Apa Lagi yang Kau Dustakan dari Karst

Makassarnolkm.id

Pada awal September 2021 lalu, Dahri Dahlan, seniman cum peneliti dari Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur bertandang ke Pangkep. Kedatangannya dalam mengisi residensi di program Makassar Biennale 2021 (MB 2021).

Satu hal yang mendorongnya memilih Pangkep karena magnet karst. Lebih jauh ke dalam, adalah lukisan purba berusia rerata 40 ribuan tahun yang menempel abadi di dinding karts. Terlebih lagi setelah penemuan lukisan cadas figuratif tertua di dunia rupanya berada di salah satu bukit karst di Pangkep yang kini dikenal Bulu Sipong 4.

Masih di bulan September, juga dalam gelaran MB 2021, setelah Dahri menyelesaikan masa residensinya, datang lagi dua orang seniman, Taufiqqurrahman ‘Kifu’ dan Dian Anggriani Putridari komunitas Sudut Pandang Palu, Sulawesi Tengah, dan seorang lagi, Syahrulla ‘Ule’ juga dari Kalimantan Timur yang mengisi residensi dengan ketertarikan serupa: lukisan cadas di dinding karst.

Mengapa lukisan purba itu begitu menarik? Apa manfaat bagi keberlangsungan umat manusia? Dua pertanyaan ini menyeruak ketika keempat seniman tersebut tampak takjub melihat langsung lukisan itu di sejumlah gua.

Di sepanjang masa residensi, semua seniman meresponsnya dengan ragam pendapat. Dahri yang datang pertamalah membawa kepingan karst seukuran kepalan tangan yang didapat sisa batu fondasi pembangunan rumah warga.

Kepingan karst yang tampak biasa saja itu menjadi penanda penting baginya. Tentu alamiah saja bagi yang baru mengalami atau melihat langsung bukit karst. Tetapi, tentu saja, itu peristiwa mengentak.

Ule juga mengumpulkan variasi batu (found object) yang didapat dari jelajah yang dilaluinya di sejumlah lokus. Kifu dan Dian mencoba melakukan rekonstruksi karya ke dalam presentasi dan menghubungkannya dengan pengalamannya selama tinggal di Pangkep.

Dari presentasi Kifu dan Dian ada gelitik dari fenomena yang dialaminya. Ia merasakan sesuatu yang kontras selama ia tinggal di Pangkep, yang merasakan bagaimana pasokan air dari pipa PDAM yang bermuara di mata air di bukit karst justru tak bisa diandalkan.

Air dan Karst

Ada hipotesa di kalangan peneliti mengenaikeberadaan karts, air, dan lukisan cadas. Hipotesa ini ingin menjawab tentang mengapa manusia purba mendiami dan berpindah dari satu gua ke gua yang lain di kawasan karst.

Salah satu corak peradaban umat manusia selalu ditandai dengan air. Pasokan air merupakan syarat dalam menghidupi sumber makanan yang dibutuhkan manusia. Bila melihat praktik kebudayaan pengelolaan air yang dilakukan warga yang hidup di kawasan karts, maka pemuliaan sumber mata air itu menjadi ingatan dan tindakan kolektif.

Misbah Maggading, kawan dari Tondong Tallasa, salah satu kecamatan pegunungan di Pangkep mengisahkan bagaimana warga memperlakukan sumber mata air yang bersumber dari karst itu dimuliakan. Ada ritual yang dilakukan sebagai pagar untuk melindungi sumber penghidupan.

Di Tompobulu, desa yang berada di Kecamatan Balocci, juga wilayah pegunungan di Pangkep, warga mengembangkan dan menjaga pengelolaan mata air dari karst dengan tetap mempertimbangkan keseimbangan ekologis.

Aliran sumber mata air itu dipagari untuk memberi batasan agar hewan liar atau ternak tidak langsung meminum air di kolam yang menjadi tempat pemasangan selang ke rumah warga. Karena air itu terus mengalir menuju sungai kecil yang terhubung dengan irigasi persawahan warga, maka aliran yang di luar pagar itulah tempat hewan liar memperoleh haknya.

“Karst itu bagai galon raksasa,” ucap Ady Supriadi, kawan penggiat karst dari Kampung Belae, salah satu kawasan karst di Pangkep yang menyimpan banyak lukisan purba di sejumlah sebaran gua. Galon raksasa merupakan simbol tentang bagaimana karst dapat menampung air dan mengalirkannya kembali melalui siklus ekologis yang kompleks.

“Satu ciri khas karst di Pangkep itu karena masih hidup,” tukasnya lagi. Maksud ‘hidup’ di sini karena bukit karts menjadi ruang hidup flora dan fauna. Keseimbangan ekologis menjadi penanda jika karst di Pangkep menjadi semesta mahkluk hidup, termasuk bagi manusia yang peroleh manfaat dari ketersediaan pasokan air.

Mengapa pembangunan kerap mengorbankan pemberi kehidupan? Pertanyaan klasik yang selalu mendapat jawaban klise ini kembali muncul ketika liputan Eko Rusdianto di mongabay.co.id tentang adanya rencana peledakan bukit karst di Kampung Sela Desa Mangilu di Pangkep sebagai bagian dari pembangun jalur rel kereta api. Tautan liputan ini menyebar dari medsos ke medsos hinga merayapi percakapan sejumlah grup WhatsApp.

Tentu ada kekecewaan, rentetan momen yang tersaji sebelum isu itu beredar, selain peristiwa banjir yang tahun ini terparah di Pangkep, dua hari sebelumnya digelar acara pesta rakyat Geopark Maros Pangkep.

Momen yang kontras. Satu sisi Geopark ini tengah menjawab assessment UNESCO agar kawasan Geopark Maros Pangkep diakui sebagai global geopark, tetapi di sini lain, sepertinya abai pada keberadaan karst.

Melalui linimasa media sosial, muncul kampanye petisi online menolak peledakan bukit karst di Kampung Sela, salah satu yang menyebar itu adalah ia yang menerima penghargaan dari gelaran pesta rakyat yang digelar Geopark Maros. Semakin menambah daftar kontras. Dan, kita sepertinya mendustakan apa yang telah diberikan kawasan karst untuk kehidupan.[]

Referensi

https://www.mongabay.co.id/2021/12/10/pembangunan-rel-kereta-akan-ledakkan-bukit-karst-di-pangkep/