Dapur Nenek dan Mitos Makanan Sisa
Pengantar
Selama 21 tahun saya dibesarkan oleh nenek saya. Tidak pernah beliau membiarkan saya kelaparan dalam sehari. Nenek yang kemudian saya sebut Oma sangat memperhatikan kebutuhan pangan sehari-hari. Dapurlah yang menjadi tempat mengendalikan semuanya. Selain berfungsi sebagai tempat memasak, dapur juga mempunyai fungsi yang lain, antara lain tempat berbagi cerita, tempat berlangsungnya pendidikan dan menanamkan nilai-nilai kehidupan, tempat menjalin kasih orangtua dan anak-anak.
Dulu saya tidak pernah menganggap dapur adalah sebuah tempat yang menarik untuk diperhatikan, dibahas dalam diskusi, atau sampai dituliskan. Namun, berkat kelas menulis di Kampung Buku bersama Kak Jimpe dan kawan-kawan, saya sadar bahwa sangat banyak cerita dibalik dapur yang kotor itu. Melalui tulisan ini, saya akan bercerita tentang dapur Nenek Uttu’, buyut saya di Toraja dan berlanjut ke dapur Lidwina, oma saya, anak Nenek Uttu’, di Perumnas, Kota Makassar.
Lemo
Nenek Uttu’ saya bernama Ne’ Rura Ishak Payung (Ne’ Rura) dan Ne’ Ribka Dandan (Ne’ Dandan). Nenek Dandan sampai ketika saya menulis tulisan ini masih hidup, sedangkan suaminya meninggal dan dimakamkan tahun 2018. Rumah mereka berlokasi di Kelurahan Lemo, Toraja. Secara geografis, Lemo terletak di sebelah utara Makale dan selatan Rantepao. Salah satu situs wisata yang terkenal di sana adalah Wisata Lemo yang merupakan pemakaman batu para leluhur masyarakat Lemo, termasuk Ne’ Rura juga dimakamkan di sana.
Peta Kelurahan Lemo, Kecamatan Makale Utara, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Lemo dalam bahasa Toraja artinya jeruk, merujuk pada buah jeruk besar atau yang biasa kita sebut jeruk Bali (Citrus maxima atau Citrus grandis). Sesungguhnya buah jeruk besar atau jeruk Bali ini adalah buah khas Asia Tenggara. Jeruk besar ini juga ada di Lemo, baik yang berdaging buah warna merah dan yang putih, walaupun tidak dibudidayakan secara masif. Saya ingat waktu kecil, kami biasa duduk di tongkonan nenek sambil makan lemo besar.
Latar Belakang Keluarga
Nenek Uttu’ saya seorang petani. Selain bertani, Ne’ Rura dan Ne’ Dandan juga berdagang. Namun, status yang melekat pada mereka adalah petani ketimbang pedagang. Selain itu, dulunya ayah dari Ne’ Rura berperan sebagai pemegang adat atau To Bara’/hakim. Namun anaknya tidak melanjutkan peran tersebut. Mereka bukan pedagang besar, namun cukup untuk menghidupi keluarga. Ne’ Rura biasanya menjual buyang (pembungkus rokok) dan tembakau di pasar. Istilah yang digunakan oleh cucunya (ibu saya) adalah gulser atau gulung sendiri. Jadi, zaman dulu belum ada rokok seperti yang ada sekarang, masyarakat lokal melinting rokoknya sendiri. Sedangkan Ne’ Dandan menjual sayur-sayuran di pasar. Beliau juga menjual kue-kue dan buah pisang di warung kecil di pinggir jalan. Setelah adanya proyek perluasan jalan poros Makale – Rantepao, Ne’ Dandan sudah tidak menjual lagi di warungnya karena sudah dibongkar.
Nenek uttu’ memiliki 11 anak, namun yang bertahan hidup berjumlah 8 orang. Anaknya yang ketiga bernama Lidwina Parirak adalah Oma saya. Setelah tamat dari Sekolah Rakyat, Oma saya memutuskan ikut bibinya ke Kota Makassar agar dapat melanjutkan sekolah.
Dapur Nenek Uttu’
Di dapur Ne’ Uttu’ terdapat kayu yang berbentuk persegi, di dalamnya diisi tanah dan di atasnya diletakkan tungku yang terdiri atas tiga batu. Di atas tungku itu diletakkan alat-alat masak, seperti belanga tanah, wajan besi, dan panci aluminium. Bahan bakar untuk memasak adalah kayu bakar yang diselipkan di antara batu tungku. Untuk menyalakan api, nenek menggunakan korek kayu dan membakar secarik kertas/ranting kering/daun kering , lalu dilemparkan ke dalam tungku. Agar api tetap menyala, nenek meniup api itu dengan menggunakan sebuah alat berbentuk corong panjang yang memiliki lubang di kedua sisinya, yang disebut pesue. Pesue aslinya terbuat dari bambu, namun pesue yang nenek pakai adalah besi bekas yang sudah tidak terpakai lagi. Bibir nenek harus melekat pada pesue agar udara tersalur dengan baik.
Di atas tungku api tergantung Palanduan (para-para, tempat menyimpan kayu bakar) yang terbuat dari anyaman bambu. Di atasnya diletakkan kayu-kayu kering maupun kayu-kayu yang masih basah. Asap dari pembakaran di tungku api akan menjadikan kayu basah menjadi kering dan kayu kering semakin kering. Di bagian bawah Palanduan kayu biasanya digantung ikan, daging kerbau, dan daging babi yang sudah dibumbui dengan campuran merica, ketumbar, dan cuka.
Saat libur sekolah tiba, Oma dan saya berlibur ke Lemo, Toraja. Kami naik bus dengan jarak tempuh sekitar 300 kilometer selama kurang lebih delapan jam. Kami biasanya berangkat malam pukul 22.00 wita dan tiba di Makale pukul 06.00 wita. Sesampainya di Toraja biasanya saudara oma menunggu di samping jalan untuk membantu membawa tas dan barang bawaan. Tas dan barang bawaan kami dinaikkan ke atas gerobak dorong yang biasanya dipakai untuk mengangkut pasir. Soalnya, jarak dari tempat kami turun sampai ke rumah nenek kira-kira sekitar 250 meter.
Rumah Nenek Uttu' Regina di Lemo yang bersampingan dengan Rumah Tongkonan. Foto:Regina M.Sweetly
Rumah Nenek Uttu’ dekat dengan area persawahan. Area persawahan itu disebut Indo’ Kulla’ yang dulunya merupakan rawa besar. Menurut cerita oma saya, pernah ada mayat orang yang tenggelam di rawa besar ditemukan di Sungai Saddang keesokan harinya. Bisa saja Indo’ Kulla terhubung dengan Sungai Saddang, atau cerita itu hanyalah sebuah mitos. Di sekitar rumah Nenek Uttu’ juga terdapat banyak sekali tumbuhan-tumbuhan antara lain, lemo/jeruk besar, salak, rambutan, langsat, kopi, kokoa, nenas, durian, mangga, pisang, pinang, papaya, kelapa, labu, kacang-kacangan, umbi-umbian, pangi, miana, utan bai secara lisan disebuttambai atau sayur babi, bambu, dan enau/aren. Tumbuh-tumbuhan itu diolah untuk dikonsumsi langsung, ada pula yang dijual ke pasar.
Beras hasil panen Nenek Uttu’ tidak dijual ke pasar, melainkan dikonsumsi oleh keluarga. Beras disimpan di Alang (lumbung padi). Alang selain berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan padi, juga sebagai tempat duduk dan makan bersama. Jika ada acara, tamu akan dipersilahkan duduk di Alang dan dijamu dengan kopi, the, ballo/tuak deppa/kue, dan hidangan makanan lainnya. Alang-alang berjejer di depan Tongkonan (rumah adat suku Toraja). Rumah Tongkonan nenek tidak sering digunakan, sebab Nenek Uttu’ tinggal di atas rumah panggung (rumah kayu) yang letaknya berada tepat di samping Tongkonannya. Tongkonan nenek memiliki dua ruang kamar tidur dan sebuah ruang keluarga, yang sayangnya tidak cukup bagi semua anggota keluarga untuk menyelenggarakan kegiatan sehari-harinya di sana. Maka dari itu, mereka memerlukan sebuah rumah yang dapat menampung seluruh aktivitas mereka. Tongkonan lebih banyak berfungsi dalam upacara-upacara adat, karena ruang tengahnya digunakan untuk rapat keluarga, menyimpan mayat, sedang dua kamar tidur digunakan oleh tamu/keluarga yang datang dari jauh, depan Tongkonan sebagai pusat suara/panggung pemimpin upacara adat/keagamaan, dan kolongnya bisa digunakan untuk mengurung babi.
Lokasi rumah Ne’ Uttu sangat bagus karena dari sana kita bisa melihat hamparan sawah dan pemandangan jalan poros Makale-Rantepao di seberang. Selama ini saya tidak menemukan ada yang janggal dari rumah nenek. Namun, dapur yang selama ini saya anggap sebagai bagian depan rumah nenek sebenarnya merupakan bagian belakang rumah tersebut. Anggapan saya terbentuk demikian karena beberapa hal, yaitu ketika masuk ke rumah nenek, tangga yang selalu digunakan adalah tangga dapur. Orang-orang di rumah nenek tidak pernah melewati tangga depan. Malahan, pintu di tangga depan itu lebih sering tertutup. Saya hampir tidak pernah melihat nenek uttu’ menyambut tamu di teras depan yang berfungsi sebagai ruang tamu. Untuk menuju ke sana, orang-orang mesti melewati kolong rumah, atau lewat di samping rumah panggung. Biasannya nenek menyambut orang yang datang langsung di meja makan karena posisi meja makan itu berhadapan dengan pintu masuk rumah nenek.
Saya sulit untuk menyebut bahwa orang yang datang ke rumah Nenek Uttu’ adalah tamu, sebab, hampir semua yang datang ke rumah itu sebenarnya adalah kerabat atau keluarga. Kalaupun ada orang baru yang datang ke rumah nenek, atau bisa disebut tamu, barulah dia disambut di teras rumah (ruang tamu), tetapi ia tetap saja masuk melalui pintu dapur, bukan naik lewat pintu depan. Mungkin pola dapur dan meja makan yang berhadapan dengan pintu masuk itu terbawa sampai oma saya tinggal di Makassar, sebab posisi dapur Oma di Makassar juga berhadapan dengan pintu gerbang rumah.
Oma saya berulang kali menceritakan kisah masa kecilnya di Toraja. Menurut cerita Oma, ia sudah terbiasa bekerja sejak kecil. Mengurus adik-adiknya, membantu orangtuanya bertani, memelihara hewan, menemani nenek berdagang di pasar, dan bersekolah. Sebelum matahari terbit ia biasanya sudah bangun dan pergi memasak air. Setelah bangun, ia tak pernah berlama-lama di kamar tidur seperti yang sering saya lakukan. Mengetahui kebiasaan oma saya itu, saya belajar bangun pagi walau itu sangat sulit, apalagi udara di Toraja yang sangat dingin.
Dapur adalah tempat yang pertama kali dituju setelah seisi rumah bangun pagi. Ne’ Uttu’ biasanya memasak makanan babi di pagi hari dan petang hari. Jadi, setelah mangiru’ (minum teh atau kopi), biasanya Ne’ Uttu akan pergi memberi makan babinya atau jika tidak, menantunya yang akan melakukannya. Ne’ Uttu’ menggunakan panci khusus untuk memasak sayur babi yang dicampur dedak. Dedak, kulit padi/hasil padi yang sudah ditumbuk itu, adalah komponen penting makanan babi yang katanya mempercepat pertumbuhan babi. Tugas untuk memberi makan babi biasanya dikerjakan perempuan. Suatu hari, oma saya menceritakan pengalaman masa kecilnya memberi makan babi. Ia bangga karena walau badannya kecil dan tangannya pendek, babi yang ia pelihara besar-besar.
Menurut cerita Oma, setelah memberi makan babi pada waktu petang, oma saya akan ke dapur dan memasak nasi. Waktu itu ia masih kecil dan senang sekali menyanyikan lagu-lagu yang dipelajarinya di Sekolah Rakyat sambil memukul-mukul barang di dapur. Ne’ Dandan akan datang menghampiri dan melarangnya untuk bernyanyi di dapur. “Jangan menyanyi di dapur, nanti kawin sama orang tua,” kata Ne’ Dandan. Jadi, sejak itu oma saya tidak pernah bernyanyi di dapur lagi. Tentu saja itu hanya mitos. Alasan logis di baliknya adalah, petang hari sekitar pukul 6 sore, orang-orang sudah selesai bekerja dan masuk beristirahat di kamar masing-masing. Sedangkan oma saya yang rajin itu masih harus memasak nasi. Jika ia membuat keributan di dapur tentu akan mengganggu anggota keluarga lain yang sedang beristirahat. Maka bisa disimpulkan, sebenarnya pamali bernyanyi di dapur tidak menyebabkan kita dikawini oleh orang tua, namun agar tidak mengganggu orang lain yang beristirahat.
Selera makan Ne’ Rura dan Ne’ Dandan berbeda. Ne’ Rura bisa makan apa saja, sedangkan nenek Dandan tidak. Ne’ Rura juga kadang membuat makanannya sendiri. Menurut cerita oma saya, Ne’ Rura pernah makan ulli’ atau ulat dari pohon ijuk mati. Ulli-ulli’ itu dicampurnya dengan mencampurnya garam lalu dipiong (memasaknya dalam buluh bambu). Makanan kesukaan Ne’ Rura yaitu kepala bale bulawan (ikan mas) yang dibakar lalu dimasak dengan pammarasan (kepayang). Sedangkan Ne’ Dandan hanya makan sayur-sayuran atau umbi-umbian. Ne’ Dandan sangat menghindari makanan yang mengandung bahan cokelat karena semasa hidupnya sudah sering menghirup aroma kakao ketika memanen dan menjemur kakao.
Masakan Oma
Menurut cerita ibu saya, Nenek Uttu’ selalu memasak apapun yang ia petik dari hutan atau kebun. Jadi semua bahan baku masakan segar dan tidak mengandung bahan-bahan kimia atau pengawet. Menu masakan nenek sangat sederhana, seperti sayur daun ubi kayu, sayur daun ubi jalar, sayur daun miana/mayana, sayur paku, sayur nangka, sayur rebung, sayur pangi (kulit buah pangi), sayur kangkung, sayur terong, sayur peria, jamur dll. Sedangkan untuk lauknya, nenek biasanya memasak ikan.
Olahan Sayur Tattu' yang terbuat dari daun ubi yang dicampur dengan bawang merah, bawang putih, cabai dan lada katokkon khas Toraja buatan Oma Regina. Foto:Regina M.Sweetly
Ikan yang paling sering dimakannya adalah ikan kandilo’, ikan terbang kering dan diasinkan. Ikan kandilo’ didatangkan dari Parepare atau Palopo ke Toraja. Apabila musim panen padi tiba, ikan kandilo’ juga banyak dijual. Setelah potong padi, nenek uttu’ membarter satu ikat kecil padi dengan tiga ekor ikan kandilo’.
Nenek Uttu’ dan anak-anaknya juga biasa menangkap ikan di sawah, seperti lendong (belut), bale tongan (ikan gabus), bale kirru’ (gurame), bale tanduk (ikan lele), bale danggo (ikan cambang), bale bulawan (ikan mas), bale todik (ikan kepala putih), dan suso (kerang sawah). Ikan-ikan tersebut diolah dengan cara dimasak, digoreng, dibakar, dipepes, dan dipiong (dimasak bambu). Nenek Uttu’ tidak terlalu banyak menggunakan bumbu dalam masakannya. Istilah nenek adalah ma’nasu tallu atau masak tiga bahan (air, garam dan sayur/ikan). Namun anak-anaknya merasa bahwa ikan sangat tawar dan amis untuk dimasak tiga. Jadi, bumbu-bumbu mulai beragam seperti, serai, bawang putih, bawang merah, dan belimbing (pengganti tomat).
Selain ikan, Nenek Uttu’ juga memasak daging ayam, bebek, daging babi, dan daging kerbau. Bumbu yang dipakai akan lebih beragam dan semuanya dapat diperoleh di sekitar rumah. Masakan andalan Nenek Dandan adalahh ayam kampung burak (batang pisang). Bumbu-bumbu yang dipakai adalah bawang merah, bawang putih, lengkuas, lombok biji, serai, garam, dan kelapa muda lalu dicampur degan burak (batang dalam pisang). Ayam kampung burak bisa dimasak memakai wajan, atau lebih enak lagi jika dipiong. Sedangkan masakan dengan bahan dasar daging babi atau kerbau biasanya dimasak dengan sayur pangi. Sayur pangi yang dimasak adalah lapisan kedua dari buah pangi dan lapisan biji. Bumbu utama yang dipakai untuk mengolahnya adalah kaloa’/pammarasan. Kaloa’ diambil dari biji pangi yang sudah dikeringkan.
Olahan Bale Bulawan (Ikan Mas) menggunakan Pammarasan/Kaloa. Foto: Regina M.Sweetly
Sampai sekarang di dapur Oma di Makassar, resep makanan Ne’ Uttu masih diteruskan oleh Oma dan mama saya. Lidah kami sudah terbiasa dengan hidangan makanan kampung. Selera kesukaan kami ya masakan Toraja dan Chinese food. Chinese food biasanya tidak lepas dari daging babi dan selalu dalam porsi besar. Bukan tanpa alasan, orang Toraja giat bekerja, itu membuat kami butuh asupan nutrisi dan porsi besar makanan untuk tetap menjaga stamina dan kesehatan. Semiskin-miskinnya orang Toraja, tidak ada yang mati kelaparan. Terlihat jelas dalam setiap upacara adat makanan selalu melimpah. Dengan makanan yang melimpah itu apakah ada yang tersisa? Jika ada bagaimana kami memperlakukan makanan sisa?
Mitos Makanan Sisa
Hampir tidak pernah ada makanan yang terbuang sia-sia di rumah ne’ uttu’ di Toraja. Bahkan le’ke atau kerak nasi yang sudah lengket di pemanas pun diusahakan agar tidak terbuang. Salah satu cara agar anak-anak atau cucu-cucu tidak membuang nasi yaitu menceritakan mitos yang menurut saya tidak masuk akal. Mitos tentang makanan kerap dianggap sebagai takhayul. Menurut James Danandjaja, takhayul menyangkut kepercayaan dan praktik (kebiasaan). Pada umumnya ia diwariskan melalui media tutur kata. Tutur kata ini dijelaskan dengan syarat-syarat, yang terdiri dari tanda-tanda (signs) atau sebab-sebab (causes), dan yang diperkirakan akan ada akibatnya (result).
Untuk menghindari nasi sisa, oma saya menceritakan kisah dua orang bersaudara. Saudara yang bungsu telah meninggal. Suatu hari sang kakak mendengar arwah adiknya menangis (tanda). Ia menelusuri sumber suara dan melihat adiknya yang makan sisa-sisa nasi di tempat sampah. Sang kakak bertanya, “Mengapa kamu makan di tempat sampah?” Adik menjawab, “Saya harus menanggung dosa saya karena dulu saya suka membuang makanan”(sebab dan akibat). Mitos inilah yang dianggap sebagai takhayul sebab penjelasannya yang tidak logis, namun mitos dua bersaudara inilah yang tetap membuat saya takut menyisakan makanan hingga hari ini. Walaupun dianggap takhayul justru ada pesan moral dari mitos dua bersaudara ini, yaitu adalah agar kita selalu bersyukur dan menghargai makanan dan rezeki yang ada.
Kerak nasi biasanya akan terbuang karena teksturnya sangat keras dan sulit ditelan. Maka oma saya akan menceritakan pamali yang ia dengar dari neneknya itu. “Kita harus mau makan le’ke’ supaya di-le’ke’-le’kei ki’ mata (kita makan kerak nasi agar banyak orang yang akan memandang kita atau mendapat perhatian dari orang-orang dan memuji kita)”. Dengan kata lain banyak rezeki yang datang menghampiri.
Selain mitos tentang kerak nasi, ada juga mitos berkaitan dengan ceker ayam. Kata Oma, kita harus makan kaki ayam supaya kita rajin bekerja atau mencari rezeki, seperti ayam yang sangat giat mencari makan dengan mengais tanah. Selain mitos ceker ayam, ada pula mitos tentang makan berpindah-pindah tempat. Menurut cerita Oma, orang yang makan berpindah-pindah tempat nanti akan sering kawin atau banyak suami/isterinya. Mendengar perkataan oma, saya merasa takut untuk makan pindah-pindah tempat karena tidak mau punya banyak suami. Saat beranjak dewasa, saya sudah mengabaikan mitos itu karena saya tidak pernah mengetahui apa alasan logis di baliknya, saya sering sekali makan berpindah-pindah tempat. Namun, saya berusaha memikirkan alasannya, yang kira-kira begini. Saat kita makan, biasanya ada nasi atau lauk yang berjatuhan/tumpah. Jika kita suka berpindah-pindah tempat sementara makan, maka kemungkinan makanan itu akan berjatuhan/tumpah di tempat-tempat yang kita duduki. Makanan yang jatuh itu pasti akan mengotori tempat di mana kita duduk. Maka, tidak ada kaitan antara makan berpindah-pindah tempat dengan banyaknya suami/istri kita nanti, tetapi kita tidak boleh berpindah-pindah tempat saat makan supaya tidak mengotori banyak tempat.
Itulah sebagian dari banyaknya mitos atau pamali tentang makanan dan perilaku makan dalam keluarga Oma. Dulu saya sangat meyakini bahwa mitos-mitos itu benar. Bahkan mitos/pamali itu masih muncul di dalam benak saya sampai hari ini. Banyak dari mitos/pamali yang diceritakan oma saya, ia dengarkan pula dari neneknya dulu. Jadi bisa saya simpulkan bahwa mitos-mitos atau pamali diwariskan secara turun-temurun. Masih banyak mitos-mitos lain yang sangat tidak masuk akal dan sulit dicari tahu alasan logis dibaliknya. Banyak orang yang malahan tidak mau mencari tahu apa alasan munculnya mitos-mitos seperti itu. Mereka terlanjur percaya atau tidak mau berpikir panjang lagi. Hal terbukti ketika saya menanyakan apa alasan logis di balik mitos/pamali kepada oma saya. Oma hanya mengatakan “Yah saya tidak tahu, kalau mau tahu alasannya tanyakan sama nenek moyang/yang buat mitos itu”. Karena hal itu tidak mungkin, maka saya sendiri memikirkan alasan-alasan logis di balikn/ya. Setelah saya mengetahuinya, saya tidak mau lagi percaya dengan mitos atau pamali-pamali itu lagi. Walaupun kadang-kadang tanpa saya sadari beberapa masih saya ikuti.
Referensi:
[1] Danandjaja, James. Folklore Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994.