Cakar Di Punggung Aroepala
Bisnis cakar atau pakaian bekas import pernah sangat merajai dunia fashion di kota Makassar tapi kemudian meredup karena ekonomi yang semakin membaik. Saat ini geliat cakar sepertinya sudah mulai kembali, utamanya di sepanjang jalan Aroepala. Berikut ini cerita dari seorang warga tentang bisnis cakar yang mulai ramai kembali di Jl. Aroepala [MksNolKm]
Bangunan itu sederhana, hanya beberapa batang bambu yang dijadikan tiang penyangga dan atap sederhana dari terpal. Tidak ada dinding, kecuali satu bagian yang ditutupi terpal biru. Lebarnya sekira 5 meter dan memanjang ke belakang sekira 15 meter. Beragam pakaian dijajar di bagian samping dan tengah menggunakan hanger atau gantungan pakaian. Di lantai teronggok pakaian lainnya, ada jeans, kaos, jaket dan kemeja. Sementara di bagian depan beberapa pakaian lain digantungkan menghadap keluar. Sebagian besar adalah jaket, sisanya adalah celana jeans.
Pemiliknya seorang lelaki berkopiah haji berusia sekira 50an tahun. Orang-orang memanggilnya pak Haji, pasti karena kopiah haji putih yang dikenakannya. Dan mungkin memang dia sudah menunaikan ibadah haji. Pak Haji mengaku dulunya berjualan di daerah Panciro, sekitar 3 KM arah Selatan kota Sungguminasa. Selain di Panciro beliau juga punya kios di Jl. Malino. Baru beberapa bulan ini pak Haji mencoba peruntungan berjualan cakar di Jl. Aroepala atau yang kadang disebut Jl. Hertasning Baru.
Hampir setahun belakangan ini bisnis cakar atau pakaian bekas import menggeliat lagi di Makassar dan kawasan Jl. Aroepala jadi pusat barunya. Sepanjang Jl. Aroepala kita bisa dengan mudah menemukan kios-kios cakar, permanen maupun sementara. Ketika tulisan ini dibuat (28/5) bahkan sudah ada 2 sentra cakar yang merupakan gabungan beberapa kios cakar.
Cakar pernah sangat merajai bisnis pakaian jadi di Makassar pada akhir 90an dan awal 2000an. Ketika itu ekonomi Indonesia sedang tertatih-tatih selepas terjangan krisi ekonomi tahun 1997-1998. Ekonomi yang tidak stabil itu membuat daya beli masyarakat melemah dan membuat masyarakat mencari cara terbaik untuk bisa tetap bertahan.
Cakar kemudian hadir sebagai satu alternatif meringankan beban masyarakat. Harganya yang jauh di bawah harga pakaian baru sangat menggoda. Belum lagi deretan merk berkualitas yang jika dipajang di mall atau departement store bisa memaksa masyarakat menengah ke bawah menggelengkan kepala saking mahalnya. Tapi di cakar, barang bermerk seperti YSL, Hugo Boss, Nautica, Levis dan lain-lain bisa dijangkau dengan harga sangat murah meski tentu saja kondisinya sudah tidak baru lagi.
Soal kondisi, para penggila cakar yang jumlahnya makin bertambah setiap hari nampak tidak peduli. Sebagian besar memang masih sangat layak pakai. Kadang ada cacat sedikit seperti sobekan kecil, warna yang agak pudar atau bekas luntur. Tapi itu tidak jadi halangan untuk membelinya, bahkan beberapa penggila cakar menjadikan cacat kecil itu sebagai alasan untuk meminta harga yang lebih murah.
Sebagian besar cakar datang dari Asia Timur seperti China, Korea Selatan dan Jepang. Sisanya dari Eropa, Amerika dan Australia. Jalur kedatangan cakar ini melalui Malaysia dan masuk ke Indonesia lewat beberapa daerah di Kalimantan yang memang dikenal sebagai jalur gelap barang selundupan. Dari Kalimantan barang ini masuk ke Sulawesi Selatan melalui pelabuhan Pare-Pare. Makanya kota Pare-Pare juga terkenal sebagai pusat cakar. Bukan hanya pakaian, tas dan sepatu saja tapi bahkan sampai alat elektronik seperti kulkas dan televisi. Bahkan seorang kawan pernah membeli mesin mobil bekas di Pare-Pare.
Dari Pare-Pare barang bekas itu menjalar ke berbagai kota di Sulawesi Selatan, termasuk Makassar tentu saja. Karena sifatnya yang selundupan maka barang ini sempat jadi polemik. Aparat hukum tentu tidak membiarkannya masuk begitu saja hingga kadang tersiarlah kabar tentang penyitaan beberapa karung pakaian bekas import di pelabuhan. Pengusaha garment lokal juga sempat menjerit hebat karena barang dagangan mereka kalah bersaing dari cakar padahal mereka sedang mencoba bangkit pasca terpaan badai krisis ekonomi.
Pertengahan tahun 2000an ekonomi Indonesia makin membaik. Usaha garment nasionalpun makin menggeliat utamanya pakaian untuk anak muda yang lazim dikenal dengan nama distro. Pendapatan makin meningkat dan harga makin terjangkau, di sisi lain aliran barang bekas import makin seret. Ini jadi faktor yang membuat sinar cakar mulai meredup di pertengahan tahun 2000an hingga akhir tahun 2000an.
Beberapa sentra cakar di Makassar mulai tutup, begitu juga para pedagang cakar yang berdagang secara sporadis. Sentra cakar yang masih bertahan seperti di Sentra Cakar Ratulangi dan Daimaru perlahan mulai banting stir. Isinya tidak melulu barang bekas import tapi barang-barang baru seperti jam tangan, kaca mata dan parfum yang mereka beri label: barang kapal. Belakangan beberapa pedagang malah mulai menjual pakaian baru produksi Bandung yang diberi harga murah. Kawasan Toddopuli yang jadi pusat gudang dan peredaran cakar juga mulai sepi, hidup segan mati tak mau. Beberapa pedagang masih membuka lapak tapi rasanya hanya seperti sebuah keharusan karena toh sepanjang hari lapak cakar mereka nyaris tidak kedatangan pembeli.
Sekira enam tahun belakangan ini Jl. Aroepala semakin ramai. Jalan sepanjang kurang lebih 2,5 KM ini menghubungkan Jl. Hertasning di Timur dan Jl. Tun Abdul Razak di Barat, sekaligus memangkas jarak tempuh dari Kab. Gowa ke kota Makassar. Volume kendaraan makin meningkat pesat, begitupun dengan hunian di sepanjang jalan ini. Perlahan, perekonomian juga ikut menggeliat di sisi Jl. Aroepala.
Entah siapa yang memulai, sekisar satu tahun belakangan ini pedagang cakar hadir di punggung Aroepala. Awalnya hanya pedagang musiman yang memanfaatkan lahan kosong di tepi jalan, menggelar tikar dan menumpukkan dagangan begitu saja. Beberapa di antaranya digantung agar terlihat lebih menggoda. Satu yang memulai dan yang lain mengikuti, jadilah Aroepala semakin ramai oleh para pedagang cakar.
Hari ini kalau Anda menyusuri Jl. Aroepala maka dengan mudahnya Anda akan menemukan cakar-cakar di punggung Aroepala. Bukan cakar yang berhubungan dengan kuku, tapi cakar singkatan dari cap karung untuk menandai pakaian bekas yang memang didistribusikan menggunakan karung. Cobalah sesekali mampir, siapa tahu Anda berjodoh dengan satu-dua merek terkenal.