Rumah di Bulukunyi 29

Semua bermula dari ajakan keluarga Josephine Pakanan. PNS di Gowa berambut pendek dan berdarah Toraja inilah yang menawarkan ke ayah saya, Azis Daeng Dalle untuk menyekolahkan saya di Makassar. Pada pertengahan tahun 80an, bersama ayah, kami kerap bertandang ke rumah Josephine sekeluarga di Makassar. Setamat SMP tahun 1986 saya mulai akrab dengan denyut kota berjuluk Kota Daeng ini.

Ayah bersepupu Hajjah Te’ne, penyewa rumah di jalan Bulukunyi No.29, Makassar, milik keluarga Josephine. Satu petak untuk keluarga tante bersama anak tiri dan anak kandungnya, sepetak untuk keluarga Josephine. Di keluarga Josephine, ada yang mengajar di SMA V Makassar, ada yang kuliah di kampus YPUP Andi Tonro. Anak Josephine sekolah di SMP Frater, namanya Grace Evie Pakanan. Ada pula Ridha Pasorong. Itu beberapa nama yang saya ingat.

Pada beberapa kesempatan keluarga Josephine terlihat ramai sekali, banyak keluarganya dari Toraja yang datang ke situ. Masih banyak pula yang masih makan sirih, bawa ayam dan ole-ole dari kampung. Ayah rupanya sangat percaya diri untuk mengatakan ke keluarga itu kalau saya berprestasi di SMP dan ingin sekolah di Makassar.

Pengalaman selama berada di rumah bernomor 29 di Jalan Bulukunyi itu berlangsung sejak tahun 1986 sampai 1988. Di tahun itu, saya mencatat peristiwa penting seperti demonstrasi helm berdarah di sepanjang jalan Bawakaraeng , Mesjid Raya hingga Urip Sumoharjo.

Di Bulukunyi 29, jalan yang terletak di antara ruas jalan utama Veteran dan Sudirman, saban pagi saya masih melihat para polisi bergantian di tengah jalan mengatur lalu lintas. Belum ada lampu lalu lintas. Para polisi tidak segan-segan mengempeskan ban pengayuh becak jika melanggar rambu jalan. Jika sudah demikian wajah terlipat dari para tukang becak kerap mewarnai pagi.

Saat itu pula seorang tukang parkir mulai rajin menjaga kendaraan pengunjung lengkap dengan karcis di tangan. Lalu ada pengayuh becak langganan keluarga Haji Sahabu, namanya Daeng Massiri, gempal, berkulit legam, pendek berambut keriting.

Setelah dua tahun di jalan Bulukunyi 29, saya memilih mondok di Jl. Mannuruki II setelah sebelumnya beberapa kali naik kendaraan umum ke sekolah, dari Galesong ke Gunung Bawakaraeng selama hampir 6 bulan. Salah satu alasannya, pelajaran di sekolah semakin berat dan saya tidak mampu beradaptasi dengan predikat sebagai pelayan warung coto, yang supersibuk. Salah satu akibatnya, saya masuk ranking ke-35 saat kelas I.

 

Warung Coto Baji Minasa

Kembali ke rumah Hajjah Te’ne. Dia dan suaminya Haji Sahabu adalah pemilik warung coto Baji Minasa, dengan embel di depannya “Coto Maros, Baji Minasa”. Haji Sahabu, sosok yang jarang bicara, berasal dari Batangase, Maros. Kumisnya yang putih dengan aksen Marosnya menjadi ciri khasnya.

Rumah itu punya lima kamar tidur. Dua kamar mandi dan satu ruang tamu yang disulap jadi warung coto. Saya kebagian tugas mengangkat mangkuk coto yang telah diisi daging dan kuah ke para pengunjung. Lain waktu membantu merapikan piring bawang dan jeruk nipis serta membersihkan mangkuk di sudut kiri depan rumah.

Sesekali mengupas dan mengiris bawang di belakang rumah, pekerjaan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Di radius 500 meter dari rumah tante saya lihat banyak sekali toko buku. Ada tiga berjejer di jalan Bulukunyi, lalu ada tiga pula di Jalan Monginsidi. Saya tidak kesulitan untuk mencari buku tulis atau buku bacaan. Pada malam hari ada penjual sate di seberang warung coto sekaligus rumah itu.

Pada sore hari penjaja bakso bernama Marten kerap berhenti di depan rumah Pakanan sekeluarga. Bakso Toraja dengan gerobak mini warna putih susu dan garis hijau tua. Sesekali anak keluarga Hajjah Te’ne juga ikut makan. “Bakso halalji” kata si Marten.

Tahun pertama masuk sekolah yaitu siang sampai sore. Ke sekolah naik pete-pete di Jalan Veteran setelah sebelumnya berjalan kaki dari Jalan Monginsidi ke arah Veteran. Saya termasuk pelit untuk urusan bayar sewa mobil. Jika biasanya saya harus bayar seratus rupiah (Rp. 100,-) saya korting jadi Rp. 75. Saya kumpulkan uang 50 dan 25 rupiah. Lumayan bisa hemat.

Bersekolah di Makassar pada tahun 1986 mengarahkan saya pada tempat-tempat yang kini menjadi ikon Makassar seperti Karebosi, Lapangan Mattoangin, Benteng Rotterdam hingga Mesjid Raya. Karena punya sepeda, saya kerap menyambangi tempat-tempat yang disebutkan di atas.

Yang saya ingat di tahun 1986, saya bisa naik sepeda ke Jalan Bulusaraung untuk beli kaset tape, milik Nicky Astria, judulnya Tangan-Tangan Setan. Di sekitar itu pula, tepatnya di Toko Italy saya beli sepatu Eagle warna biru yang dibenci guru olah raga Herman Hading.

Pulang sekolah saya tetap membantu keluarga itu menjual coto. Di sini pulalah saya bisa lebih akrab dengan dua guru olahraga di SMA I yakni pak Usman dan Herman Hading karena keduanya kerap mampir makan coto.

Biasanya, malam sekitar pukul 9 kami naik sepeda kembali ke rumah tante di Kompleks Kesehatan Banta-Bantaeng bersama menantu Haji Sahabu yang sesekali datang membantu mengiris daging dan jeroan. Dia sebenarnya tinggal di Tete Batu, Gowa.

 

Rumah Berpindah Pemilik

Di penghujung tahun 80an, rumah dari keluarga Josephine Pakanan itu kemudian berpindah tangan. Rumah yang terdiri dari dua kopel itu resmi milik keluarga Haji Sahabu. Keluarga Pakanan (seingat saya ada fam Pasorong juga) membeli rumah di Perumnas Tamalate, di sekitar lapangan Hertasning di timur kota. Sebagian lainnya hijrah ke Papua atau kembali ke Toraja.

Dari usaha jual coto itu tante sekeluarga tergolong sukses. Haji Sahabu punya mobil Jeep CJ7, warna hitam putih, satu unit rumah luas di kompleks Banta-Bantaeng dan anak-anak yang bisa bersekolah tanpa halangan ekonomi. Saya cukup beruntung karena setiap ke sekolah dapat uang jajan dari tante. Tante punya lima anak dari suaminya Haji Sahabu.

Di samping rumah tante itu saya kenal keluarga berdarah Banjar yang punya empat anak. Saya akrab dan sering ke rumah mereka. Ada Amat, dia kuliah di Pertanian Unhas, saya beberapa kali bertemu dengannya selama di kampus. Keluarga ini ahli menjahit. Di sampingnya ada hotel, tepatnya disebut penginapan melati. Saya lupa namanya.

Di sebelahnya lagi orang Makassar asli yang kemudian buka usaha bengkel dan warung makan. Rumah tante tepat di sudut jalan Monginsidi, perempatan jalan Bulukunyi dan Rusa. Di seberangnya ada rumah teman sekolah saya, berdarah Tionghoa namun Jurusan Fisika. Dia berkacamata. Dia merupakan salah satu alumni SMA I dengan nilai NEM tertinggi di tahun 1989.

Menurut Inur, adik Amat, rumah mereka dijual seharga 320 Juta saat itu. Keluarga berdarah Banjar tersebut kemudian membeli rumah di jalan Sungai Limboto seharga 250 Juta. Kini mereka meneruskan hidup sebagai tukang jahit, sesuai pengalaman mereka sebelumnya.

Keluarga Haji Sahabu kemudian menjual rumahnya di Kompleks Kesehatan Banta-Bantaeng yang dibelinya seharga 17 Juta. Rumah luas ini jadi tumbal untuk membeli rumah Josephine Pakanan. Tidak ada informasi berapa harga beli rumah itu.

“Setelah menjual rumah di Banta-Bantaeng kami beli rumah yang di samping” kata Sarinah anak kedua dari pasangan Haji Sahabu dan Hajjah Te’ne yang saya temui pada satu pagi di tanggal 3 Agustus 2012 di Prima Mode, tempatnya bekerja. Inur dan Sarinah kini bekerja di toko pakaian yang sebelumnya merupakan area perumahan mereka.

Tapi jika kini, anda berkunjung ke jalan itu yang nampak adalah bangunan baru. Menurut kabar rumah tante itu dibeli oleh pemilik toko pakaian pada pertengahan tahun 90an, saat tante dan suaminya mulai sakit-sakitan. Tidak adanya yang mampu mengelola usaha coto Baji Minasa itu hingga kemudian tinggal kenangan.

Sesuai informasi dari Sarinah, lahan di Jalan Bulukunyi itu tempat berjualan coto berpindah tangan dengan harga jual Rp.240 Juta, di pertengahan tahun 90an. Lebih murah ketimbang harga jual rumah tetangganya, keluarga Banjar itu.

Tanggal 3 Agustus 2012, saat saya berkunjung beberapa waktu lalu ke lokasi rumah di Jalan Bulukunyi 29 itu, yang terlihat bangunan berlantai 3 berbentuk siku-siku dan belum diplester. Dari Jalan Bulukunyi kemudian ada beberapa 3 petak di Jalan Monginsidi (eks penjahit dan penjual kasur), setidaknya ada 10 unit. Belum rampung, rencana ruko itu telah mengumumkan bagi sesiapa yang mau beli untuk menghubungi nomor telepon tertentu.

Menurut Daeng Masi’ tukang parkir yang mengganti kedudukan Daeng Massiri’,ruko itu punya salah satu bank swasta terkemuka di Makassar.

Jejak sejarah rumah tante Josephine Pakanan, riuh warung coto Baji Minasa milik Haji Sahabu sekeluarga itu kini akan menjadi rumah toko! []