Makassar dalam Mie
Anna Asriani Muhlis, peserta Kelas Menulis & Meneliti MakassarNolKmDotCom, menyusuri nadi Kota Makassar melalui kebudayaan kuliner mie. Ia berkenalan dengan pemilik Mie Awa dan mengikutinya berhari-hari–bahkan harus menembus subuh untuk melihat keseharian pemilik usaha tersebut. Berikut ini cerita hasil penelusuran Anna, sekaligus menjadi tulisan ketiga hasil pelatihan yang dilaksanakan situs bersama ini Maret 2014 lalu.
Pusat perkampungan etnis Tionghoa di Kota Makassar, menurut Heather Sutherland dalam “Kontinuitas dan Perubahan Dalam Sejarah Makassar: Perdagangan dan Kota di abad ke-18” (Dias Pradadimara & Muslimin A. R. Effendy (Peny.); Kontinuitas & Perubahan Dalam Sejarah Sulawesi Selatan. Yogyakarta, Ombak, 2004), sekaligus pusat Vlaardingen (pusat perekonomian), adalah Chinessestraat (nantinya jadi Tempelstraat hingga berubah Jalan Sulawesi), paralel dengan garis pantai di mana hampir semua orang Tionghoa dan orang Eropa tinggal di sini. Selain sepanjang Jalan Sulawesi, warga Tionghoa bermukim di Jalan Bali, Timor, Sangir, Serui, Irian dan sekitarnya.
Di kawasan ini, bila menyusurinya dari Jalan Ahmad Yani, tepatnya sekisar 20 meter dari Gedung Kesenian Kota Makassar, terdapat warung yang bernama Mie Awa. Warung ini terletak di Jalan Sulawesi, bersampingan kiri dengan Bank Mutiara, sebelah kanannya Yayasan Ibadah Bhakti, dan Bank Pundi di depannya. Dulunya warung ini di Jalan Bali bersampingan dengan kelenteng Xiang Ma, sejajar dengan parkiran Makassar Suki, selorong dengan Mie Anto, dan sejajar pula dengan sebuah bioskop tua yang telah terbakar.
Waktu Mie Awa masih di Jalan Bali, ruangannya sangat kecil—hanya empat meja (dua panjang dan dua kecil), sehingga pelanggan harus antri dan menunggu sampai berjam-jam. Di sana terpajang foto generasi pertama dan generasi kedua Mie Awa.
Usaha ini dulunya bernama Mie Angko. Pertama kali didirikan di Jalan Bali tahun 1960-an oleh Angko Chao dan belum berbentuk warung ketika itu. Hanya gerobak di pinggir jalan dan cuma punya satu meja serta beberapa kursi. Si pendiri usaha meninggal lalu diganti oleh salah seorang anaknya bernama Awa. Sang penerus lalu mengganti nama warung itu menjadi Mie Awa. Setelah Pak Awa, usaha ini dilanjutkan oleh anaknya, Wawan.
Tahun 2012, Mie Awa pindah ke Jalan Sulawesi karena masa kontrak dari sebuah yayasan sudah habis.
Usaha Mie Awa meningkat mempunyai pelanggan yang banyak. Wawan lalu membuka empat cabang Mie Awa: di Jalan Urip Sumohardjo, Jalan Alauddin, Jalan Pattimura, dan Transmall. Wawan adalah buah hati Pak Awa dan Sitti Aisyah.
Ibunya perempuan berdarah Malino-Gowa, yang kini memegang Mie Awa Cabang Pattimura. Ibu Sitti Aisyah menceritakan, ia bertemu dengan Pak Awa karena ia senang dan suka makan Mie Angko, usaha warungan Angko Chao. Di sanalah keduanya bertemu pertama kali dan jatuh cinta. Bila Sitti Aisyah makan di Warung Angko, yang sering mengantarkan mienya adalah pemuda Awa. Keduanya dikaruniai tiga anak. Anak-anaknya masing-masing mengendalikan Mie Awa Cabang Jalan Urip Sumoharjo, Cabang Alauddin, dan Jalan Sulawesi.
Orang-orang Tionghoa di Kota Makassar, berdasarkan Muslimin AR Effendy dalam “Tionghoa Makassar di Tengah Pusaran Sejarah”, memiliki pekerjaan dan keterampilan/ahli di bidang tertentu. Orang Hokkian menjadi pedagang emas, teh, obat-obatan, kain, barang pecah belah, hotel dan hiburan. Orang Kanton menekuni usaha penggilingan padi, menjual makanan, penjahit, warung kopi, restoran, tukang foto, dan sedikit menjual pakaian. Orang Taiwan menjadi pedagang nasi, jasa penginapan, dan transportasi. Orang Kiangsu dan Chekiang kebanyakan membuka usaha reparasi arloji, sepatu, optik, dan penjual buku (Dias Pradadimara & Muslimin AR Effendy (Peny.), Kontinuitas & Perubahan dalam Sejarah Sulawesi Selatan, Ombak, 2004).
Kedatangan Tionghoa di Makassar terdorong oleh dua faktor. Yang pertama, Etnis Tionghoa dikenal sebagai sebuah bangsa yang senang dan suka berniaga dan berdagang. Kedua, adanya desakan sistem politik dari dalam Negeri Bangsa Cina yang sedang berkecamuk terutama di abad ke-17 saat terjadinya pergeseran kekuasaan di Tiongkok (Shaifuddin Bahrum, Cina Peranakan Makassar, Yayasan Baruga Nusantara, 2003).
Menu mie dalam masyarakat Tionghoa tampaknya sangat penting. Menurut Sitti Aisyah, mie yang bentuknya panjang mereka ibaratkan bisa hidup panjang umur dan banyak rezeki. Contoh ketika mereka merayakan ulangtahun baik itu cucunya, anaknya, orangtuanya dan lainnya, menu yang wajib disediakan adalah mie.
Ada yang unik di Mie Awa. Gerobak yang digunakan warung ini dari generasi pertama sampai generasi ketiga masih digunakan hingga sekarang. Gerobak itu tampak sudah berwarna coklat pudar dan kusam. Kata Sitti Aisyah, gerobak itu sudah beberapa kali diperbaiki. “Kami tidak mau menggantinya karena gerobak itu pertama kali yang digunakan mertua saya. Gerobak itu punya banyak cerita dan, tentunya, berseni bagi kami,” katanya.
Tradisi tampak dirawat oleh Mie Awa, sebagaimana pula yang dilakukan oleh para saudara satu kakek Mie Awa yang kemudian menjadi label mie terkenal di Kota Daeng seperti Mie Titi, Mie Hengky, Mie Anto, Mie Yanto, Mie Ceng, dan Mie Tedy. “Kami saudara atau sedarah dari satu kakek,” ungkap Wawan.
Gerobak itu berada di bagian dapur Mie Awa, yang terletak di bagian depan warung, jalan masuk utama. Di dapur itulah terdapat gerobak tempat menyimpan bahan dan bumbu-bumbu untuk sejumlah menu mie. Di bagian depan itu pula terdapat tungku tanah liat dengan sebuah kipas.
“Dulu masih pakai kipas biasa, bukan mesin. Masih pakai arang karena bisa memasak pakai arang masakan lebih beraroma nikmat dan kuat,” terang Sitti Aisyah.
Aroma masakan itu memang bisa tercium sejak kita masih berada di parkiran. Begitu saya masuk, tampak wajan, beberapa ember merah dan biru, tumpukan piring, beberapa boks tempat menyimpan mie yang sudah digoreng di pagi atau siangnya. Seorang laki-laki sedang memasak bermacam menu pesanan, sedang seorang perempuan sibuk menyediakan pesanan mie yang sudah siap saji.
Aroma itu datang dari bahan-bahan menu masakan Mie Awa yang terdiri dari mie, telur, bawang putih, bawang merah, ayam, sayur sawi, dan beberapa bahan lainnya. Bahan baku mie diperoleh dari sebuah pabrik mie di Jalan Timor. Sedang telurnya didapatkan dari Pasar Terong. Setiap malam, Pak Ipul datang membawakan telur-telur tersebut ke warung Mie Awa menggunakan motor. Sedang ayam, sayur sawi, bawang putih dan bawang merah datang dari Pasar Sentral. Berawal dari sinilah saya kemudian memberi judul tulisan ini “Makassar dalam Mie” karena semua bahan-bahan untuk menu yang tersedia di Mie Awa bisa didapatkan di banyak tempat di Kota Makassar.
Beberapa menu masakan Mie Awa yang dapat dicicipi pelanggannya antara lain: Mie Kering, Mie Celup, Mie Hokkian, Mie Kuah, dan Mie Jendral. Nama terakhir memang terdengar unik. Menurut Sitti Aisyah, sejarah nama itu bermula ketika mendiang Jenderal M Yusuf datang ke Warung Mie Awa.
Ketika itu Jenderal Yusuf ingin memasak dan membuat menu sendiri dengan mencampur bahan mie besar yang ada di menu Mie Kuah dan kuah kental ala Mie Kering. Racikan ini kemudian dicampur dengan telur goreng dan bawang goreng. “Kata Jenderal Yusuf, bila menu saya ini enak maka berikanlah dia nama Mie Jenderal,” kenang Sitti Aisyah. Dan menurut Pak Awa, tambah Sitti Aisyah, mie jendral memang sangat enak maka diberikanlah nama tersebut dan dipasang di daftar menu Mie Awa.
Bagi yang ingin berkunjung ke sana mencoba menu, Warung Mie Awa mulai buka sekisar 17.00 sampai 24.00 Wita. Harga mulai Rp 18.000 untuk porsi kecil sampai Rp 20.000 untuk porsi besar (tambah telur goreng Rp 5.000 atau Rp 10.000 kalau tambah gorengan).
Pelanggan adalah raja. Begitu juga di Mie Awa. Kita bisa memilih sesuka hati seperti apa menu yang disajikan—seperti mau pisahkan kuah atau satukan dengan mienya. Cabai tumbuk pun bisa kita minta kalau tidak senang dengan cabai biji yang disajikan di meja.
Selama saya di sana, pelanggannya tampak dari kalangan yang beragam, dari kelas atas, menengah, sampai kelas bawah. Mereka datang bersama teman, sahabat, keluarga, sampai bawa pasangan. Ramainya pengunjung itu tak meluputkan Mie Awa sebagai sasaran stiker atau gambar dari para calon anggota legislatif yang banyak menempel di dinding warung ini.[]
:: Anna Asriani Muhlis, alumni Jurusan Sejarah Universitas Hasanuddin.