Menggantung Sepatu Bukan Berarti Menyerah
Sinar matahari lepas zuhur tak terlalu menyengat. Abdul Latif Daeng Lalang sedang duduk-duduk santai di bangku kayu depan lapak paling dalam. Dialah pemilik lapak itu. Setelah beberapa kali ke sana, baru kali ini saya bertemu dengannya. Dedes, pemilik lapak paling luar, sedang mengerjakan perbaikan sepatu sementara Junaid pemilik lapak tengah sedang melayani seorang calon pembeli sepatu olahraga.
Bukan toko sepatu, walau menjual aneka sepatu olahraga dan sepatu pantovel pria. Tidak pas juga disebut kios karena tak ada satu ruangan pun di situ. Lebih tepat disebut lapak. Karena hanya dinaungi oleh terpal biru yang dipaku seadanya di kedua dinding pembatas jalan kecil itu dan menggunakan rak-rak kayu sederhana sebagai etalase. Mirip lapak-lapak pada pasar tradisional.
Ketiga lapak darurat di situ menjual sepatu baru tetapi ada pula sepatu usang di antaranya. Tertata rapi pada delapan tingkat rak kayu sederhana bercat hijau. Dulu, di kisaran tahun delapan puluhan, lapak-lapak itu juga menjual sepatu bekas bermerek terkenal. Sekarang tidak lagi. Sepatu-sepatu usang dalam deretan sepatu baru itu bukan barang dagangan, melainkan milik pelanggan yang menginginkan jasa perbaikan sepatu.
Saya pernah memperbaiki sepatu putri saya, Athifah di lapak Dg. Lalang enam bulan lalu. Waktu itu velcro – perekat sepatu Athifah rusak. Satu sama lain tak bisa lagi menempel dengan kuat. Tapi waktu itu bukan ia yang menunggui lapak melainkan seorang lelaki muda. Ongkos perbaikanya murah, hanya lima ribu rupiah untuk satu velcro yang rusak.
Sering sekali saya melewati jalan kecil, tempat lapak-lapak ini berdiri. Jalan Stadion namanya. Letaknya persis di sebelah timur laut Stadion Mattoanging. Tapi baru saat itu saya menyadari bahwa lapak-lapak ini tak hanya menjual sepatu baru, juga menawarkan jasa perbaikan sepatu dan tas usang.
Tepatnya ada tiga lapak di sini. Ketiganya berdempetan dengan dinding ruko. Tampak seperti benalu yang menempel setinggi kira-kira dua meter di dinding batu itu. Lapak pertama terletak lima belas meter dari Jalan Sam Ratulangi. Lapak ketiga inilah yang saya maksud sebagai “lapak paling dalam” karena terletak lebih jauh dari tepi Jalan Sam Ratulangi.
Dari sini, bila melemparkan pandangan ke arah timur, pasti tertaut pada pagar sebuah kantor pemerintah. Kantor Badan Koordinasi Ketahanan Pangan namanya, letaknya tepat di sebelah utara Wisma Nala. Wisma Nala ini dulu bernama Wisma Bahari.
Waktu masih kecil saya tinggal bersama orangtua di Jalan Kasuari yang letaknya tak sampai satu kilometer dari sini. Tampilan lapak-lapak yang hanya beratapkan sedikit seng yang disambung dengan terpal ke arah dinding ruko di seberangnya, masih ada dalam memori lawas saya.
Tak jauh dari lapak ini, ada rumah keluarga yang sering saya datangi di lorong Lima, letaknya sejajar dengan Jalan Stadion. Antara lorong Lima dan Jalan Stadion dihubungkan oleh dua lorong. Daerah ini sebenarnya sudah sangat familiar dengan saya namun saya baru menyadari jasa perbaikan sepatu dan tas di sini.
“Anak ta’ itu yang pernah jaga di sini? Saya pernah ke sini tapi ndak ada ki’, ” saya membuka percakapan dengan Dg. Lalang.
“Bukan. Dia cuma bantu ka’ di sini sementara saya di kampung,” Dg. Lalang menjawab ramah. Dg. Lalang memulai usaha berdagang sepatu sejak tahun 1973, berkongsi dengan seorang teman tapi sejak tahun 1978 ia sendiri yang menjalankan roda usahanya.
Rumahnya terletak di Jalan Cenderawasih V, tak jauh dari lapak ini. Setiap pagi lelaki beranak lima yang masih terlihat bugar dan tegap ini mengambil sepatu-sepatu dagangan yang ia titipkan di sebuah ruko, lima meter dari lapaknya dan menatanya. Sebagian disusun di rak-rak kayu. Sebagiannya lagi digantung bersusun-susun, pada sebuah palang kayu panjang di depan rak. Sepatu-sepatu itu ia beli di Pasar Sentral. Ia menunggui rezekinya di situ hingga menjelang matahari terbenam.
Orangtuanya berasal dari Mangalli, kabupaten Gowa. Sementara ia sendiri lahir di Makassar 65 tahun silam. Sejak tahun 1973, kakek 11 cucu ini menggantungkan hidupnya di lapak ini. Tak pernah mencoba melakukan pekerjaan lain, juga tak pernah pindah ke lokasi lain.
Dg. Lalang sama sekali tak keberatan ketika saya memintanya membagi kisah hidupnya. Mengapa ia bertahan selama 41 tahun, merupakan hal yang menarik bagi saya.
“Kalau yang di sebelah-sebelah ta’, tahun berapa mulai usahanya, Pak?” saya menunjuk ke lapak-lapak di sebelahnya.
“Tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh tiga juga. Sama-sama ka’,’” jawab lelaki berkumis putih ini.
Lapak-lapak di sebelah Dg. Lalang itu dulu dimiliki oleh ayah Dedes dan Junaid. Empat puluh satu tahun berdampingan dengan mereka membuatnya merasakan kedua pemilik usaha yang bisa disebut pesaingnya itu bagai keluarga sendiri.
Dulu usahanya pernah mengalami masa kejayaan. Sejak berdiri hingga tahun 1990-an, ketiga lapak itu terkenal seantero Makassar. Mahasiswa-mahasiswa UNHAS yang kos di Tamalanrea misanya, datang ke sini bila membutuhkan sepatu olahraga.
Bahkan pembelinya ada yang berasal dari daerah lain, seperti Wajo dan Pare-Pare. Pada masa itu, dalam sehari ia bisa menjual 20 hingga 30 pasang sepatu. Di masa-masa itu, transportasi antarkabupaten lebih mudah. Jam berapa pun, mobil-mobil plat kuning masih diperbolehkan masuk hingga ke pusat kota. Tak heran ia bisa menyekolahkan kelima anaknya hingga bangku kuliah dari berdagang sepatu saja.
Memasuki tahun 2000, pengunjung lapak Dg. Lalang mulai sepi. Ruko-ruko yang menjual sepatu mulai menjamur di Makassar. Lapak Dg. Lalang kalah pamor. Mahasiswa-mahasiswa yang kos di Tamalanrea tak lagi tahu ada lapak-lapak sepatu di sini.
Kini tak banyak orang yang datang dan benar-benar membeli sepatu di lapak Dg. Lalang. Kalaupun ada, hanya satu atau dua orang. Bisa pula dalam sehari sama sekali tak ada pembeli. Dg. Lalang tak resah. Apa yang diperolehnya dirasanya cukup. Anak-anaknya tak ada yang membebaninya lagi. Malah mereka biasa membantu kebutuhan hidup sehari-harinya.
Saya memperhatikan lagi barang dagangan yang tergantung di lapak itu. Sepatu olahraga, seperti sepatu futsal dan sepatu lari aneka warna bergelantungan. Sepatu pantovel pria berjajar rapi di rak-rak kayu. Hari ini saya mendapatkan pelajaran hidup dari Dg. Lalang, tentang konsistensi dan ketegaran.
Dg. Lalang akan terus setia menunggui lapaknya meski zaman sekarang tak lagi seperti dulu. Ia tak berniat pindah ke mana pun, di Pasar Senggol misalnya. Karena di sana, biaya sewa tempat yang harus ia bayar setiap bulan dirasa mahal olehnya. Ia akan tetap menggantung sepatu aneka merek seperti Ardiles, Ogardo, Specs, dan Ziger. Juga menata sepatu-sepatu pantovel yang rata-rata berwarna cokelat dan hitam. Ia akan tetap setia dengan ikhtiarnya. Baginya, menggantung sepatu bukan berarti menyerah.[]
:: Mugniar Marakarma, aktif mengisi tulisan di mugniar.com