Bale Jujju Lepe’ : Siasat Memanjangkan Umur Makanan di Kota

Saban pagi, panggilan tak terjawab dari nomor bapak masuk. Panggilan di pagi-pagi buta itu adalah pertanda bahwa saya harus pergi ke jalan Petta Punggawa, Makassar untuk mengambil sekarton bahan makanan yang dikirimkan orang tua dari kampung. Saya bergegas menghubungi supir mobil yang membawa kiriman itu. Akhirnya tibalah satu karton berisi pisang kepok muda, pacukka (asam mangga), beberapa bungkus mie instan dan primadona lauk pendamping nasi yang selalu saya nantikan, bale rakko boro-boro. Boro-boro dalam istilah di Luwu merujuk kepada tingkat kekeringan bale (ikan) yang dijemur. Jika bale rakko (ikan kering) pada umumnya dijemur berhari-hari sampai betul-betul kering, bale boro-boro tidak. Ikan ini hanya dikeringkan kurang lebih sehari sehingga tekstur ikannya masih agak basah.
Ikan kering beserta teman-temannya itu dikirim lewat mobil pikap yang setiap hari lalu lalang membawa ikan bandeng segar dari empang-empang tambak yang ada di Luwu Timur ke Kota Makassar. Lewat pikap inilah orang tua saya kerap mengirimi berbagai bahan makanan yang bisa membantu saya lebih menghemat pengeluaran di kota. Kiriman itu biasanya ditata dalam satu kardus indomie biar gampang diselip di depan kursi duduk sopir. Saya juga biasanya jemput barangnya dengan motor, jadi kiriman berukuran satu kardus indomie yang sejauh ini paling ideal bisa saya bawa.
Proses pemilahan ikan bandeng sesuai ukuran sebelum dimasukkan ke gabus dan dibawa menggunakan pikap/mobil box ke Makassar. Berlangsung di Desa Bahari, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. (Foto: Wilda Yanti Salam)
Isi kardus itu selalu berubah, tergantung obrolan sehari sebelumnya dengan ibu via telepon. Kadangkala juga saat saya minta bawang merah dan putih, ibu justru kirim tomat dan lombok. Kadang juga saya minta pepaya, tapi yang dikirim setandan pisang. Semuanya bisa berubah, ini tergantung dua hal.
Pertama, jadwal meminta kiriman. Jika saya teleponan dengan ibu hari rabu, biasanya bahan makanan pesanan saya lebih lengkap karena esok harinya ibu akan ke pasar. Di kampung saya, pasar sentral buka tiap kamis dan minggu. Ibu saya akan pergi ke pasar di antara dua waktu itu tiap subuh.
Kedua, buah apa yang bisa dipanen. Kami sekeluarga tidak punya kebun, semua sudah dijual waktu saya kecil. Syukurnya, beberapa lahan milik keluarga dan warisan nenek ditumbuhi banyak pohon pisang, kelapa, pepaya, ubi kayu, pohon jeruk nipis dan belimbing wuluh. Sanak keluarga bisa memetik hasil dari berbagai tanaman itu sesuai kebutuhan. Di sinilah sumber pisang atau pepaya yang biasa ibu kirim untuk saya.
Meskipun bahan-bahan makanan kiriman itu selalu berubah, ada satu bahan makanan yang tidak perlu kami bicarakan untuk dikirim tapi ibu akan mengirimnya. Bahan itu adalah bale rakko boro-boro itu. Ibu sudah tau bahwa selain bale nasu (ikan masak) ikan kering adalah lauk kegemaran saya. Sebetulnya, bukan cuma saya, seluruh anggota keluarga saya juga gemar ikan kering. Kami gemar karena kami dibiasakan oleh ibu makan ikan ini.
Model pengawetan ikan macam inilah yang paling mudah dikerjakan ibu. Cara mengolahnya mudah. Ikan bandeng yang masih segar sisik-sisiknya dibersihkan, lalu ikannya dibelah dua, dilumuri garam, dan dikeringkan. Setelah cukup kering, dimasukkan ke dalam kulkas. Ikan siap digoreng menjelang makan. Bale rakko boro-boro ini sangat memudahkan kami sekeluarga khususnya ibu untuk meringkas jam memasak dapur.
Bale rakko boro-boro yang telah digoreng. (Foto: Wilda Yanti Salam)
Soalnya, ibu juga harus membagi waktunya melayani pelanggan yang datang untuk makan gado-gado di warung depan rumah kami. Saat ibu sibuk melayani pelanggan, dan saya sudah lapar, saya menggoreng ikan itu sendiri. Kakak saya juga melakukan hal yang sama. Tapi tidak dengan bapak, dia hanya mau makan itu kalau ibu atau kami yang gorengkan.
Rumah di samping halte yang penuh keberuntungan
Pelanggan yang makan di warung ibu biasanya adalah pappangempang (nelayan tambak) dan sawi’, sebutan untuk penjaga empang tambak. Mereka semua adalah perantau dari Pinrang dan Pangkep, belakangan orang Bugis Sidrap, Soppeng, dan Bone mencoba juga peluang menjadi nelayan tambak karena hasilnya yang lebih menjanjikan dibanding kebun jangka pendek seperti cabai dan jagung.
Pappangempang dan sawi’ ini selalu bergantian pulang ke kampungnya setiap hari. Mereka selalu menunggu bus di depan halte di samping rumah saya. Dulu, ibu saya juga jualan es batu di rumah, waktu listrik belum masuk ke empang. Jadi, mereka yang mau pulang kampung ini akan mengawetkan ikan bandeng, ikan mujair atau udang ini pakai es batu yang dibeli di rumah saya.
Jarak halte dan rumah hanya beberapa puluh meter. Jadi, kami menjual es batunya pake ember biar hemat plastik. Biasanya, saat ember tempat es batu itu dikembalikan, beberapa ikan bandeng segar sudah ada di situ. Ikan bandeng segar bukan cuma dari penunggu bus di halte itu, ibu juga kadangkala dapat ikan dari kenalan-kenalannya sesama orang Pinrang yang menjadi nelayan tambak. Kami bersyukur, mesti tidak punya empang, kami tidak pernah kekurangan ikan. Ikan-ikan segar ini biasa segera disulap jadi ikan masak pendamping kapurung. Jika ikan segar itu tiba dan kami semua sudah makan, saat itulah ibu mengubah ikannya menjadi bale rakko.
Bale Jujju Lepe’ sebagai Siasat
Sayangnya, tidak semua bahan makanan yang saya nikmati di kampung, bisa saya olah dengan perlakuan yang sama di kota. Saya bisa saja membeli ikan bandeng yang segar dari penjual ikan sekitar pondokan dan mengeringkannya sendiri. Sialnya, ada satu kucing tua, sebut saja Baco’ yang selalu mengintai apa saja yang penghuni pondokan putri ini kerjakan. Berniat menjemur saja saya enggan, jika membayangkan kehadiran Baco’ yang menyebabkan tidak ada satupun sudut di pondokan yang aman untuk menjemur ikan.
Di pondokan, saya juga tidak punya kulkas untuk menyimpan bahan makanan. Jadi, bale rakko boro-boro kiriman dari kampung itu tidak bisa digoreng sedikit-sedikit karena nanti malah membusuk. Harus digoreng sekaligus saat ikan itu tiba. Semalaman saja menuju Makassar, aromanya sudah mencolok. Ketika digoreng, aroma ikannya menyebar ke seluruh kamar pondokan bahkan ke rumah tetangga terdekat.
Ketika beberapa ekor ikan selesai digoreng, saya tidak mungkin menghabiskan itu sekaligus. Selain boros, perut saya juga tidak cukup. Olahan ikan ini juga harus segera dimakan saat hangat agar lebih nikmat. Kalau sudah dingin, kenikmatannya turun beberapa persen. Jadi, satu-satunya cara agar kenikmatan ikan itu bisa terus terasa dan umurnya bisa lebih panjang, saya mengubahnya menjadi bale jujju lepe’.
Bale artinya ikan, jujju, telunjuk, dan lepe’, menjilat. Sebetulnya olahan ikan ini sudah umum di kalangan orang Bugis yang tinggal di daerah pegunungan. Olahan ikan satu ini bisa awet berhari-hari asal dihangatkan terus menerus. Hal yang penting dalam proses pembuatannya adalah kualitas ikan segar yang akan dijemur. Bumbu dan kematangan ikan saat digoreng juga berpengaruh. Mengolah bale rakko boro-boro menjadi jujju lepe’ cukup mudah. Kita hanya perlu menumbuk ikan itu sampai agak halus, menambahkan beberapa biji lombok sesuai selera, garam secukupnya dan menyiramnya dengan minyak kelapa panas. Belakangan, saya hanya menyiram dengan minya kelapa sawit. Minyak kelapa membuat ikan ini beraroma lebih wangi. Aroma itu tidak ada di minyak kelapa sawit. Agar lebih nikmat, bisa ditambahkan irisan jeruk purut ke dalam ikan yang telah dicampur itu.
Tampakan Bale rakko boro-boro yang telah diolah menjadi Bale Jujju Lepe'. (Foto: Fitriani A. Dalay)
Bale jujju lepe’ siap disantap dengan nasi hangat dan sayuran hijau. Kalau kita mau memakan ikan ini dalam jangka waktu yang lama, kita hanya perlu membuatnya lebih asin dengan banyak garam dan juga lombok. Rasa asin dan pedas yang signifikan membuat lidah kita merasa perlu menyeimbangkan itu dengan rasa tawar. Rasa tawar ini didapatkan dari nasi hangat dan sayur hijau yang juga menjadi karbohidrat pendamping.
Sepiring Bale Jujju Lepe' dinikmati bersama sayur santan labu, sambal terasi, tempe goreng, dan nasi putih. (Foto Wilda Yanti Salam)
Usaha kita untuk menyeimbangkan rasa itu menyebabkan porsi nasi akan lebih banyak dibanding ikan yang kita ambil. Kalo pengalaman saya, dua setengah sendok nasi sebanding dengan seujung sendok bale jujju lepe’. Cara makannya pake tangan, kita menyentuh bale jujju lepe’ itu dengan ujung jari telunjuk lalu menjilatnya, rasa asam pedis yang seketika hadir di ujung lidah membuat tangan kita spontan menggenggam sebanyak mungkin nasi masuk ke dalam mulut.
Setelah rasa asam pedis itu hilang, kita akan terus menggunakan telunjuk untuk merasakan asam pedis dan aroma khas ikan ini, kita biasanya tidak sadar bahwa beberapa piring nasi telah habis untuk menetralisir rasa asam pedas ikan itu dan seketika merasa takjub bahwa bale jujju lepe’ tidak berkurang signifikan di dalam piring. Kita akan merasa kenyang karena perut telah penuh nasi. Sedangkan ikan hanya hilang sedikit, disinilah siasat ekonomis dan lauk umur panjang ini bekerja.
Konon menurut cerita yang beredar di kampung saya, bale jujju lepe’ inilah yang menyebabkan banyak orang bugis sukses di kampung ini dibanding warga asli. Di kampung saya di Luwu Timur yang dikelilingi oleh sungai dan dekat dengan laut, menyebabkan warga asli terbiasa menikmati ikan segar yang melimpah. Perubahan pemukiman warga yang semakin menjauhi laut dan banyak warga yang berhenti berprofesi menjadi nelayan, menyebabkan warga di kampung saya sebagian besar uangnya habis untuk beli ikan. Tante saya di kampung terkadang menghabiskan uang 20 ribu hingga 60 ribu untuk membeli ikan yang hanya dikonsumsi satu hari.
Bayangkan perbandingannya dengan satu keluarga yang hanya mengonsumsi bale jujju lepe’ yang barangkali modalnya tidak lebih dari 15 ribu untuk makan sehari atau bahkan lebih. Sekali lagi, selain memperpanjang umur lauk makanan di kota, bale jujju lepe’ adalah satu siasat menghemat dan memperpanjang nafas ekonomi keluarga.