap di tempat cuci piring, dan dimanfaatkan untuk makanan ayam.

Sejak dahulu, ketika masih lajang, Bapak memang gemar memelihara ayam kampung, khususnya ayam aduan (manu’ bangko’). Alasannya karena hobi beternak ayam. Di sisi lain karena manfaatnya, seperti telurnya biasanya kami manfaatkan sebagai asupan energi tambahan (dengan resep: telur direbus setengah masak, kuning dan putih telurnya dicampur dengan madu satu sendok makan, lalu diaduk dan diminum). Sementara dagingnya, jadi menu umum pada hari-hari tertentu, seperti menjelang puasa Ramadan, hari raya Idulfitri, dan Iduladha.

Dedak yang telah dicampur dengan makanan sisa rumahan sebagai pakan ayam. Foto: Rafsanjani

Ayam piaraan dan sisa makanan menjadi satu bagian tersendiri dalam ekosistem pangan rumah tangga kami. Sisa makanan dari dapur seperti nasi, sayuran, ikan, kulit buah akan berakhir di kandang ayam. Sisa makanan itu biasanya langsung diberikan ke ayam, juga kadang dicampur dengan dedak hasil pabrikan gabah sendiri atau jagung pakan yang kadang-kadang mesti kami beli jika stoknya habis.

Dengan memanfaatkan sisa makanan rumah tangga sebagai pakan alternatif, kami dapat menekan biaya pakan ternak ayam seperti dedak atau jagung pakan yang harganya kadang melonjak di pasaran. Dengan begitu pemanfaatan sisa makanan rumah tangga dapat menjadi satu bentuk solusi dalam menyiasati harga pakan ternak yang semakin tinggi.

Satu hal yang patut pula kami syukuri, di waktu-waktu tertentu, biasanya salah satu sepupu sekaligus tetangga kami juga kadang menyalurkan sisa makanannya kepada kami untuk makanan ayam. Hal itu mereka lakukan karena dua ayam betinanya mereka titip kepada kami untuk dipiara dengan sistem bagi hasil, khususnya telurnya. Sejak lama mereka memang selalu mengonsumsi telur ayam kampung sebagai obat.

Dapur Rumah Kedua Setahun Belakangan

Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya, pasca Ibu meninggal, kedua saudari sayalah yang bergantian mengisi posisi dapur, mengolah dan menyiapkan makanan. Meski sebenarnya, hal itu tidak berlangsung setiap hari seperti ketika Ibu mengalaminya bertahun-bertahun lantaran keduanya sudah sibuk bekerja sebagai guru, di satu sisi. Di sisi lain, keduanya sudah berkeluarga, satunya sudah memiliki rumah pribadi, dan satunya lagi kadang ke rumah mertuanya.

Bapak sedang memasak sayur bening daun kelor, salah satu menu sayur favorit  di keluarga kami. Foto: Rafsanjani

Di tengah-tengah kesibukan kedua saudari saya itu, setahun belakangan (2019-2020) saat saya pulang kampung, Bapaklah yang lebih banyak beraktivitas di dapur. Selama saya menyaksikan Bapak memasak, masakannya kadang bervariatif, tergantung bahan yang tersedia. Dalam waktu yang bersamaan, biasanya ia memasak sayur, perkedel jagung, dendeng ikan, ikan goreng, dan ikan kuah kuning. Namun, belakangan saya lihat jika sudah ada sayur, maka tidak adalagi ikan kuah kuning, begitu pun sebaliknya.

Aktivitas memasak di dapur yang dilakukan Bapak adalah salah satu bentuk respons atas pergeseran peran anggota keluarga di dapur. Dalam hal ini, ketika perempuan tidak hadir di dapur, maka laki-laki yang akan turun tangan memasak karena dorongan kebutuhan makan. Di sisi lain, ketika Bapak masih bujang, ia memang sudah terbiasa memasak sendiri.

Sekilas Pengamalam Dapur Bapak dan Masa Sekolah

Ketika mulai bersekolah di SMA Negeri 200 Watansoppeng (sekarang bernama SMA Negeri 1 Watansoppeng), Bapak bersama delapan temannya tinggal di sebuah asrama bekas lumbung padi di Watansoppeng. Kala itu, katanya, ia bergantian dengan delapan temannya menggunakan dua tungku (dapo [Bugis]) dan periuk untuk masak nasi atau memanggang dendeng ikan. Sementara itu, tiap minggu ia berjalan kaki pulang ke rumah kakek dan nenek di Kampung Bila (berjarak 14 kilometer dari Watansoppeng) untuk mengambil bekal makanan berupa beras, gore kaluku (kelapa parut goreng), kaloko bale (dendeng ikan) untuk dibawa ke asrama.

Kelapa parut goreng merupakan salah satu lauk kesukaannya dulu ketika masih bersekolah dan tinggal di asrama. “Kami selalu berkeringat ketika makan siang nasi hangat dengan kelapa parut goreng karena rasanya yang pedas plus ruangannya yang pengap karena atapnya hanya setinggi dua meter lebih,” kenangnya. Kelapa parut goreng terdiri dari parutan kelapa tua kering yang ditambahkan dengan ulekan garam, bawang merah, merica, dan cabe rawit, lalu digoreng.

Pengalaman selama tinggal di asrama ketika duduk di bangku SMA dan kebiasaan hidup masa kecilnya ikut berpindah-pindah ke gunung bersama keluarga lainnya kala zaman gerilya (wettu’ gorilla [Bugis]) di bawah komando Kahar Muzakkar, memaksa Bapak mengenal beberapa jenis makanan yang bisa diawetkan, seiring dengan keterampilan memasak yang dimilikinya.

Keterampilan memasak selama bertahun-tahun itu kembali ia praktikkan di dapur keluarga kami sepeninggal Ibu. Tampak pula belakangan ini, ketika saudari saya memasak di rumah, secara bersamaan kadang Bapak juga masih menyumbang satu dua menu masakan tertentu.

Dari kebiasaan memasak yang dilakukan Bapak, secara perlahan saya juga mulai terapkan di beberapa kesempatan. Berbekal amatan memasak yang selama ini saya jumpai, di waktu-waktu tertentu jika ada bahan masakan tersedia di Rumah Kedua, saya sesekali bereksperimen memasak sendiri, sambil menakar-nakar ingatan cita rasa makanan yang tersimpan di memori saya selama ini. Dari sini saya berpikir bahwa dengan memiliki keterampilan dasar memasak, setidaknya saya punya satu modal penting apabila suatu saat saya tinggal di tempat yang mengharuskan saya untuk memasak.

Dari serangkaian potongan peristiwa cerita tiga fase dapur keluarga ini kemudian membawa saya pada pandangan bahwa dapur yang selama ini hanya dilihat sebagai ruang memasak atau ruang makan, sejatinya lebih jauh menyimpan pengetahuan warisan keluarga yang selama ini mungkin telah kita abaikan. Selain itu, lewat dapur pula bentangan cerita kehidupan keluarga dapat digali secara terperinci.[]

 

Catatan Akhir:


[1] Muhammad Ridwan Alimuddin, Mandar Nol Kilometer: Membaca Mandar Lampau dan Hari Ini, 2011, Yogyakarta: Penerbit Ombak, hal.146.

[2] Selanjutnya cerita detail tentang alasan Ibu memilih Polman sebagai tempatnya berjualan benang sutera, sejauh ini saya belum sempat menanyakan kepada Bapak yang lebih tahu tentang riwayat Ibu berdagang benang sutera.

[3] Lihat Tabel 1. Data Luas Tanaman Murbei Per Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, Selayang Pandang Balai Persuteraan Alam, 2010, hal.13.

[4] Hasanuddin & Bernadeta AKW,2016,  Lembah Walennae: Lingkungan Purba dan Jejak Arkeologi Peradaban Soppeng, Yogyakarta: Penerbit Ombak, hal. 208.