Catatan dari dapur: Paccukka dalam budaya makan di Sulawesi Selatan

Makassarnolkm.id

 

 

Makanan selalu menjadi bahan perbincangan menarik, terutama di masa pagebluk saat ini. Orang-orang kini lebih banyak berkegiatan di rumah, memulai kebiasaan baru, termasuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk memikirkan tentang makanan mereka. Makanan (kembali) menjadi bagian penting keseharian masyakarat. Memilih dan mengolah bahan pangan untuk disantap di rumah menjadi bagian penting yang dipikirkan matang-matang oleh mereka yang memasak. Tidak jarang pertanyaan seperti “masak apa lagi hari ini?”, “besok mau makan apa?”, dan pertanyaan sejenis terlontar untuk mengurai kebosanan terhadap makanan-makanan yang selalu disantap setiap hari dalam masa pagebluk.

Di sisi yang lain, masa pagebluk ini membuka memori-memori kita terhadap ragam makanan masa kecil serta memantik kita untuk mengeksplorasi lebih jauh pengalaman baru dalam menyantap makanan. Suatu hari saat di-rumah-saja, saya menyantap sebuah kudapan khas Bugis yang siang itu disajikan ibu saya, lawa’. Saya pun melahapnya habis tanpa nasi, meresapi nikmatnya ikan mentah dipadu rasa kecut yang menggeliat di mulut, memenuhi lidah. Rasa ini sungguh melekat di kehidupan saya sejak kecil, termasuk bagi sebagian besar masyarakat Bugis yang bermukim di Kabupaten Wajo.

Lawa’ adalah ikon kuliner masyarakat Wajo. Tidak hanya itu, jenis-jenis makanan berbahan baku ikan banyak terdapat di wilayah ini, seperti parede bale (ikan masak), bale tunu (ikan bakar), tafa bale (ikan asap), dan sebagainya. Makanan jenis ini tidak hanya ada di Wajo tapi di sebagian besar wilayah di Sulawesi Selatan terutama di dataran rendah dan wilayah pesisir. Wilayah Luwu memiliki kuliner sejenis yang disebut pacco’, namun yang membedakannya dengan lawa’ di Wajo adalah penggunaan kelapa sangrai dan jenis ikannya. Jika di Wajo menggunakan ikan khas dari danau Tempe, di Luwu menggunakan ikan laut. Selain itu, terdapat juga kapurung yang menjadi makanan khas masyarakat Luwu yang umumnya menggunakan kuah dan daging ikan sebagai bahan utamanya.

Namun, diantara semua jenis makanan khas masyarakat Sulawesi Selatan yang disebutkan di atas, hal yang jarang kita perhatikan adalah bahan utama penopang rasa makanan khas tersebut, yakni peng(k)ecut atau paccukka. Rasa asam dari paccukka adalah peletak dasar rasa utama dalam kuliner khas Sulawesi Selatan, terutama di wilayah dataran rendah. Di dapur rumah kami, jeruk nipis dan cempa (asam), terutama lemo gona adalah bahan yang selalu ada. Karena mulai dari lawa’, kapurung, ikan masak, hingga ikan bakar yang merupakan sajian wajib di rumah memerlukan kedua bahan tersebut.

Lawa’ dengan ikan mentah akan menjadi terasa hambar tanpa sensasi kecut dari lemo kopasa’ atau lemo gona, begitupun dengan Kapurung, tak akan berarti tanpa lemo gona, dengen, atau patikala (kecombrang). Bale tunu kurang segar rasanya tanpa caneneng (belimbing wuluh) atau cecca’ pao (cacahan mangga muda). Semua bahan-bahan tersebut memiliki satu ultimatum rasa, yakni asam atau cukka yang membentuk rasa kuliner khas masyarakat Sulawesi Selatan. Lantas bagaimana asam menjadi komponen yang amat penting dalam komposisi kuliner masyarakat Sulawesi Selatan?

Mengapa paccukka begitu penting?

Ada banyak alasan yang bisa menjelaskan mengapa paccukka menjadi sangat penting dalam membentuk kuliner khas masyarakat Sulawesi Selatan. Hal paling mendasar adalah pertanyaan mengenai mengapa kita merasakan rasa kecut? Dalam buku How flavors works: The science of taste and aroma, menjelaskan bahwa keasaman berfungsi dalam pengawasan metabolisme biologis tubuh [1]. Hal ini berarti asam yang kita rasakan adalah sebuah bentuk respons alami tubuh dalam upaya mengontrol kestabilan atau keseimbangan metabolisme, termasuk di dalamnya terkait dengan pH darah dan kerja sel dan jaringan tubuh. Rasa asam (sense of sourness) juga berfungsi untuk mengidentifikasi apakah makanan itu masih layak atau tidak untuk dikonsumsi, akibat adanya perubahan kualitas, rasa, dan bau oleh reaksi enzimatis atau akibat aktivitas bakteri. Karen kedua reaksi tersebut dapat mengubah struktur kimia bahan pangan memiliki level keasaman yang lebih tinggi.

Dibandingkan dengan jenis asam lainnya, jenis asam yang paling cepat direspons oleh tubuh adalah asam sitrat dan asam tartarat. Kedua zat asam ini banyak ditemukan di jeruk sitrus, anggur, dan tamarin. Jeruk sitrus, termasuk di dalamnya jeruk nipis, lemon dan famili-familinya adalah bahan pangan yang banyak digunakan secara global untuk memberikan sensasi asam pada makanan untuk menambah kenikmatannya. Kita mengenal penggunaan bahan ini di wilayah mediterania, juga mempengaruhi komponen kuliner di wilayah eropa. Tidak jarang makanan-makanan mewah yang ada di wilayah tersebut menggunakan sitrus sebagai bumbu utamanya.

Meskipun citrus banyak digunakan di wilayah mediterania dan Eropa, asal sitrus tidak berasal dari sana. Para ilmuwan percaya bahwa sitrus berasal dari wilayah Asia Tenggara dan tersebar di sebagian kepulauan nusantara. Penelitian arkeo-botani dari Universitas Tel-Aviv menunjukkan sebaran spesies asli dan hibrid dari beragam famili citrus, sebagian besarnya berasal dari dan  tersebar di dataran Asia Tenggara [2].  Jenis sitrus yang sangat familiar dikonsumsi di Indonesia untuk bumbu masakan saat ini adalah jeruk nipis (Citrus aurantiifolia) dan jeruk purut. Namun di berbagai tempat, seperti di Sulawesi Selatan terdapat jenis-jenis sitrus lokal endemik, seperti lemo gona di Luwu maupun lemo pattompang di wilayah Wajo dan sekitarnya. Jenis sitrus tersebut diperuntukkan untuk lawa’ maupun kapurung. Sebagian besar masyarakat yang berasal dari daerah-daerah tersebut, termasuk ibu saya yang berasal dari Luwu mengatakan bahwa lawa’ dan kapurung yang enak dan asli itu menggunakan lemo gona untuk pengkecutnya.

Tidak hanya jeruk nipis, ragam pengecut yang juga banyak berasal dari wilayah Asia, khusunya Asia Tenggara seperti tamarin (Tamarindus indica), mangga (Mangifera indica), hingga buah dengen (Dillenia serrata) yang dianggap langka saat ini memiliki peran penting dalam kelengkapan rasa makanan khas Sulawesi Selatan. Keragaman khas bahan pengecut ini sangat lekat dengan ragam sumber protein utama masyarakat Sulawesi Selatan yakni dari laut dan perairan darat (danau). Bahan laut yang mudah busuk (perishable food) dapat menjadi salah satu alasan utama mengapa masyarakat dataran rendah Sulawesi Selatan maupun masyarakat maritim secara umum dikaruniai ragam jenis bahan paccukka. Sebab komponen rasa ini penting untuk memudahkan masyarakat mengidentifikasi kualitas apakah bahan pangan (perairan) tersebut masih layak untuk dikonsumsi.

Namun, penggunaan pengkecut atau paccukka saat ini semakin menurun baik dari segi jenis maupun jumlah seiring dengan berubahnya pola konsumsi masyarakat dan ekologi sumber pangan utama (ikan). Hutan-hutan sagu di wilayah dataran rendah yang menyimpan banyak ragam bumbu dapur pelengkap kapurung, kini terkonversi menjadi lahan perkebunan, sawah, dan bangunan. Di wilayah danau tempe, kini keberadaan ikan endemik yang cocok sebagai bahan utama lawa’ mulai sulit ditemukan, bahkan kini hadir berbagai spesies baru (alien species) yang menjadi predator baru dan merubah rantai makanan ikan di perairan danau.

Berubahnya pola konsumsi masyarakat terutama generasi muda di Sulawesi Selatan, dari berbasis ragam ikan dan sumber perairan menjadi berbasis ayam dan daging sapi juga berkontribusi pada hilangnya fungsi dan ragam pengecut di wilayah ini. Namun, makanan sebagai budaya juga bersifat dinamis. Dalam proses perubahan budaya tersebut terdapat proses akulturasi maupun asimilasi baik proses pengolahan maupun bahan yang digunakan. Sebagai contoh nasu palekko, kuliner khas Sulawesi Selatan yang terbuat dari bebek/ayam yang pedas. Kuliner ini menggunakan asam sebagai bumbu utama yang wajib ada. Kuliner ini, merupakan salah satu contoh bagaimana penggunaan asam masih menjadi komponen penting dalam proses transisi perubahan makanan di Sulawesi Selatan.

Saya bersyukur setiap hari masih menemukan dan mengkonsumsi bahan pengecut di dapur. Bahan yang sangat penting sebagai simbol budaya makan yang juga sebagai frontier pelestarian alam. Masa pagebluk ini, sekali lagi memberikan peluang bagi kita untuk melihat secara mikroskopik tidak hanya di piring makan kita tapi juga dapur, komponen-komponen pembentuk rasa utama masakan yang kita santap di rumah kita. Catatan dapur ini juga membuat kita sadar bahwa makanan tidak hanya tentang bahan utamanya, tetapi juga tentang komponen-komponen yang membentuknya, seperti paccukka. Mengeksplorasi komponen tersebut, dalam hal ini paccukka merupakan pintu yang membawa kita kepada perspektif makanan yang lebih luas.

 

Referensi

[1] Choi, N.‐E. and Han, J.H. (2014). The Origins of Taste: Why do we Taste?. In How Flavor Works (eds N.‐E. Choi and J.H. Han). doi:10.1002/9781118865439.ch2

[2] Langgut, D. (2017). The citrus route revealed: from Southeast Asia into the Mediterranean. HortScience, 52(6), 814-822.