Melambat dalam Tiga Episode Mabuk
KUCURAN KERINGAT di badan saya seketika seperti beku bertemu air conditioner geladak dua depan itu. Dua kotak persegi palutan penawar mabuk kendaraan terbaring di atas kasur matras krem bertulisan hitam “Fasilitas PT PELNI, tidak untuk diperjualbelikan”. Tempat tidur itu hanya berukuran delapan puluh kali dua ratus sentimeter. Itu pula yang akan saya tempati melewatkan tiga hari sembilan jam perjalanan dari Makassar menuju Nabire pada Sabtu 01.00 Wita, 22 November 2025.
Di sebelah kiri saya ada seorang pria Papua dari Sorong beserta rombongan dari Makassar yang terdiri empat orang pria bersuku Makassar. Di sebelah kanan saya, dua sejawat juga dari Makassar yang bakal turun di Sorong, katanya mau mengitari kota cari gawai rusak untuk dibeli.
Sebenarnya tiket yang saya pegang berada di geladak empat bilangan empat ratus dua puluh satu. Tapi ketika berada di depan kasur, seorang anak kecil sedang tidur dengan perempuan paruh baya di sampingnya.
Dengan nada galak, seorang kerabat perempuan paruh baya itu bilang, “Kenapa, Pak? Ini anak kecil terpisah dari ibunya. Kasur anaknya di situ,” sambil menunjuk matras di seberang deretan itu tepat di tengah rombongan keluarga dari Manokwari yang berangkat dari Jakarta.
Saya sebenarnya tak masalah jika mesti pindah kasur. Tapi caranya bicara bikin saya jengkel. Padahal, jelas-jelas, ketika pesan tiket ada pilihan “satu keluarga” jika beli daring agar diberi kasur berdempetan. Atau kalau beli luring justru lebih memungkinkan lagi untuk lakukan itu karena bisa bicara langsung ke petugas.
Saya pasang wajah datar dengan sedikit kerut kening ketika ia arahkan saya ke tempat tidur lain yang ia maksud. Di tempat itu, saya dihadapkan lagi dengan rombongan lain yang juga minta saya tukar tempat. Lantaran sudah jengkel dari awal, sepotong suara kadung patah dan sumpal mulut. Hanya anggukan kecil sampai ia sadari persetujuan saya.
Dengan carrier berisi baju dan makanan di punggung, tas punggung di dada berisi kamera dan peratan lainnya, serta dua totebag masing-masing menggantung di lengan kanan dan di lengan kiri, saya ikuti seorang lelaki dari mereka turun ke geladak dua. Sampai di sana, ada sepotong tas ditutupi sarung. Saya benar-benar hampir meledak sampai ia berhasil pindahkan tas itu ke kasur sebelah dengan penjelasan kasur itu miliknya. Selesai sudah drama kasur ini.
Lelaki itu salami saya diiringi permintaan maaf. Lagi-lagi hanya anggukan yang bisa saya beri. Ketika ia naik kembali ke geladak empat, saya menaruh barang-barang bawaan. Menaruh satu totebag biru berisi makanan di bawah kasur, carrier, totebag putih berisi baju, dan tas kamera di sandaran kepala.
Saya sempat menuju geladak lima, tempat ruang informasi berada untuk titip tas kamera. Tapi petugasnya ketika itu sedang berada di ruang kemudi. Seorang di antara mereka, bilang ke saya kalau besok pagi saja kembali dengan sebuah keyakinan bahwa barang itu tidak akan hilang selama perjalanan dari Makassar ke Sorong, “Kalau masih sekitaran sini, masih aman. Nanti kalau di Papua baru rawan”. Sirna sudah harapan saya untuk minimal kurangi jumlah barang yang diawasi selama perjalanan, utamanya perluas ruang bergerak di kasur itu.

Petugas yang bicara kerawanan itu sebenarnya bicara soal copet. Ini sudah jadi rahasia umum. Seorang penumpang di geladak dua, dua baris depan dari tempat saya tidur, ketika kopernya dicuri dan dihamburkan isinya di geladak luar kapal, diceramahi oleh penumpang lain—baik orang Papua, maupun pendatang—ketika ia mengaku tak tahu menahu soal kerawanan ini.
“Saya kira di Sorong saja rawan,” jelas pria kisaran dua puluh tahunan yang datang dari Fakfak ke Sorong dan lanjut perjalanan ke Jayapura.
Ia kehilangan barangnya ketika pelabuhan sandar di Manokwari.
“Pokoknya sepanjang dari Sorong ke Jayapura tuh, jaga barang baik-baik,” jelas petugas kapal.
Dua kotak persegi palutan penawar mabuk itu terbaring di kasur ketika saya hendak pilih makan yang mana. Satunya berwarna biru artic dengan ilustrasi pesawat, kapal, mobil, dan kereta api. Ini penawar mabuk paling populer yang jadi andalan banyak penumpang. Berisi sepuluh tablet, dengan merk Antimo Dimenhydrinate yang diproduksi PT Phapros. Satunya lagi, berwarna putih dengan garis biru teal berisi dua puluh lima gram dengan merk Fisherman’s Friend varian spearmint yang diproduksi DCH Contract Manufacturing di Malaysia.
Kedua penawar mabuk itu diberikan oleh Kak Piyo dan Irma. Kak Piyo kasih saya Antimo dan Irma beri Fisherman’s. Di kapal, Antimo bahkan dijajakan oleh pedagang asongan dan begitu laris sewaktu gelombang tiba-tiba hidangi penumpang kepusingan dan mual.
Sebenarnya Fisherman’s Friend bukanlah murni penawar mabuk. Fungsinya melegakan tenggorokan, menyegarkan napas, dan mengatasi bau mulut dengan sensasi mint yang sejuk. Tapi pilihan saya justru permen Fisherman’s Friend ini ketika hendak hindari mabuk laut selama perjalanan. Dan ternyata ampuh!
Tapi dua palutan penawar mabuk itu justru beri saya kesadaran lain soal waktu.

Makassar dan Ekstraksi dalam Percepatan
Ritme waktu di Makassar seringkali begitu cepat. Meski tanpa disadari, ia seperti dilipat oleh kesadaran lain justru lawan dari percepatan itu sendiri: kebudayaan, hancurnya nilai-nilai tradisional.
Hancurnya nilai-nilai tradisional pada beberapa segi memberikan implikasi pada hancurnya ikatan-ikatan yang menyatukan bersama berbagai kelompok sosial berskala kecil. Disintegrasi berbagai kelompok berskala kecil juga dipromosikan oleh fakta bahwa kondisi-kondisi modern yang seringkali cenderung mengharuskan individual-individual untuk bergerak ke lokasi-lokasi baru, memisahkan diri mereka sendiri dari komunitas-komunitas mereka. Melampaui semua hal tersebut, masyarakat teknologis telah melemahkan ikatan-ikatan keluarga dan komunitas-komunitas lokal apabila masyarakat tersebut ingin berfungsi secara efisien.[1]
Untuk memahami konteks ini, di Marinaleda misalnya, kota kecil di wilayah selatan Spanyol, 100 kilometer dari Sevilla, yang selama 40 tahun terakhir berjuang tanpa kenal lelah membangun sebuah utopia. Sejak akhir 1970-an warga melancarkan gerakan protes dan pendudukan lahan milik para aristokrat kaya dan menjadikannya landasan bagi cara hidup koperasi dan perekonomian berkelanjutan di kota itu. Sanchez Gordilo, walikota Marinaleda, percaya bahwa tanah harusnya dimiliki oleh mereka yang menggarapnya. Bukan di tangan kaum bangsawan yang tidak pernah menyentuhnya. Ia melihat ini jadi sebab para pemilik latifundios (perkebunan pedesaan yang luas), berinvestasi pada tanaman gandum yang dapat diolah dengan mesin, diawasi oleh sedikit mandor; sedangkan yang ia bayangkan, yang terjadi di Marinaleda misalnya, tanaman seperti articok dan tomat dipilih justru karena tanaman tersebut membutuhkan banyak kerja. Logikanya, mengapa “efesiensi” harus menjadi nilai yang penting dalam masyarakat, bila ia justru merusak kehidupan manusia”.[2]
Makassar belakangan jadi salah satu tempat bangsawan, pemerintah, berinvestasi pada kebudayaan. Sayangnya, kebudayaan itu dalam kerangka percepatan yang berorientasi pada hasil seperti ekstraksi audio visual dengan finasilasi yang ketat dan kadung terburu-buru. Orientasi pada hasil itulah yang bikin ini juga jadi tidak menyenangkan.
Ada proses-proses lain yang lebih “melambat” dan tidak dalam kerangka “efisien” lantaran melibatkan banyak sekali orang-orang baru sekalipun. Proses yang masih dalam kerangka kerja tapi diikuti dengan satu kata kunci penting: bakti. Kerja bakti bisa mengubah hubungan di antara pekerjanya meski berada di tengah dunia kapitalisme sekalipun. Kerja bakti bisa membuktikan orang-orang dapat bekerja untuk alasan lain yang bukan uang. Bagi Sanches Gordilo, inilah tindakan makar terhadap kapitalisme dari dalam.[3]
Palutan penawar mabuk seperti Antimo ini menunjukkan juga logika ini. Orang seperti dipaksa hanya meminum satu pil tablet untuk perjalanan lewat kendaraan apapun. Ekstraksi dalam satu tablet seolah bisa melipat waktu berpindah dalam keadaan tetap bugar. Padahal penting juga mengalami perpindahan itu dengan kondisinya yang natural. Misalnya mabuk laut. Ini lahirkan banyak sekali daya paksa yang munculnya solidaritas lantaran setiap orang berusaha menjadi penolong bagi yang lain. Setidaknya menemaninya bercerita atau sekadar memberinya penawar mabuk seperti permen jahe, atau apapun yang kita punya.
Kondisi kedua ini saya sadari ketika akhirnya permen Fisherman’s yang saya bawa, juga permen jahe dan dua potong jahu ukuran ibu jari “raksasa” yang diberikan Kak Piyo, akhirnya beredar di orang-orang di geladak dua sepelemparan batu dari kasur saya itu. Kalau penawar mabuk seperti Antimo tidak mempan, orang-orang tidak lagi memikirkan bagaimana “menghilangkan” tapi justru “mengurangi”. Saya sempat bercanda ingin tarik biaya dan ada yang dengan bersemangat ingin membayar kalau mabuknya berkurang lepas makan permen itu. Dan ajaibnya orang-orang merasa mabuknya berkurang. Mungkin salah satunya karena kami setelah itu terlibat dalam percakapan panjang dan mulai ngobrol satu sama lain.
Dalam kepulangan ke Makassar setidaknya tiga tahun terakhir ini, saya alami mabuk yang lain: mabuk kebudayaan. Kata ini kali pertama saya keluarkan setelah dalam sebulanan ada banyak sekali kegiatan yang bisa saya datangi. Ini tentu saja angin segar. Ada banyak sekali komunitas dan orang-orang yang bekerja untuk proyek-proyek kebudayaan. Di satu sisi, ini boleh jadi seperti perpindahan yang terlalu cepat. Kita hanya seperti sedang naik pesawat lalu minum penawar mabuk, tidur, atau menonton, dan tiba lalu berpindah lagi ke pesawat lain. Dalam perjalanan itu, kita mungkin tidak kenal siapa orang yang duduk di sebelah kita di pesawat sebelumnya.
Mungkin juga karena saya terlalu introvert. Kurang mampu berpindah dengan cepat dan dalam percepatan itu mesti larut dalam kerumunan orang. Hal ini disebabkan otak saya yang tidak mampu berpindah dengan cepat untuk sekadar memahami sajian isu tiap program yang saya datangi. Ekstraksi-ekstraksi audio-visual silih berganti seperti halnya berpindah tanpa sempat mencerna atau minimal menyadari tempat apa yang saya singgahi sebelumnya. Seperti halnya naik pesawat dan transit di beberapa kota.
Itu barangkali bakal sulit terjadi ketika kita naik kapal. Sebulanan lalu, awal November 2025, dalam tiga hari delapan jam, saya singgahi empat pelabuhan yang akhirnya membuat saya ingat makanan khas masing-masing daerah. Sorong dengan keripik keladi atau Manokwari dengan abon gulungnya, lantaran setiap pelabuhan selalu dipenuhi pedagang asongan yang naik ke atas kapal untuk berjualan, atau penumpang yang turun cari oleh-oleh atau makanan segar lantaran bosan dengan makanan di atas kapal. Atau juga kita tahu kondisi kota lewat percakapan dengan orang-orang yang turun di kota itu selama kami ada di atas kapal. Percakapan-percakapan yang harus terjadi lantaran hal-hal kecil, seperti diminta tolong menjaga barang bawaan ketika seseorang hendak pergi ke geladak luar atau mandi sebentar. Ini hal-hal yang bakal terhidang selama perjalanan “melambat” barangkali dalam bentuk apapun.

Melambat memang membosankan. Tapi justru itu yang membikinnya jadi penting. Dalam berbagai kesempatan,kebosanan mendasari sebagian besar tindakan manusia, baik yang bersifat positif maupun negatif. Bagi Bertrand Russell, kebosanan adalah faktor dalam perilaku manusia yang kurang mendapat perhatian daripada yang seharusnya. Ia meyakini kebosanan telah jadi satu kekuatan pendorong besar zaman sejarah, dan itu masih terjadi sampai saat ini lebih dari sebelumnya.
Dalam novela Georg Büchner juga, Leonce und Lena: “Apa yang tidak diciptakan orang dari kebosanan! Mereka belajar karena kebosanan, bermain karena kebosanan, dan akhirnya mereka mati karena kebosanan.” Pada versi yang lebih kuat ditemukan dalam Lenz karya Büchner yang lebih tragis: “Kebanyakan orang bermain karena kebosanan belaka, beberapa jatuh cinta karena kebosanan, yang lain berbudi luhur, namun yang lain lagi bejat. Sedangkan bagi saya, sama sekali tidak ada – saya bahkan tidak ingin bunuh diri, semuanya terlalu membosankan”.
Senada dengan itu, Stendhal menulis dalam On Love: “Kebosanan merenggut segalanya dari seseorang, bahkan keinginan untuk mengakhiri hidupnya.” Bagi Fernando Pessoa, kebosanan dikatakan begitu radikal sehingga bahkan tidak dapat diatasi dengan bunuh diri, hanya dengan sesuatu yang sepenuhnya mustahil – tidak pernah ada sama sekali. Kebosanan digunakan sebagai penjelasan untuk segala macam tindakan dan untuk ketidakmampuan total untuk bertindak.[4]
Apa yang terjadi di Makassar mungkin juga gejala ini. Orang-orang berusaha justru agar tidak bosan dan mencari hal-hal ‘menarik’ dengan cepat. Tanpa disadari, efek lain juga dari percepatan yang dikelola media massa komoditas utamanya adalah 'informasi menarik' – tanda-tanda yang merupakan barang konsumsi murni, tidak lebih.
Karl Philipp Moritz bilang terdapat hubungan antara minat dan kebosanan, dan bahwa hidup harus menarik untuk menghindari 'kebosanan yang tak tertahankan'. 'Ketertarikan' selalu memiliki masa simpan yang singkat, dan sebenarnya tidak memiliki fungsi lain selain untuk dikonsumsi, agar kebosanan dapat dijauhkan. Kita tidak dapat mengambil sikap terhadap sesuatu tanpa adanya minat yang mendasarinya, karena minat memberikan arahnya. Namun, seperti yang ditekankan Heidegger, minat saat ini hanya diarahkan pada hal yang menarik, dan hal yang menarik adalah apa yang sesaat kemudian dianggap biasa saja atau membosankan.
Kata ‘membosankan’ berkaitan erat dengan kata ‘menarik’; kata-kata tersebut tersebar luas pada waktu yang hampir bersamaan dan frekuensinya meningkat pada tingkat yang hampir sama. Dalam esainya 'Sang Narator', Walter Benjamin menegaskan bahwa 'pengalaman telah jatuh nilainya'. Hal ini terkait dengan munculnya bentuk komunikasi baru dalam kapitalisme tinggi: informasi. 'Informasi [ . . . ] mengklaim dapat diverifikasi dengan cepat. Syarat utamanya adalah informasi tersebut tampak "dapat dipahami dengan sendirinya" [ . . . ] tidak ada lagi peristiwa yang datang kepada kita tanpa terlebih dahulu dijelaskan.’ Meskipun pengalaman memberikan makna pribadi, hal ini dirusak oleh informasi.[5]
Kebosanan selama di atas kapal, justru bikin saya jadi punya ruang untuk merenungi diri sendiri. Ini penting mengingat “informasi” tidak mendahului pengalaman selama berada di atas kapal. Kebosanan di atas kapal tentu saja melahirkan hal menarik. Misalnya, saya jadi punya kawan bicara baru yang menjelaskan soal sejarah kapal, masuknya barang elektronik ke Papua, sampai pengalaman kecil meladeni anak tetangga kasur untuk bermain sementara ibunya beristirahat sebentar. Ini picu pengalaman estetis, solidaritas, sampai perenungan terhadap apa yang ada di sekitar kita dan apa yang kita punya.
Semacam Prolog: Turun dari Kapal dan Naik Pesawat
Saya mungkin juga naik pesawat kelak. Merogoh kocek lebih dalam agar bisa bertemu kembali dengan kawanan saya di Makassar. Mungkin juga hanya sesekali lantaran pilihan-pilihan itu tidak selalu dimungkinkan oleh geografis dan keuangan tentu saja. Ketika ke Makassar dalam tiga tahun terakhir, saya jarang sekali bertemu kawanan saya. Ini berita baik tentu saja lantaran mereka sibuk dengan kebudayaan yang mereka galakkan dalam berbagai kesempatan. Buruknya, tak seberapa. Saya hanya tak bisa bertukar tangkap pikiran atau pandangan lain dari apa yang saya kerjakan dari jauh dengan banyak kawanan. Meski begitu, saya selalu beruntung menemukan tempat terbuka dan menyenangkan untuk pulang ke Makassar: Kampung Buku.

Ini juga jadi semakin mempersempit sebenarnya definisi saya tentang Makassar. Karena di Kampung Buku, saya mengalami Makassar dengan cara yang lebih “lambat” lantaran tak disodorkan ekstraksi kecuali jika itu memang diperlukan. Kedatangan saya kali ini justru dikontekskan ulang lewat makanan, misalnya. Kesadaran ini muncul lantaran saya merasa didukung dan terhubung lantaran pilihan makanan yang sama: ubi. Ini bagi saya bukan hanya soal gastrokolonialisme semata. Ini soal hubungan yang lebih personal dan puitis: ketika “tetangga” memahami apa yang sedang kau kerjakan dan apa yang butuh untuk diberi sebagai dukungan. Untuk itu, saya mesti berterima kasih pada Kak Piyo, Kak Jim, Isobel, Habiba, Irma, Al, dan Ardi untuk itu.
Sebenarnya bukan hanya makanan. Upaya melibatkan orang-orang yang datang dalam pekerjaan tim kecil semacam yang Tanahindie lakukan di Rock in Celebes (RIC) 2025 menghubungkan ulang orang-orang yang sudah lama tidak di Makassar. Saya mengalami itu sebagai sebuah kesenangan dan kepuasan. Belakangan, saya menyadari ini dan seperti membaca diri saya sendiri soal dorongan manusia dalam manifesto yang ditulis Ted Kazynski “Industrial Society and Its Future”.

Ted membagi dorongan manusia ke dalam tiga kelompok: (1) dorongan yang dapat dipuaskan dengan upaya minimal; (2) dorongan yang dapat dipuaskan tetapi hanya dengan mengorbankan upaya yang sungguh-sungguh; (3) dorongan yang tidak dapat dipuaskan secara memadai, betapa pun besarnya upaya yang dilakukan.[6]
Bagi saya, dorongan kedua dalam kategori ini bisa dilihat salah satunya ke Makassar dan pulang naik kapal. Selain itu, ketika mengerjakan RIC ini, tiga hari saya bersama Kak Jim dan Rama, supir rental yang menemani kami, mesti lakukan perjalanan darat dari Makassar ke Wajo, Wajo ke Makassar, dan lanjut dari Makassar ke Jeneponto, dalam keadaan saya juga mabuk mobil. Tapi rasanya menyenangkan karena saya merasa mengerjakannya dengan sungguh-sungguh.
Salah satunya karena saya bertemu dengan Daeng Ngalli, seorang pemotong dan pengolah daging kuda yang handal di Jeneponto. Ia mengaku sebenarnya berasal dari Bone. Tapi ketika ia menikah dengan istrinya, seorang anak dari penjagal dan pengolah daging kuda yang saat ini sudah gantung parang, ia akhirnya menetap di Jeneponto. Pada mulanya ia bekerja di Kalla Grup, lalu sempat berpindah ke PT IMIP di Morowali. Pria ini punya segudang pengalaman yang ia buka perlahan dengan obrolan ketika kami tunggu ia tuntaskan pekerjaannya memasak daging kuda. Ia cerita soal pengalamannya selama di Pasar Sentral Makassar. Ia mengaku “memegang” beberapa pencopet di sana.
“Kalau mau beli baterai jam, langsung saja bilang … (saya benar-benar lupa merknya) yang ta dua belas ribu harganya satu biji. Itu yang asli. Biar na tau ki penjualnya kalau pintar ki’,” jelas Daeng Ngalli tanggapi keluhannya Rama pada tukang service jam di Pasar Sentral.
Ia dahulu juga jadi tukang service jam di sana, sembari jadi semacam “kepala” copet itu. Pada akhirnya, setelah melanglang belahan Sulawesi, ia putuskan menetap dan belajar potong kuda dari mertuanya. Pada mulanya ia tak kerasan lantaran anggap ini pekerjaan membosankan. Tapi ia tak bisa apa-apa lantaran mertuanya sudah minta anaknya itu untuk lanjutkan pekerjaan memotong dan pelihara kuda itu, sekaligus menjual coto kuda dan gantala’ jarang di sana.
Meski hanya tidur kisaran dua jam, saya dengarkan hampir semua cerita Daeng Ngalli. Saya merasa punya kemiripan dengannya dalam konteks lain tentu saja. Kami sama-sama “pulang” ke “kampung” untuk “melanjutkan” atau “berbuat” sesuatu. Ini jadi penting bertemu dengan orang-orang yang bernasib sama. Saya kadang juga jengkel sewaktu ia ganggu ke-Enrekang-an saya yang tak kelihatan sama sekali. Meski begitu, tetap saja, ia juga orang Bone yang menetap di Jeneponto.

Barangkali karena kesamaan itu, saya dapat mengerti ledakannya sewaktu bicara. Betapa ia ingin menceritakan semua tentang dirinya, tentang apa saja yang ia kerjakan di sana—hal-hal yang belakangan saya sadari ada juga pada diri saya. Meski saya, ataupun juga mungkin Daeng Ngalli, sudah menerima “nasib” ini sebagaimana ia mesti menetap di sana karena tuntutan mertua dan istri, saya juga mesti pulang untuk menemani ibu di rumah karena adik-adik dan kakak saya sudah pindah ke Bintuni, lima ratusan kilometer dari Nabire.
Selain ini juga jadi cara saya menguji pengalaman dan pengetahuan selama berada di Makassar, juga upaya bekerja dari tempat yang sangat jauh dari “pusat” itu. Meski begitu, sewaktu memutuskan untuk pulang, saya sudah seperti tidak punya “cita-cita” pribadi lagi karena itu agaknya cara bekerja bersama yang saya pahami, barangkali itu juga dialami Daeng Ngalli. Ini justru bikin kami punya kesadaran “meladeni” orang lain. Di RIC, ia sangat bersemangat menjelaskan dan mengolah daging kuda di depan banyak orang.
Entah kenapa, sewaktu bertemu dan pada akhirnya berpisah dengan Daeng Ngalli, saya bahagia sekali. Sewaktu ia selesaikan penampilannya di RIC, ia seperti menyesal tidak menyisakan saya sedikit daging kuda. Dengan cepat, ia buka semua barang bawaannya untuk cari apa yang masih tersisa. Ia lalu beri saya lima potong ketupat yang ia bungkus dalam kantong plastik hitam. Saya hanya tertawa, sambil bilang kalau plastik ini dilarang di event ini.
“Bawa mi saja ini, bosku. Sembunyikan mi kalau memang dilarang,” balasnya dengan tawa. Meski sudah tak makan nasi, saya tetap ambil ketupat itu.
Salah duanya, saya akhirnya pergi ke kota lain di Sulawesi Selatan, Wajo. Menyenangkan sekali mengunjungi tempat-tempat baru, apalagi menyinggahi kawanan yang sudah lama tidak bertemu di Parepare, misalnya. Ini jadi semacam charge energi juga. Melihat anak-anak muda bekerja juga dari tempat yang “agak” jauh dari Makassar. Kesadaran yang membikin saya semakin memahami, bahwa jaringan perkawanan semacam ini tidak hanya untuk hubungan-hubungan “serius” semata, tapi juga upaya “penguatan” dengan cara yang barangkali sepele tapi justru itu yang “pas” menambal kekurangan-kekurangan kita masing-masing dari jauh.
Kesadaran lain muncul ketika akan pulang ke Nabire. Karena naik kapal, saya dibekali banyak sekali makanan. Sampai satu tas carrier yang mestinya isi baju dan buku, saya pindahkan ke totebag dan menggantinya dengan bekal makanan itu. Satu hari sebelum pulang, datang kiriman dari Aya dan Rani, kawanan saya di Parepare yang selalu hangat. Lalu Vivi. Juga Kak Jim dan Kak Piyo yang bekali banyak sekali makanan untuk perjalanan kapal itu. Habiba beri saya buku bacaan selama perjalanan. Ardi bekali Americano, dan Irma bekali permen Fisherman’s.
Kesadaran yang saya maksud, ini bentuk lain dari solidaritas yang tak dimungkinkan ketika naik pesawat. Perjalanan instan kadung tak butuh bekal. Kalaupun ada, hanya oleh-oleh untuk orang yang menunggu kepulangan di rumah semata. Ini kelihatannya sepele, tapi ini benar-benar menyenangkan. Selama perjalanan, orang-orang yang membekali saya ini menyadari apa yang saya makan dan akan saya hadapi. Perjalanan panjang yang memungkinkan saya mengingkari tubuh yang tak lagi konsumsi nasi itu meski diberi pilihan lain.
Sayangnya pilihan itu tak berlaku jika ingin lakukan perjalanan jauh ke luar Papua. Apalagi ini akhir tahun, ketika mahasiswa, pekerja, atau perantau lain, banyak pulang merayakan Natal di Papua. Ini bikin harga tiket kapal menjadi tak masuk akal. Sewaktu cek tiket kapal, angkanya tembus hingga tiga juta rupiah. Saya bayangkan, kalau itu dibelikan tiket kapal di hari biasa, saya bisa ajak dua atau tiga orang lagi untuk sama-sama belajar di Makassar. Tapi saya juga sedang riset kecil-kecilan soal “melambat” dan orang-orang kapal. Jadinya perjalanan ini seperti juga sambil menyelam minum air—meski air asin, mengingat banyak juga kejadian tak menyenangkan di atas kapal.
Di kapal, kehidupan bukan hanya diri sendiri. Semua orang saling jaga. Ketika kapal akhirnya tiba di Sorong, saya titipkan tas kamera di ruang informasi. Geladak dua yang saya tempat kosong. Hanya sisa sepasang kekasih di depan saya dari dua deret tempat tidur bertingkat di geladak itu.
Saya akhirnya sadari apa yang dimaksud “rawan” ketika berada di Sorong selama perjalanan kapal. Copet dengan cepat berlangsung, bahkan kadang terlalu terang-terangan. Ketika itu, karena geladak saya kosong, saya tidur putuskan naik satu geladak dan tidur di bawah tangga dekat kawan baru dari Madura yang menuju Nabire untuk jadi tukang cukur. Di tangga, kerumunan pencopet mendempeti orang dan tanpa disadari dompet atau gawai raib dibawa.

“Hati-hati, Mas,” sekali waktu saya cepat buat sadar dan melihat satu penumpang yang didempeti. Ini bikin mereka urung beraksi. Dalam jeda waktu kapal sandar, dua sampai empat jam, para pencopet itu beraksi. Seringkali mereka juga kejar-kejaran dengan petugas yang memantau dari CCTV kapal. Tapi seingat saya, hanya sekali mereka ditegur dan tak diapa-apakan. Saya keheranan dengan petugas kapal yang tidak tegas dengan mereka.
Sebagai bentuk protes, dan solidaritas, kawanan di geladak dua saya kompori untuk merokok di tangga kapal. Ketika petugas menegur kami untuk merokok di luar, saya hanya buang muka sambil bilang, “Kami di sini sambil jaga barang. Banyak pencopet”. Tapi ia bersikeras ingin kami matikan rokok. Ia baru pergi dan menurunkan nadanya setelah banyak penumpang yang mendukung pernyataan saya dan kawanan baru saya itu. Sampai satu dari kami bicara ketus, “Coba tegas ke pencopet juga begitu boleh”, petugas itu berlalu begitu saja.
Saya sebenarnya tipe penumpang yang tidak merokok di dalam geladak kapal. Tapi hari itu memang menakutkan untuk tinggalkan barang begitu saja. Aksi itu hanya bentuk protes pada petugas keamanan. Cara itu agaknya berhasil setelah petugas akhirnya mengungsikan seluruh penumpang dari geladak dua dan pindah ke geladak atas yang lebih ramai, lalu menutup tempat para pencopet yang kadung banyak tanpa tiket itu—kami biasa menyebutnya “pelarian”—istirahat sementara karena kosong. Selain pencopet, kapal memang hadirkan banyak sekali fenomena. Baik aksi lucu orang mabuk, sampai perkelahian antar buruh bagasi dan petugas kapal.
Meski begitu, saya selalu cari cara agar bisa berangkat menuju Makassar naik pesawat. Pernah sekali satu cara ampuh dan murah: naik kapal ke Manokwari selama enam jam, lalu naik pesawat dari sana ke Makassar. Agaknya setahun lalu saya lakukan cara itu. Tapi mungkin maskapai pesawat menyadari itu dan mulai menaikkan harganya. Jadi tak ada cara lain lagi turun dari kapal dan naik pesawat! []
[1] Ted Kazynski, Industial Society and Its Future, (The New York Times and The Washington Post on Sept 19, 1995), hal 11.
[2] Dan Hox, Marinaleda: Eksperimen Kota Kecil Antikapitalis (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2023), hal. 97.
[3] Ibid, hal. 107.
[4] Lars Svendsen, A philosophy of Boredom, (London: Reaktion Book, 2005), hal 26.
[5] Ibid, hal 28.
[6] Ted Kazynski, Industial Society and Its Future, (The New York Times and The Washington Post on Sept 19, 1995), hal 12.
