Bertemu Ramang di Kilometer 102
Mereka yang lahir pada akhir tahun 1970-an hanya bisa mendengar cerita tentang sepak terjang Ramang sebagai pemain sepak bola yang berjaya pada dasawarsa 1950-1960-an. Bagaimana cara mendapatkan cerita seputar legenda sepakbola Indonesia ini?
Saya baru akrab dengan sosok Ramang beberapa tahun belakangan. Semasa kecil, Ramang sempat terlintas dalam pembicaraan dengan ayah saya, meski sesungguhnya kami menyukai bola hanya sebatas suka saja. Sewaktu mulai konsentrasi sebagai produser, sosok Ramang muncul lagi. Kini dalam bentuk obsesi. Bahwa suatu saat bisa memproduksi film yang menceritakan tentang sosok legenda sepakbola itu.
Kesulitan terbesar saya adalah saya yang tak punya rekaman kenangan apapun tentang Ramang. Ya hanya berupa kepingan-kepingan kisah dari ayah saya tentang aksi Ramang mengolah bola di lapangan hijau.
Sebuah “peristiwa” lalu terjadi pada 26 September 2012. Sebuah kejadian luar biasa di satu sisi, namun mengenaskan di sisi lainnya, yakni ketika FIFA menurunkan tulisan khusus memperingati 25 tahun meninggalnya beliau. Dan ketika itu, tak satu media pun di Indonesia mengingat momen bersejarah ini.
Momen tersebut membulatkan tekad saya untuk mewujudkan obsesi lama: saya harus bergerak untuk membuat film dokumenter tentang Ramang. Sebagai upaya membangkitkan kenangan yang tak dimiliki oleh saya yang lahir pada akhir tahun 1970-an.
Makassar pada suatu siang. Saya ditemani lima sahabat seperjuangan dalam mewujudkan obsesi itu. Nunuk Anwar, Eky Saleh, Saddam Syukri dan Farid Wajdi menjadi penumpang dalam mobil Avanza bersama Anwar Ramang dan istri yang akan membawa kami ke Barru, kilometer 102 ke arah utara Makassar, ibukota Sulawesi Selatan. Sebuah perjalanan yang akan melemparkan kembali ke masa 50-an tahun silam. Sebuah masa ketika Ramang masih sebagai bocah cilik dengan keterampilan sepak raga yang luar biasa.
Sumpang Binangae, Barru, adalah kota tempat Ramang menghabiskan masa kecil. Di sana kami bertemu Bapak M Arsyad, sahabat masa kecilnya yang telah berusia lebih dari 80 tahun. Secara fisik, beliau masih terlihat fit, hanya saja seperti orang di usia senja, beliau sudah kehilangan sebagian besar daya pendengarannya. Namun ingatannya masih cukup jernih. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana ia dan Ramang bermain sepak raga yang lantas dialihwujudkan ke dalam bentuk olahraga populer: sepakbola.
Ia menceritakan bahwa sedari kecil, Ramang memang sudah disiplin. Bahkan sangat disiplin untuk lelaki seusianya. Sejumlah teman mereka bahkan menganggap Ramang gila. Salah satu ‘kegilaan’ Ramang adalah menghabiskan panas terik di sebuah pantai bernama Ujung Batu demi melatih kakinya mengolah bola di pasir.
Maka kami pun mengarah ke pantai yang kini telah dipugar sebagai tempat wisata dan outbound itu. Sayangnya tak ada lagi jejak pasir di sana. Sudah tertutupi oleh penahan ombak yang dibuat permanen dari campuran batu gunung dan semen. Terlihat Pak Anwar begitu menikmati di sana. Mungkin membayangkan sosok sang ayah yang tengah berlari-lari. Di mata saya, Pak Anwar pun tampak seperti Ramang. Sosok kharismatik yang telah terlihat kepiawaiannya sejak masih berusia muda.
Dari pantai kami meneruskan perjalanan menyusuri kenangan ke Sekolah Dasar Inpres Sumpang Binangae. Di sanalah Ramang menuntut ilmu. Sayangnya tak ada catatan apapun yang tertinggal tentang Ramang di sekolah ini. Inilah kelemahan kita sebagai bangsa yang tak menyadari arti penting dokumentasi. Jangankan data tentang para siswa yang berguru pada tahun 1940-an, bahkan yang berguru tahun 1990-an pun datanya entah berceceran di mana. Ini tidak saja terjadi di sekolah tersebut, namun hampir di sebagian besar wilayah negeri ini.
Letak sekolah tersebut berhadapan langsung dengan lapangan sepakbola yang juga sudah ada sejak Ramang menuntut ilmu di sana. Saya menatap lekat-lekat lapangan yang riuh oleh sejumlah kelompok anak muda yang tengah bermain bola di sore itu. Dalam hati saya berpikir, andai tak ada lapangan ini, mungkinkah akan lahir bintang sepakbola sefenomenal Ramang dari sebuah kota kecil? Kami mengitari lapangan tersebut dengan mobil beberapa kali. Hanya untuk mencoba membayangkan suasana puluhan tahun silam. Memproyeksikan kenangan yang tak kami miliki ke ingatan kami.
Pak Arsyad berkisah bahwa setelah nama Ramang harum karena membela nama bangsa di ajang internasional, nama Sumpang Binangae pun ikut terangkat. Sampai kini masyarakat, terutama di Sulawesi Selatan, masih mengingat nama kota itu sebagai kota masa kecil Ramang. Dan pesepakbola yang terkenal dengan “tendangan pisang”-nya itu juga tak pernah lupa dengan kota itu. Berkali-kali ia kembali ke sana, bahkan sempat melatih sepakbola. Pak Arsyad menambahkan bahwa meski terkenal, tak ada yang berubah dari Ramang. Ia tetap bersahaja dan tetap tegas dengan kedisiplinannya.
Ketika bertemu kembali dengan Pak Arsyad setelah sekian lama tak bertemu muka, ada keharuan menyelip di wajah Pak Anwar Ramang. Sungguh cair bahasa tubuh mereka, saling mengobrol dengan bahasa Bugis yang masih bisa saya mengerti maknanya. Kami pun mendoakan Pak Arsyad tetap sehat agar bisa berbagi pengalamannya hidup bersama Ramang di depan kamera.
Perlahan langit memerah. Sebentar lagi siang akan berganti malam. Suara adzan terdengar jelas di telinga kami. Setelah menunaikan kewajiban bagi umat Islam itu, kami pun berpamitan pada Pak Arsyad. Kami melambaikan tangan pada keluarganya yang menyambut kami dengan hangat. Kami pun sesungguhnya juga mengucapkan selama tinggal (untuk sementara) dalam hati. Dengan niat yang makin membuncah di dada: kami akan segera kembali untuk menemui Ramang di sana. Dan merekam kenangan itu agar bisa dibagikan bagi saudara hingga anak cucu kami kelak. Bahwa Indonesia pernah punya sosok pesepakbola yang mengharumkan nama bangsa atas nama nasionalisme, bukan atas nama bonus selangit atau popularitas meroket.
Tunggu kami kembali ke KM 102, Ramang …