Bahasa Gaul Dulu dan Sekarang
Ilustrasi
“Pacaran maki do’.” (Kita pacaran aja yuk)
“Mdedeh, toloaaa (dengan “a” yang panjang)” (Halah, memangnya saya tolol?)
Itulah sepenggal percakapan dalam bahasa Indonesia dialek Makassar yang juga digabung dengan bahasa dan istilah Makassar. Percakapan di atas terjadi puluhan tahun yang lalu, istilahnya juga menggunakan istilah yang sedang populer kala itu. Puluhan tahun yang lalu berarti sekisar tahun 90an, ketika saya masih berseragam putih abu-abu.
Salah satu istilah yang sedang populer kala itu adalah “toloa” atau secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai “memangnya saya tolol?”. Entah siapa yang pertama memakainya tapi setahu saya di lingkungan pergaulan saya kala itu istilah “toloa” sangat populer. Istilah itu dipakai ketika kami membantah sebuah pernyataan atau instruksi dari lawan bicara, khususnya jika permintaan atau instruksi itu dianggap sebagai pernyataan atau instruksi tolol.
“Pake baju pink mako nanti keluar.” (Nanti pake baju pink aja keluar)
“Toloaaaa, ndak moja!” (Memangnya saya tolol? Tidak mau!)
Itu contoh lain dari penggunaan istilah “toloa”. Dua contoh penggunaan di atas mungkin sudah cukup membuat Anda paham kapan dan bagaimana istilah “toloa” digunakan.
Tahun 1990an internet belum seperti sekarang, hanya kalangan tertentu saja yang bisa menggunakannya dan karenanya penetrasi budaya dari luar juga belum sederas seperti sekarang. Anak-anak daerah (begitu kami biasa menyebutnya) belum terlalu mudah mengikuti perkembangan gaya anak-anak muda di Jakarta. Akibatnya, istilah-istilah yang muncul dan sering kami pakai juga adalah istilah-istilah lokal yang tumbuh dari pergaulan kami sehari-hari.
Selain istilah “toloa” ada satu istilah lagi yang kala itu cukup populer dipakai anak-anak muda. Istilah itu adalah “nagigit makie” dengan beragam variannya. “Nagigit makie” atau kadang ditulis dengan “nagigi’ makie” secara harfiah bermakna “Kena gigit deh saya”. Kalimat ini biasanya dilontarkan spontan ke lawan bicara yang dianggap terlalu pongah atau sombong. Misalnya, seorang kawan datang dengan memamerkan hasil ujiannya yang sangat bagus ke teman-temannya yang hasil ujiannya biasa saja. Seorang temannya yang agak kesal dengan spontan akan berucap “Na gigit makieee” atau “kena gigit deh saya”. Tentu ungkapan ini mengandung nada kesal karena sikap kawan pertama yang pongah.
Selain dua istilah jadul itu ada satu lagi istilah yang tiba-tiba saya ingat. “Tantarakokah?” atau berarti “memangnya kamu tentara?”. Istilah ini biasanya dilontarkan ke lawan bicara yang gayanya sok memaksa seakan-akan dia tentara yang punya kuasa. Entah kenapa di antara sekian banyak orang yang berkuasa tentara yang dipilih untuk jadi istilah. Kenapa bukan polisi, pejabat atau sejenisnya? Entahlah, kala itu saya juga hanya jadi pengguna istilah.
Semua Berubah.
Masuk ke milenium baru, internet makin mudah dijangkau dan digunakan. Kalau sebelumnya pengguna internet hanya orang-orang tertentu saja maka masuk ke milenium baru pengguna internet makin beragam. Bukan hanya kaum terpelajar atau kaum intelek saja tapi anak-anak sekolah sampai pekerja sektor non formil juga sudah mahir berselancar di dunia maya.
Internet memunculkan produk-produk baru yang semakin hari semakin mudah dijangkau dan digunakan. Namanya media sosial, bentuknya beragam. Dari Friendster, Multiply sampai dua yang paling fenomenal saat ini: Facebook dan Twitter. Pesatnya perkembangan internet dan media sosial kemudian seperti memangkas jarak dan menerabas sekat-sekat yang dulu jadi pemisah antar daerah. Internet membuat semua terlihat datar dan terhubung satu sama lain tanpa ada sekat.
Karena saling terhubung maka apa yang terjadi di pusat keramaian dengan cepat menyebar ke tempat lain yang seakan berputar di sekeliling pusat keramaian. Di Indonesia pusat keramaian itu adalah Jakarta, jadi apa yang terjadi di Jakarta dengan cepat menyebar ke tempat lain dengan bantuan internet dan media sosial. Bukan hanya informasi, gaya hiduppun begitu. Apa yang sedang laris manis dinikmati orang-orang Jakarta dengan cepat juga dicicipi oleh orang-orang lain di luar Jakarta yang tentu saja terhubung dengan internet dan media sosial.
Tidak heran kalau istilah-istilah anak muda yang kerap disebut istilah gaul juga dengan cepat merebak ke tempat-tempat lain di luar Jakarta. Istilah seperti masbulo, keles, atau epenkah dipakai anak Jakarta, dipopulerkan di twitter dan akhirnya tersebar ke seluruh Indonesia dan digunakan anak-anak gaul lainnya di luar Jakarta. Apa yang sedang laris di Jakarta dengan cepat juga menjadi sesuatu yang laris di luar Jakarta, berterimakasihlah pada internet yang jadi jembatannya.
Anak-anak muda gaul Makassar sekarang dengan ringannya menggunakan istilah-istilah gaul yang diserap dari anak-anak gaul Makassar. Setahu saya hanya sedikit istilah gaul lokal yang dipakai anak-anak gaul Makassar, itupun lebih banyak dipakai di lingkungan sub urban. Mungkin karena anak-anak gaul di kawasan urban lebih memilih istilah gaul impor dari Jakarta karena terkesan lebih keren daripada istilah gaul lokal.
Begitulah, internet memang membuat orang terhubung dengan mudahnya satu sama lain. Tapi, internet juga membuat orang-orang jadi gampang kehilangan identitas lokal karena terlalu silau pada sebuah identitas yang kebetulan hadir dari pusat keriuhan. Menjamurnya istilah gaul dari seberang yang dipakai oleh orang-orang lokal mungkin hanya satu contoh kecil bagaimana internet benar-benar melancarkan sesuatu yang bernama globalisasi itu.
Puluhan tahun lalu ketika salah satu dari kami secara tidak sengaja menggunakan kata-kata gaul dari Jakarta atau sekadar menyelipkan kata “sih” dalam kalimat maka dengan cepat teman lain akan menimpali: mdedeh, akletteki Monas! (Monasnya pindah), ini untuk menyindir teman yang seakan-akan sok Jakarta. Tapi, sekarang semua berubah. Atau, mungkin saya saja yang kurang gaul? Kalau iyya, masbulo? Masalah buat loe? [dG]