Melihat Perempuan Bekerja
“Sudah jeko makan?” itu adalah pertanyaan paling pertama yang diajukan oleh Mama tiap saya baru tiba di rumah. Bukan pertanyaan dari mana atau apa yang saya lakukan, karena jika jawabannya adalah “Iya, sudah meka makan” maka tidak ada lagi pertanyaan setelahnya, walaupun saya pulang di rumah saat larut malam. Urusan makanan di dalam rumah memang menjadi tanggung jawab Mama.
Mama adalah seorang ibu rumah tangga yang berumur 45 tahun. Dia lahir di Kendari, Sulawesi Tenggara namun lebih banyak menghabiskan masa kecil dan remajanya di Kabupaten Muna, tepatnya di Kota Raha. Setelah menikah, Mama kemudian harus ikut berpindah ke kota-kota yang menjadi tempat proyek Bapak.
Salah satunya yaitu Kota Ambon, Maluku pada rentang tahun 1998 sampai 1999. Saat itu Ambon sedang dipenuhi kerusuhan antara Komunitas Muslim dan Nasrani. Kerusuhan itu bermula dari pertengkaran personal antara seorang pemuda Bugis yang beragama Islam dan supir angkutan umum dari Ambon yang Nasrani. Pertengkaran itu memicu kerusuhan massa dalam skala besar yang bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Setelah kerusuhan itu, konflik sektarian menyebar dengan cepat ke seluruh pulau Ambon dan Maluku Tengah, yang memicu konflik lebih lanjut di Aru, Kei, Maluku Utara, Tanimbar, Buru bahkan hingga Lombok. Diperkirakan 5.000– 9.000 orang mungkin telah kehilangan nyawa di Maluku saat itu.
Saat Azizian beserta Mama dan Kakaknya makan bersama di salah satu gerai KFC di Plaza Ambon pada 1998 silam (Foto: Bapak Aziziah Diah Aprilya)
"Untung kita lebaran di Raha waktu itu. Kalau ndak, mungkin kita juga jadi korban." Kata Bapak sambil membolak-balik buku catatan harian saku tahun 1998 dan 1999 yang dia punya.
Ketika itu Bapak masih harus menyelesaikan proyeknya di Ambon untuk beberapa bulan, lalu setelahnya kami kemudian memilih tinggal di Makassar dan tidak ikut lagi berpindah ke kota tempat proyeknya yang lain. Walaupun akhirnya kami hanya bisa bertemu Bapak sekali sebulan di rumah.
Keputusan itu membuat rumah menjadi sangat lekat dengan Mama seorang karena segala urusan domestik betul-betul dikerjakan sendiri olehnya. Terutama di bagian dapur.
Ketika dapur adalah tempat yang paling akrab dengan Mama, perasaan asing itu muncul pada saya bukan hanya ketika berurusan dengan rumah atau dapur itu tapi juga dengan Mama. Kami sebenarnya terlalu “berjarak” karena saya tidak pernah betul-betul mengalami dapur atau mengalami Mama sendiri. Mungkin karena sejak kecil, saya memang secara fisik jarang menghabiskan waktu di rumah.
Tahun 2003, saya bersekolah di salah satu SD swasta Islam yang jadwal belajarnya dimulai dari jam 7.30 sampai 16.00. Ketika pulang di sore hari, saya mengganti baju dan bermain sepeda bersama teman-teman di kompleks. Sehingga di malam hari, saya sudah terlalu kelelahan untuk melakukan hal selain bersantai dan memeriksa PR apa yang harus dikerjakan setelah makan malam. Orang tua saya juga sepertinya mengerti bahwa jadwal sekolah itu menguras energi saya karena pernah ada perbincangan kecil tentang pilihan pindah sekolah, walaupun pada akhirnya kami sudah terlanjur nyaman dengan sekolah itu karena guru dan teman-teman yang dikenal akrab, juga lokasi sekolah yang sangat dekat dari rumah.
Dari perbincangan saya dengan beberapa teman SD yang kini juga sudah dewasa, orang tua mereka memilih SD kami karena alasan kurikulum yang lebih mengarah ke pendidikan agama Islam. Pelajaran seperti Akhlaq, Fiqih, dan Bahasa Arab. Juga ditambah kewajiban sholat berjamaah, mengaji, dan menghafal surah-surah pendek merupakan bagian kurikulum utama. Selain itu juga jadwal yang sampai sore membuat sebagian besar orang tua yang bekerja kantoran menjadikan sekolah kami waktu itu menjadi pilihan untuk anak-anaknya.
Di tahun 2009, saya memilih untuk bersekolah di SMP negeri. Saat itu saya baru menyadari rasanya pulang lebih siang. Saya lalu mengambil ekstrakulikuler basket dan mading. Latihan basket dan mengurusi mading sekolah juga membuat saya pulang sore. Belum lagi jika saya memilih untuk menyewa CD atau DVD film untuk ditonton di rumah teman yang dekat dari sekolah, saya bisa betul-betul sampai di rumah sendiri pada malam hari. Tapi orang tua saya tidak pernah keberatan dengan itu semua selama saya minta izin dan tidak sakit.
Begitu pula saat saya menghabiskan waktu SMA di tahun 2012-2015, luapan energi, fasilitas, dan kebebasan yang diberikan membuat hari-hari kala itu hanya penuh dengan berkumpul bersama teman di rumah mereka, menonton konser, mengurusi ekskul, dan berkeliling kota untuk sekedar jalan-jalan.
Melewati umur di saat saya sebaiknya juga banyak “belajar” dari rumah dan keluarga sendiri, membuat saya lebih sering menghabiskan waktu sendiri di kamar dengan membaca, bermain komputer, dan tidur saat berada di rumah. Juga kebiasaan makan sendiri-sendiri membuat saya tidak banyak berinteraksi pada anggota keluarga yang lain. Hal itu tanpa sadar menjadikan saya “terpisah” dari tempat yang seharusnya membuat saya paling nyaman.
Berbeda dengan salah satu teman saya yang juga memiliki banyak aktivitas di luar rumah, dia mengatakan selalu menyediakan waktu setelah makan malam untuk berbagi tentang kesehariannya kepada kedua orang tuanya. Sehingga walaupun secara fisik dia menghabiskan waktu lebih banyak di luar rumah, namun dia berbagi ketidakhadirannya itu kepada keluarganya saat dia pulang. Hal yang luput dulu saya lakukan.
Membuka Tudung Saji Meja Makan
Sejak saya kecil, Mama selalu memasak ikan dan ayam bersamaan. Saya memerhatikan Mama dan Bapak saya yang begitu menggemari segala jenis olahan ikan. Mulai dari Ikan Bakar, Ikan Goreng, Pallumara, dsb. Bahkan tiap makan, paling tidak selalu ada dua jenis olahan ikan di meja makan.
Sepanci olahan Pallumara yang dibuat oleh Mama Aziziah (Foto: Aziziah Diah Aprilya)
Waktu itu saya merasa ikan dan sayur adalah “makanan orang dewasa”. Sehingga kami anak kecil dipilihkan untuk makan ayam. Ditambah lagi restoran cepat saji yang menyediakan menu utama yaitu ayam goreng tepung, menjadi seperti pilihan tempat makan di kala peringatan-peringatan tertentu. Sehingga waktu itu ayam bagi saya adalah makanan yang istimewa.
Film-film Hollywood yang juga menemani saya tumbuh mulai umur 10 tahun, seperti Home Alone, Harry Potter, Richie Rich, Charlie and the Chocolate Factory, dll tidak hanya menampilkan cerita tentang keberanian seorang anak kecil yang menghadapi tokoh jahat atau hal menantang dalam hidupnya, tapi juga bagaimana gambaran mereka menikmati makanan-makanan cepat saji itu sebagai reward yang mereka terima.
Satu adegan di film Richie Rich (1994) saat Richie mengajak teman-temannya untuk datang ke rumahnya yang besar, Richie memanggil McDonald untuk membuka gerai di rumah itu dan semua temannya boleh mengambil apapun di sana dengan gratis. Gambaran itu membuat saya memikirkan bahwa betapa menyenangkannya bisa sedekat itu dengan restoran cepat saji.
Namun semakin saya tumbuh, ternyata akses restoran cepat saji di Kota Makassar semakin lama memang semakin mudah. Terdata 200 lebih restoran cepat saji ketika kita mengetik “fast food restaurants” di google maps. Seluruh gerai tersebar di berbagai kawasan di Kota Makassar dengan berbagai jenis makanan.
Bahkan lokasi SMAN 5, sekolah saya di Jl. Taman Makam Pahlawan dulu berdekatan dengan salah satu restoran cepat saji yang tempatnya luas dan cukup terkenal di Jalan AP Pettarani. Dulu tiap kali ditutupi pagar oleh satpam sekolah karena kami datang terlambat, restoran itu adalah tempat saya dan teman-teman untuk bolos sekolah. Sampai bahkan restoran itu masuk koran lokal karena membiarkan tempatnya menjadi tempat bolos anak sekolahan.
Akses restoran cepat saji yang mudah dan jarangnya saya berada di rumah, membuat lidah saya tidak akrab dengan makanan di dapur sendiri. Namun ketika memasuki masa perkuliahan di tahun 2015, saya pernah membantu riset seorang senior. Saat itu kami ingin mengetahui tentang korban longsor Bawakaraeng di kaki gunungnya. Tepatnya di Desa Lengkese, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar. Mama’ Rabi, salah satu narasumber dan pemilik rumah tempat kami menginap saat itu selalu menghidangkan sayur labu siam, telur dadar, dan tumis ikan. Sehingga lima hari berada di sana, saya merasa makanan itu enak sekali. Mungkin juga karena situasi yang mengharuskan saya juga ikut membantu di dapur, sehingga saya lebih menikmati hasil “kerja keras” bersama. Makanan yang dimasak sendiri membuat ada nilai kepemilikan yang lebih.
Lagipula saya juga selalu mengingat pesan Mama “Jangan pernah keluhkan makanan yang ada di depanmu.” Tiap kami menutup kembali penutup meja makan setelah melihat lauk di sana.
Dapur Mama
Aroma tumisan sambal selalu memenuhi rumah di jam 11 pagi, di kompor satunya sudah ada ayam yang sedang digoreng entah dengan tepung atau menggunakan bumbu marinasi. Lalu di panci lainnya, potongan-potongan ikan bolu yang digoreng sudah hampir matang. Sayur diproses setelah semuanya selesai. Mama memasak itu semua sendirian. Biasanya saya menambah makanan pendamping yaitu tumis tempe kecap.
Sajian makanan buatan Mama Aziziah: Ayam Goreng, Palekko, Pallumara, Sambal Petai dan Sayur Santan (Foto: Aziziah Diah Aprilya, dari kanan ke kiri)
Dapur di rumah saya tempatnya ada di bagian belakang, dapur itu berdampingan dengan kolam ikan dan mesin air. Ada dua jenis kompor di dapur, satu kompor dengan oven dan satunya kompor gas biasa dengan dua mata yang ditaruh lebih rendah. Kompor dengan oven itu hanya satu matanya saja yang mampu berfungsi dengan baik, sehingga kompor dua mata adalah tambahannya. Saya belum tahu alasannya kenapa kompor oven itu masih harus ada.
Satu kulkas berpintu dua yang tidak berfungsi sebagai pendingin menjadi tempat untuk wadah-wadah makanan dan memasak. Mama tidak terbiasa membuang benda yang masih bisa digunakan. Malah cenderung membeli benda yang berbeda untuk fungsi yang sama, seperti dandang dan rice cooker.
Mama memang terbiasa memasak nasi di dandang besar, jadi setelah nasi itu masak di dandang maka nasinya dipindahkan ke rice cooker untuk tetap menjaganya hangat. Mama bilang rasa nasi jauh lebih enak jika memakai dandang. Padahal saya menganggap rasanya sama saja, hal itu juga kadang terjadi pada menu yang lain.
Mama Aziziah saat cuci piring. Di samping kanannya ada nasi yang selesai di dandang dan perkakas dapur lainnya (Foto:Aziziah Diah Aprilya)
“Ma, kenapa ki masak ikan lagi padahal ada ji daging?” tanya saya saat duduk di dapur mengamati mama merebus iga sapi untuk dijadikan konro. Dia dengan santainya menjawab, “karena lebih enak ki ikan” sambil memasukkan potongan ikan-ikan bolu ke minyak yang telah panas pada panci lainnya.
Sembari dia memasak dan saya menemani, percakapan kami berputar pada persoalan skripsi saya yang belum selesai, kakak saya yang dia inginkan segera menikah, pekerjaan yang sebaiknya harus saya kerjakan setelah lulus kuliah, keluhan uang sekolah yang semakin tinggi, dan jika tidak ada percakapan lagi, dia hanya menyuruh saya membeli sesuatu di luar.
“Beli ko dulu kemangi sama daun bawang di depan” pintanya.
“Bagaimana kalau saya beli juga tempe?” saran saya.
“Mau ko makan lagi tempe?”
“Iya nanti saya pi yang tumis kecap ki” jawab saya.
“Oh iya pade. Beli mi dua ribu, daun bawang. Lima ribu itu tempe. Kemangi minta mi saja.” Saya terkejut mendengar anjurannya untuk meminta Kemangi. Walaupun pasar di dekat gerbang kompleks itu adalah langganan kami, tapi bagi saya meminta bahan makanan begitu saja itu tidak sopan.
“Bisa kah diminta begitu saja? Jangan ki deh” ujar saya.
“Astaga, bisa! coba mi. Tapi beli tempe sama daun bawangnya di satu tempat saja, minta kemanginya di situ juga.” tantangnya.
Saya lalu pergi ke pasar di depan kompleks. Pasar itu adalah pasar kecil yang berukuran sekitar 10 meter, memenuhi samping jalan bagian kiri gerbang Kompleks Taman Telkomas. Pasar itu terdiri dari beberapa gerai yang menyediakan sayur, bumbu, tempe, tahu, dan buah-buahan. Jika tiba-tiba Mama kekurangan bumbu atau bahan makanan, pasar itu adalah solusi tercepat yang bisa kami jangkau.
Saya memarkirkan motor pada satu gerai yang dijaga oleh perempuan yang sepertinya lebih muda dari saya, itu adalah penjual yang paling sering saya singgahi karena saya merasa segenerasi dan dia senang tersenyum. Saya lalu membeli daun bawang dan tempe di gerainya.
“Boleh minta kemanginya sedikit?” tanya saya, ragu.
“Boleh sekali, Kak” Jawabnya sambil tersenyum dan memberikan saya kemangi segenggam. Saya lalu pulang ke rumah dengan perasaan takjub. Ada beberapa hal yang kadang mungkin tidak harus selalu dihitung atau dipertukarkan dengan uang.
Saya mengingat puasa tahun ini, saat Pandemi COVID-19 membuat kami takut membeli takjil di luar. Tapi dengan situasi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang menjadi kebijakan pemerintah, teman-teman mama saya terutama yang tinggal di sekitaran Biringkanaya dan Tamalanrea menjadi hobi membuat kue dan gorengan.
Waktu berbuka adalah waktu menikmati hasil dari hobi para tetangga itu, mereka menjualnya sebagai formalitas saja agar uang hasil jualan itu dibelikan bahan kembali. Beberapa orang kerap menjual menu yang sama, sehingga mama biasa bergantian membelinya. Jika hari ini kami menikmati Jalangkote milik Ibu Syarif, maka dua hari ke depan adalah giliran Jalangkote milik Tante Lina. Mama sering menanyakan pendapat kami mengenai jualan tetangga itu. Saran-saran dari kami dia sampaikan kembali kepada yang menjual, seperti sambal yang tidak terlalu pedas, isi risoles yang kebanyakan, atau apa saja yang kurang pada makanan yang dipilih hari itu.
“Kenapa ki ndak menjual juga, Ma?”
“Kita jadi yang membeli saja” jawabnya saat itu.
Mama memiliki banyak teman. Dia punya banyak sekali lingkaran pertemanan dari berbagai kelompok, ada dari ibu-ibu kompleks, RT, pengajian, senam, dan alumni orang tua SD saya. Hubungan pertemanan itu diperkuat dengan acara arisan, pernikahan, dan saling berbagi makanan.
Satu waktu saya pernah berniat untuk mendatangi dosen pembimbing di rumahnya dan saya merasa perlu untuk membawa sesuatu ke sana, setidaknya agar lebih menyenangkan saat kami berdiskusi nanti. Saya lalu menanyakan kepada mama apakah ada kue yang bisa saya bawa, dia lalu menelpon temannya yang menjual Barongko. Beberapa menit kemudian, Barongko itu ada dan bisa saya bawa pergi. Itu juga menjadi kebiasaan Mama untuk selalu mengusahakan setiap makanan yang kita minta agar bisa hadir di dapur atau meja makan.
Saya pernah memberitahunya bahwa menyantap makanan bersama kerupuk kampung jauh lebih enak. Mama tidak menanggapinya dan saya juga tidak terlalu meminta untuk dituruti. Namun beberapa hari kemudian toples besar ditaruh di meja makan dan kerupuk kampung memenuhi isi toples itu. Lalu sejak saat itu, kerupuk kampung selalu menjadi bagian dari list belanjaan pasarnya. Dia juga kemudian menjadi pelanggan tetap salah satu penjual kerupuk kampung di pasar. Beberapa waktu Mama juga menambahkan jenis kerupuk lain, biasanya rempeyek dan emping.
Sebelum ke Dapur
Pagi itu saya menemani Mama dan Bapak untuk berbelanja kebutuhan bahan makanan selama beberapa minggu di Pasar Daya, pasar yang terletak sekitar 3 km dari rumah. Kami berangkat sekitar jam 8 pagi. Setelah memarkir mobil, Mama langsung bergegas ke bagian penjual hasil laut yang terletak agak di belakang. Aroma amis berbagai hasil dari laut yang mayoritas ikan memenuhi tempat itu. Mama hanya berkeliling sebentar sambil bertanya-tanya harga. Dia lalu berhenti di lelaki yang menjual Ikan Lemuru besar, berat ikannya mungkin sekitar 10 kg. Dia memesan kepada penjualnya untuk dipotong menjadi empat bagian, tiga bagian itu rencananya akan dibakar, lalu satunya yang di bagian kepala akan dijadikan ikan masak. Mama bahkan ingin masuk ke bagian tempat pemotongan penjual ikan itu untuk menunjukkan potongan yang dia inginkan, tapi penjual itu melarangnya dan memilih mendekatkan ikan kepada Mama agar dia bisa langsung menunjukkan bagian mana yang harus dipotong.
“Mau ki Ikan Bolu?” tanya Mama pada Bapak yang baru bergabung bersama kami.
“Mau di apai?” tanya Bapak saya balik.
“Dibakar toh?”
“Oh iya, beli mi satu saja”
Mama lalu membeli satu ekor Ikan Bolu pada penjual lainnya. Setelah itu dia juga membeli Ikan Sinrilik sepuluh ekor yang ukurannya kecil untuk nanti digoreng. Semua keputusan membeli ikan jenis apa dan akan diolah jadi apa ikan itu, dia tanyakan kembali ke Bapak saya yang memang sangat menggemari ikan.
Mama lalu melangkah ke arah penjual sayur. Dia membeli kangkung, sawi, oyong, terong, dan mentimun, dia juga meminta untuk ditambahkan ketumbar, daun bawang, kemangi, dan sagu. Tentu saja dengan sesekali mengatakan, “lebih-lebihkan sedikit kodonge” yang akan dibalas dengan tertawaan kecil Ibu penjual sambil memasukkan tambahan dua batang daun bawang dan kemangi di kantongan. Kemudian Mama ke penjual sayur lainnya untuk membeli tomat, cabe, kentang, wortel, cabe, bawang bombay, dan santan instan. Dia berjalan keluar untuk melihat-lihat jeruk nipis di penjual yang memang menghamburkan banyak sekali jeruk nipis di satu tempat besar sehingga pembeli lebih leluasa memilih. Mama diberikan satu baskom kecil dari penjual untuk memasukkan jeruk-jeruk nipis pilihannya. Setelah dia mendapatkan satu kiloan jeruk nipis, kami lalu berjalan kembali ke arah penjual sayur yang di dalam untuk membeli bawang merah, kunyit, serei, mi sohun, daun jeruk, dan daun salam.
Sebenarnya saya bertanya-tanya alasan Mama membeli sayuran dan berbagai rempah itu di penjual sayur yang berbeda-beda, padahal dia bisa menghemat langkah kakinya dengan membeli semuanya di penjual sayur yang sama. Alasannya karena dia mau memilih sayuran tersegar, di penjual sayur yang satu tomatnya banyak yang busuk jadi dia memilih ke penjual yang tomatnya segar-segar. Begitu pula dengan bahan lainnya. Padahal saya sendiri merasa membeli bahan makanan di penjual yang berbeda-beda agar membantu distribusi modal atau untung secara lebih luas, sehingga tidak hanya menguntungkan satu penjual saja.
Untuk ayam, Mama membeli di penjual langganannya. Saat tengah menunggu ayam yang akan dipotong, Mama menelpon salah satu tetangga kami dan menanyakan apakah dia ingin menitip ayam. Tetangga itu kemudian menitip tiga ekor ayam. Baginya penting untuk menyebarluaskan ayam langganannya ini karena penjualnya masih muda dan baru dalam bisnis pemotongan ayam.
Saat perjalanan pulang, kami singgah di rumah tetangga yang menitip itu untuk memberikannya ayam. Seperti biasa Mama menyuruh saya dan Bapak untuk pulang duluan karena dia akan bercerita lebih lama dengan tetangga itu.
Setelah Meja Makan
Waktu Mama dan Bapak pergi ke Palopo untuk menghadiri pernikahan keluarga, saya dan kakak pertama harus memikirkan soal makanan kami di rumah selama seminggu bersama dua adik saya yang lain. Agar lebih praktis biasanya kami memesan lauk melalui ojek online dan saya akan memasak nasi untuk porsi empat orang. Karena kedua adik saya terbiasa makan ayam, maka makanan yang kami pesan biasanya ayam. Kadang untuk mengimbangi itu, Mama dari jauh juga memesan catering dari temannya untuk diantar ke rumah, menu catering yang datang itu; ikan, sayur, tempe goreng atau bakwan, dan sambal terasi.
Isi piring makan Aziziah (Foto: Aziziah Diah Aprilya)
Itu bukan pertama kalinya kami ditinggal di rumah. Kalau dulu saya tidak peduli kami akan makan apa, kini saya lebih sadar untuk memerhatikan menu makanan yang kami konsumsi. Terutama menghadirkan sayuran dalam menu makanan sehari-hari untuk menjadi sumber vitamin dan serat agar makanan mudah diolah di dalam tubuh. Jadi saya sering menitip kepada Kakak pertama untuk membeli olahan sayur di warung, biasanya tumis kangkung karena itu yang disenangi oleh kedua adik kami. Walaupun makanan sisa akan bertambah jauh lebih banyak dengan ketidakhadiran Mama di rumah.
Biasanya Mama menaruh sisa sayur, daging ikan, dan kerak nasi pada satu piring putih bekas. Dia mengingatkan agar kami mengumpulkan sisa makanan ke satu piring itu. Setelah semua orang makan, kami akan menaruh isi piring putih itu ke tanah samping rumah. Sekumpulan anjing atau kucing akan datang menghampiri beberapa menit kemudian.
Makanan sisa selalu menjadi jatah anjing-anjing dan kucing yang hidup di sekitaran rumah. Dulu hanya satu anjing yang entah darimana asalnya tiba-tiba berkeliaran di lorong jalan. Mama memberikannya nama Bruno, mungkin terinspirasi dari nama karakter anjing di kartun Tom and Jerry.
Bruno menjadi populer di lorong jalan rumah saya karena dia seperti anjing penjaga di malam hari yang menggonggongi orang-orang yang lewat di lorong. Berapa kali teman-teman saya ketakutan untuk datang ke rumah karena Bruno kadang mengejar motor mereka, walaupun sebenarnya Bruno hanya senang berlari dan menggonggong tiap ada kendaraan yang lewat, tapi dia tidak benar-benar akan menggigit.
Kehadiran Bruno membuat saya tidak terlalu merasa bersalah ketika tidak menghabiskan makanan, bahkan kadang saya sengaja untuk menyisakan sedikit nasi dan lauk yang sedang dimakan untuk anjing itu dan anak-anaknya. Namun jika Mama ada di rumah, mengosongkan piring putih bekas itu adalah hal yang akan membuatnya tersenyum.
Perempuan dan Hal yang Dia Lampaui
Membuka tudung saji meja makan di rumah sendiri membawa saya pada perjalanan cerita masa lalu yang sebagian besar membentuk diri saya hari ini. Di saat hal sesederhana seperti makanan yang saya konsumsi ternyata ikut mempengaruhi komunikasi personal saya dengan keluarga. Begitupula mengamati bagaimana makanan itu dikerjakan oleh Mama membuat saya ikut memahami perannya yang sangat besar di dalam rumah. Sama pentingnya dengan peran Bapak yang bekerja di luar rumah.
Setelah selesai memasak, Mama Aziziah akan memotret seluruh hidangan yang telah dibuatnya (Foto: Aziziah Diah Aprilya)
Makanan yang merupakan salah satu sumber penghidupan seorang manusia untuk bergerak dan bekerja menjadi bagian yang dikelola oleh Mama, yang sebagian besar selalu dia kerjakan sendirian. Lebih lagi dia atur dengan menyesuaikan selera lidah setiap orang di dalam rumah yang berbeda-beda. Bagi saya yang hanya belajar manajemen melalui komunitas (kolektif) begitu terpukau dengan dirinya yang melakukan manajemen di ranah domestik dengan sendirian. Bahkan dengan segala kehidupan sosial yang dia miliki di luar dari domestik itu, yang masih bisa sanggup dia seimbangkan.
Mungkin ungkapan “surga di bawah telapak kaki ibu” itu hadir atas penegasan bahwa seorang ibu selalu mampu melampaui “surga” itu, setidaknya itu yang saya rasa pada telapak kaki ibu saya. Sebuah potensi yang mungkin juga bisa saya miliki karena kami berdua adalah seorang perempuan.
Seorang perempuan pakar psikologi – Helen Deutsch, dikutip oleh Dr. Zakaria Ibrahim dalam bukunya Psikologi Wanita mengatakan bahwa “konsekuensi dari struktur biologis perempuan adalah hadirnya kedua unsur yang berjalan beriringan yaitu masokhisme, usaha mendapatkan kenikmatan dengan menyakiti diri sendiri dan narsisme, rasa kagum dan bermesraan dengan diri sendiri. Hal ini disebabkan karena kehidupan psikis perempuan didasarkan atas semacam keserasian dan keseimbangan antara “cinta diri” dan “upaya menyakiti diri sendiri”. Namun demikian, kita sadar bahwa daya pesona yang berkekuatan besar yang terdapat dalam penderitaan – khususnya pada kehidupan perempuan yang tidak dapat kita temui pada diri laki-laki – adalah disebabkan karena kehidupan biologis perempuan memberi beban, derita dan pengorbanan yang besar bagi dirinya. Dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa menanggung derita dan siap berkorban merupakan hal penting bagi perempuan sebagai konsekuensi dari fungsi reproduksinya” Tulis M Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul “Perempuan”, beban reproduksi yang harus dipikul itulah yang menjadikan seorang perempuan mengalami sirkulasi bulanan, melahirkan, menyusui, mendidik anak dan sebagainya yang selalu disertai oleh sakit atau derita, tetapi juga kenikmatan.
Kedua unsur yang beriringan itu pula yang saya lihat pada Mama dengan dapurnya. Walaupun dia tidak pernah secara eksplisit terlihat “menderita” namun keriuhan manajemen dapur, mulai dari berbelanja di pasar, menyesuaikan selera personal setiap orang di rumah, dan mengatur agar makanan itu tidak bersisa adalah sesuatu yang tidak mudah, juga bukan hasil dari “kebut semalam” namun dari perjalanan pengalaman seorang perempuan remaja yang memilih menikah di umur 18 tahun hingga dia melewati 27 tahun pernikahan. Perjalanan yang masih bersedia dia lalui dengan tetap ada dan mengurusi kami semua, atas alasan yang mungkin boleh kita sebut cinta, bagi saya adalah “kenikmatan” dirinya yang ikut berjalan beriringan.
Saya merasa kadang jauh sekali belajar tentang konsep perempuan dari buku-buku luar, sedangkan Mama, dapur, dan meja makannya adalah “buku-buku” terdekat yang bisa saya baca dan kontekskan dalam kehidupan sehari-hari.